KOMPAS/HANDINING

.

Jika kita mau, kita bisa menetapkan tahun 2017 sebagai tahun politik identitas. Pada tahun ini kita menjumpai bagaimana isu identitas menunjukkan tajinya secara telanjang. Ia tak hanya memengaruhi trajektori percaturan politik, tetapi juga mengubahnya lewat mobilisasi yang skalanya belum pernah kita jumpai sebelumnya.

Namun, saya kira, tak berlebihan pula mengatakan tahun 2017 barulah sebuah awal. Kita masih akan menyaksikan rentetan dinamika yang lebih sengit pada tahun-tahun mendatang.

Pertama-tama, tentu saja lantaran politik identitas dianggap berhasil meraih tujuannya. Dengan kisah sukses politik identitas menggerus elektabilitas seorang gubernur yang luar biasa populer, mudah saja menduga ia akan jadi manuver yang dicobakan kembali dalam kontestasi politik pada waktu-waktu mendatang. Sebaliknya, untuk menandingi manuver-manuver politik identitas, pihak petahana juga akan mengembangkan politik identitas versinya sendiri.

Akan tetapi, keberhasilan politik identitas melucuti ataupun membangun legitimasi politik barulah satu hal yang paling mudah terlihat di antara aspek-aspek yang akan menentukan kelarisannya dilakoni di masa datang. Tanpa banyak disadari, dinamika politik yang bergulir beberapa waktu terakhir juga menyemai lahan subur bagi merekahnya ekspresi-ekspresi identitas yang berimplikasi politik dalam keseharian kita.

Kita harus menyadari, kelantangan membela identitas kini identik dengan reputasi sosial. Apa yang terjadi dalam beberapa bulan terakhir, berkat isu bela agama—dan terbantu pula oleh media sosial—banyak orang yang suaranya sebelumnya tak didengar kini jadi figur yang berpengaruh, setidaknya di lingkungan dekat mereka. Mereka memperoleh perhatian, pengakuan, dan kehormatan berkat artikulasi-artikulasi vokal mengecam musuh-musuh yang diimajinasikan mengancam kelompoknya.

Indikatornya? Apabila mencermati media sosial di sekitar Anda saja, Anda pasti akan menemukan akun yang pengikut dan apresiasi unggahan-unggahannya melonjak fenomenal berkat jadi pejuang identitas. Akun-akun yang mengkhususkan diri mengangkat isu-isu identitas pun bermunculan dan apa yang mendorongnya jelas-jelas "perang identitas" yang menyerap perhatian di media sosial lebih dari apa pun.

Kenyataan bahwa orang-orang ini menemukan kedudukan bermakna yang tak pernah didapat sebelumnya, kita bisa menerka, mereka akan terus mempertahankan artikulasi-artikulasi yang mengantarnya ke tempat ini. Ke depan, mereka akan jadi kekuatan-kekuatan yang meresonansikan politik identitas di akar rumput.

Teknik mobilisasi

Selain itu, teknik-teknik mobilisasi dukungan politik kini kian terasah dan para pelakunya insaf bahwa identitas harus ada di dasar dari aksi-aksinya. Dari kontestasi politik selama 2017, orang tampak mempelajari bahwa penggalangan massa paling ampuh dimungkinkan ketika kontestasi dibalut dalam heroisme perang identitas. Di satu sisi, harus ada musuh yang segenap keberadaan dan tindak-tanduknya mengancam kelompok diri. Di sisi lain, ada kelompok diri yang tak punya pilihan untuk mempertahankan keberadaannya selain dengan melawan yang lain.

Ketika dibingkai dengan cara demikian, terbukti, pihak-pihak akan tergugah untuk bergerak memberikan dukungan politik ke satu pihak atau melucuti dukungan politik dari pihak lain. Contoh gamblang perihal bagaimana isu identitas ampuh mendulang dukungan terlihat dari keefektifan provokasi akun-akun "pembela identitas" yang berlangsung nyaris tiap hari di ranah jejaring sosial. Setiap kali berita konflik antarkelompok menyeruak, akun-akun ini segera memelesetkan peristiwa tersebut menjadi isyarat penzaliman umat lain terhadap umatnya.

Hasilnya? Lewat cara yang tak selalu bisa dikatakan benar ini, mereka memperoleh pengikut dengan cepat dan unggahannya tersebar ke mana-mana. Mereka menjadi penggerak dan pusat dinamika di media sosial.

Apakah arti dari semua ini? Seiring waktu, artinya, berbagai pihak makin matang dalam melakukan manuver-manuver politik identitas. Pihak-pihak yang membutuhkan dukungan politik makin sanggup menjangkau kalangan yang tak terorganisasi dan apolitis sekalipun, serta meraup dukungan dengan mengusung isu ini. Selepas 2017, kita bisa menaksir politik identitas akan berlangsung semakin hebat.

Ekses negatif

Sayangnya, perkembangan ini tak akan banyak berarti untuk mengemansipasi warga, subyek demokrasi itu sendiri, secara riil. Politik identitas memiliki satu masalah yang sangat mendasar. Memang ia berkutat dengan simbol dan atribut yang menggugah serta bermakna bagi banyak orang. Namun, mengutip antropolog Levi-Strauss, saat yang sama ia berwatak "mengambang".

Dari pilkada ke pilkada yang sudah berlalu saja, misalnya, politik identitas justru mendesak isu-isu nyata keluar dari panggung kontestasi. Di tengah- tengah imajinasi peperangan melawan liyan yang mencengkeram para pemilih, obsesi mereka untuk mendapatkan seseorang yang bisa jadi juru selamat kelompoknya menyebabkan mereka tak pernah memandang para kandidat secara konkret sebagai administrator dengan kemampuan serta rekam jejak yang relevan untuk menyelesaikan problem mereka. Para kandidat dipilih untuk kelekatannya dengan identitas tertentu, terlepas manuver-manuver sang kandidat pada masa silam mengkhianati kelekatan tersebut.

Setelah seorang kandidat terpilih pun imajinasi identitas yang telanjur berkembang akan terus mencetak ekses buruknya. Warga biasanya akan lebih menggebu-gebu mencari berita yang membenarkan ekspektasi imajinernya tentang pejabat terpilih, alih-alih berita-berita obyektif terkait kebijakannya. Legitimasinya akan terus dimantapkan atau dilucuti berdasarkan ekspektasi imajiner tersebut. Akhirnya, pengetahuan konkret bagaimana pemerintahannya yang sebenarnya dijalankan justru tak pernah terjamah.

Apa yang rentan terjadi dalam kondisi demikian adalah proses-proses politik jadi sangat rentan dibajak elite. Pihak-pihak yang punya modal untuk mencitrakan diri sebagai pembela identitas, tak peduli kepentingan riil mereka berpotensi merugikan masyarakat luas, akan memperoleh momentum mempertahankan atau meraih kedudukan politik. Belum lagi, setelah berkuasa, para elite dapat menciptakan dan memerangi musuh imajiner sewaktu-waktu mereka butuh menggalang dukungan populer—manuver yang biasanya akan merugikan kelompok rentan yang diproyeksikan sebagai musuh mereka.

Sayangnya, melihat apa yang sudah diuraikan di atas, kita tampaknya harus mengantisipasi skenario-skenario paling tak menyenangkan sekalipun. Seiring makin banyak kontestasi politik diselenggarakan, obsesi kita dengan identitas bukan hanya kian menjadi-jadi. Ia pun makin rentan dimanfaatkan oleh berbagai pihak yang semakin piawai dalam menggalang legitimasi populer.

Kendati demikian, saya masih percaya, ini bukan situasi tanpa jalan keluar. Tahun-tahun yang sarat polarisasi memang mengadang. Dan, kita seyogianya perlu insaf bahwa persoalan riil kita yang kompleks tidak akan selesai dengan pengotak-ngotakkan identitas yang menyederhanakan.

GEGER RIYANTO