KOMPAS/HERU SRI KUMORO

A Prasetyantoko

Di tengah upaya progresif melakukan transformasi perekonomian, khususnya di bidang infrastruktur, kesinambungan pemasukan devisa menjadi kunci. Perekonomian yang tengah berkembang, seperti kita ini, secara alamiah mengidap dosa asal (original sin theory), yaitu tak mampu menutup celah pendanaan domestik dalam mendorong perekonomian sehingga bergantung pada modal asing. Tanpa manajemen risiko yang baik, aliran modal tersebut dapat mengakibatkan gejolak yang bisa mengganggu siklus perekonomian.

Selama lebih kurang satu dekade (2004-2014), kita sangat mengandalkan penerimaan devisa hasil ekspor komoditas, khususnya batubara dan minyak kelapa sawit mentah (CPO). Peta pertumbuhan dan perilaku ekonomi pun sangat dipengaruhi pola siklus harga komoditas. Puncak pertumbuhan ekonomi terjadi pada 2010-2011 sebesar 6,2 persen, kemudian melambat dan mencapai titik terendahnya pada 2015 sebesar 4,9 persen. Pada 2016, ekonomi tumbuh 5,1 persen, sementara proyeksi 2017 sebesar 5,1 persen dan 2018 sekitar 5,2 persen.

Lambatnya pemulihan terjadi seiring dengan tidak cepatnya transisi perekonomian menuju basis sektor manufaktur. Meski membaik, perekonomian seakan terjebak pada pertumbuhan 5 persen saja. Pemerintah berupaya keras melakukan transformasi dengan dua pilar besar, membangun infrastruktur, dan melakukan deregulasi. Hasilnya, meski sudah mulai terlihat, jalan masih panjang untuk menggerakkan sektor manufaktur, meningkatkan ekspor nonmigas, dan menghasilkan devisa. Maka, sektor pariwisata dipilih sebagai sektor unggulan yang diyakini bisa lebih cepat mendatangkan devisa. Meski prospektif, likuiditas perekonomian domestik tidak akan mencukupi dalam jangka pendek ini sehingga utang luar negeri pun tak bisa dihindari.

Indikator aliran modal asing bisa tecermin dalam cadangan devisa yang pada September lalu berada di puncak tertinggi dalam sejarah, yaitu 129,4 miliar dollar AS. Pada akhir November lalu, cadangan devisa turun menjadi 125,9 miliar dollar AS, tetapi masih relatif aman karena cukup membiayai impor dan kewajiban luar negeri lain selama lebih kurang 8 bulan. Sebagai perbandingan, cadangan devisa Malaysia pada Agustus 2017 ini sekitar 95 miliar dollar AS, Thailand 195 miliar dollar AS, India 400 miliar dollar AS, dan China 3 triliun dollar AS atau negara dengan cadangan devisa terbesar di dunia.

Meningkatkan devisa perlu dilakukan seiring dengan perbaikan perekonomian domestik. Jika terlalu cepat, bisa memunculkan berbagai risiko. Transformasi perekonomian membutuhkan kesabaran. Tak perlu cemas dengan pola pertumbuhan 5 persen asalkan perbaikan terus dilakukan dan peningkatan kinerja terjadi secara berkelanjutan. Dalam hal pemasukan devisa secara berkesinambungan, diperlukan berbagai upaya jangka panjang dan pendek secara komprehensif.

Strategi industrialisasi

Pertama, strategi paling baik mengundang aliran modal masuk adalah melalui strategi industrialisasi. Penanaman modal asing perlu diarahkan pada dua sektor utama, yaitu sektor industri penghasil bahan baku dan produk ekspor. Fakta di lapangan tak semudah itu karena dua sektor ini tidak begitu menarik. Marginnya kecil sehingga diperlukan insentif yang proporsional. Ekspor kita memang membaik belakangan ini, tetapi lebih dipengaruhi oleh kenaikan harga komoditas. Kenaikan ekspor juga diiringi dengan peningkatan impor bahan baku. Perlahan harus dipastikan, ekspor nonmigas meningkat, sementara impor bahan baku melandai. Ini bisa menjadi pertanda awal keberhasilan transformasi perekonomian domestik.

Kedua, meningkatkan penerimaan sektor jasa, khususnya sektor pariwisata. Pada 2016 terdapat lebih dari 10 juta wisatawan asing, dan tahun ini ditargetkan 15 juta orang. Penerimaan devisa turis asing tahun lalu sekitar 11 miliar dollar AS, sementara turis domestik yang melancong ke luar negeri setara dengan 7,5 miliar dolar AS sehingga penerimaan bersih dari sektor pariwisata asing (dikurangi turis domestik yang keluar) mencapai 3,6 miliar dollar AS. Tahun ini agaknya target sulit dicapai mengingat 40 persen kunjungan wisatawan asing terkonsentrasi ke Bali. Hingga akhir tahun, turis asing kemungkinan tak akan datang ke Bali akibat erupsi Gunung Agung.

Ketiga, menambah devisa dengan penerbitan utang luar negeri dengan ekstra hati-hati. Hingga triwulan ketiga tahun ini, total utang luar negeri sebesar 343 miliar dollar AS dengan pertumbuhan 4,5 persen ketimbang tahun sebelumnya. Total utang luar negeri mencapai 34 persen dari produk domestik bruto (PDB), turun dibandingkan dengan triwulan ketiga 2016 sebesar 36 persen. Dilihat dari postur penerimaan, penerbitan utang baru tergolong paling mudah dan cepat. Sementara meningkatkan penerimaan devisa dari ekspor nonmigas dan pariwisata membutuhkan kerja keras serta mensyaratkan transformasi perekonomian berkelanjutan. Dalam jangka pendek, keduanya masih sulit diharapkan memompa penerimaan devisa.

Cara paling mudah menambah devisa kita adalah menerbitkan utang baru meski risikonya paling tinggi. Tahun depan tampaknya sulit menambah portofolio utang luar negeri mengingat sudah mulai masuk tahun politik. Jika strategi utang diambil, harus dipastikan bahwa itu tak memberi amunisi kepada kelompok oposisi. Meski secara rasio masih tergolong aman, utang secara nominal cukup besar sehingga cicilan harus dibayar dengan penerbitan utang baru.

Strategi paling ideal dalam meningkatkan penerimaan devisa secara berkesinambungan adalah melanjutkan transformasi perekonomian agar dicapai situasi keseimbangan. Ini ditandai oleh peningkatan neraca dagang melalui surplus ekspor nonmigas dan neraca jasa, salah satunya melalui penerimaan sektor pariwisata.