Bukan hanya dari kalangan dunia Islam, melainkan juga dari dunia Barat dan Asia, bahkan termasuk sahabat-sahabat Amerika Serikat sendiri. Mereka khawatir kebijakan Trump itu menimbulkan dampak buruk bagi upaya perdamaian dan penyelesaian konflik Israel-Palestina secara permanen, yang telah puluhan tahun diupayakan.

Bahkan, keputusan sepihak yang bertentangan dengan resolusi PBB tahun 1947 itu bisa menutup peluang bagi "solusi dua negara", terwujudnya Israel dan Palestina sebagai negara yang merdeka dan berdaulat, serta hidup berdampingan secara damai.

Sebagaimana yang lazim terjadi, pandangan publik AS sendiri terbelah. Ada yang memuji dan mendukung Trump sebagai pemimpin yang tegas dan berani, tetapi ada pula yang mengatakan langkah Trump tersebut ceroboh dan berbahaya. Saat ini belum didengar suara dari "Capitol Hill" yang kerap kritis dan juga berani.

Tanpa mengulangi berbagai retorika dan reaksi spontan yang muncul dari masyarakat internasional selama lima hari terakhir ini, ada pertanyaan kritis yang mesti kita jawab: akankah keputusan Trump yang secara resmi mengakui Jerusalem sebagai ibu kota Israel disertai kebijakan untuk memindahkan kedutaan besar AS dari Tel Aviv ke Jerusalem sungguh akan dijalankan? Inilah yang barangkali perlu kita bicarakan.

Dua skenario

Kita bisa menggunakan sejumlah skenario dan pendekatan. Pertama, atau skenario satu, kebijakan Donald Trump yang mengubah sikap AS sejak 70 tahun yang lalu itu sungguh akan direalisasikan. Artinya, kedutaan besar AS akan "segera" dibangun dan beroperasi di Jerusalem, apa pun reaksi dan penolakan dari banyak negara, terutama dari Palestina. Dalam skenario ini Trump benar-benar nekat dan tak perlu menggubris pihak mana pun yang mengatakan "tidak". Biarkan anjing menggonggong, kafilah tetap berlalu.

Adapun skenario kedua, menyadari penolakan yang keras baik dari luar maupun dari dalam, dan apabila kebijakan yang kontroversial itu sungguh dijalankan, dampaknya sungguh buruk bagi AS sendiri, kebijakan Trump tersebut tidak akan dijalankan. Paling tidak akan ditunda implementasinya.

Skenario mana yang paling mungkin menjadi kenyataan? Mari kita lihat satu per satu.

Memahami psiko-politik Trump, yang tidak hanya menggertak, tetapi sungguh dijalankan kalau punya kehendak, pemindahan kedutaan besar AS ke Jerusalem tersebut benar-benar akan diwujudkan. Ingat, kebijakan Trump yang oleh banyak pihak diperkirakan tidak akan dilakukan, seperti keluarnya AS dari Paris Climate Agreement, dari Trans-Pacific Partnership, dan dari Iran Nuclear Agreement, ternyata benar-benar dilakukan.

Karakter pribadi Trump yang tidak mau ditekan atau dihalang-halangi oleh siapa pun benar-benar nyata adanya. Apalagi, jika gelombang penolakan dan perlawanan atas kebijakan Jerusalem ini skalanya tidak seberapa besar dan akan berakhir dalam beberapa hari atau minggu mendatang, tak ada halangan apa pun bagi AS untuk menjalankan kehendak pemimpinnya itu. Kalau keadaan ini yang terjadi, skenario satu akan menjadi kenyataan.

Satu-satunya keadaan yang bisa membatalkan atau menunda implementasi dari kebijakan Trump tentang Jerusalem ini adalah apabila situasi yang tidak baik ini berkembang secara serius dan di luar prediksi Pemerintah AS.

Misalnya, situasi keamanan di Israel ataupun di Palestina benar-benar memburuk, bahkan mengguncangkan stabilitas kawasan Timur Tengah, sehingga tekanan terhadap Trump justru akan muncul dari dalam negeri sendiri. Amerika Serikat adalah negara adidaya, yang tak mudah digertak dan diancam negara mana pun, kecuali tekanan itu datang dari rakyatnya sendiri.

Kita ingat berakhirnya Perang Vietnam, yang ditandai dengan penarikan pasukan AS dari Vietnam pada awal tahun 1970-an, bukan karena pasukan AS tak mampu menahan perlawanan Vietnam Utara dan Vietkong, melainkan karena tekanan keras dan meluas dari rakyat AS untuk mengakhiri perang itu. Tentu saat ini terlalu dini untuk mengetahui apakah dampak keputusan Trump tentang Jerusalem ini sungguh memperburuk situasi konflik Israel-Palestina bahkan akan mengancam perdamaian dan keamanan internasional. Masih harus kita lihat dan ikuti perkembangannya di hari-hari mendatang.

Menlu Tillerson

Adalah menarik apa yang dikatakan Menteri Luar Negeri AS Rex Tillerson dua hari setelah penetapan Presiden Trump atas status Jerusalem, yang barangkali luput dari pengamatan banyak pihak. Tillerson mengatakan bahwa Presiden Trump tidak menyebutkan status final dari Jerusalem, tetapi pada saatnya akan ditentukan oleh Israel dan Palestina sendiri dalam negosiasinya. Juga dikatakan oleh Tillerson bahwa pemindahan kedutaan besar AS dari Tel Aviv ke Jerusalem tidak akan terjadi dalam masa satu-dua tahun mendatang.

Pernyataan ini menarik. Memang masih harus diikuti lebih lanjut apa dasar pernyataan Menlu AS ini. Apakah untuk meredakan situasi yang mulai memanas di banyak negara, bahkan menjadi tanda-tanda dapat saja dilakukan penundaan (pause) dari keputusan Trump tersebut, atau hanya urusan teknis semata. Akan tetapi, mengingat dinamisnya situasi politik dan keamanan dunia, termasuk dampak dari kebijakan tentang Jerusalem ini, AS memang harus bersiap diri dengan kontingensi dan langkah-langkah tertentu yang tidak membuat negara itu nantinya kehilangan muka.

Sebagaimana saya sampaikan dalam cuitan saya beberapa hari lalu, jika disadari Amerika berada di sisi sejarah yang keliru, belumlah terlambat bagi Presiden Trump untuk mengubah keputusannya. Saya tidak yakin bangsa Amerika yang besar itu mau disalahkan oleh sejarah karena kebijakan dan tindakannya membikin keadaan dunia kita menjadi buruk. Semoga jiwa besar itu muncul dari dalam diri pemimpin-pemimpin Amerika Serikat.

Agar situasi di Israel dan Palestina tidak makin memburuk, termasuk situasi di kawasan, saya berpendapat solusi dua negaralah yang paling realistis. Ini pula yang harus terus diperjuangkan oleh bangsa Indonesia, dengan kepemimpinan dan kepeloporannya selama ini, terwujudnya kemerdekaan penuh Palestina sebagai bangsa yang berdaulat. Eksistensi Palestina yang mendapatkan pengakuan dan dukungan resmi dari Israel dan juga bangsa-bangsa lain di dunia.

Berkaitan dengan status kota Jerusalem, semua pihak, termasuk Amerika Serikat, mesti menghormati resolusi PBB 181 tahun 1947 yang menetapkan Jerusalem sebagai kota di bawah kewenangan internasional. Kota yang memungkinkan kaum Muslim, Nasrani, dan Yahudi melakukan ibadah keagamaannya.

Status quo yang memberikan ruang dan jalan bagi pencarian solusi konflik yang damai dan permanen bagi masa depan Israel dan Palestina, termasuk status kota Jerusalem kelak. Masa depan yang membuat rakyat Israel dan Palestina berada dalam keadaan yang tenteram dan terbebas dari ketakutan. Masa depan yang jauh dari tragedi dan penderitaan. Juga masa depan yang mereka semua bisa hidup adil dan sejahtera.

Semoga masa indah itu datang.