Kebakaran hebat disertai ledakan keras yang menimpa pabrik kembang api di daerah Kosambi, Tangerang, Banten, beberapa waktu lalu, menimbulkan korban meninggal dan luka-luka parah dalam jumlah sangat banyak. Hal ini sampai jadi perhatian besar baik di level nasional maupun internasional.

Harian Kompas bahkan menjadikan berita tentang tragedi di Kosambi itu sebagai berita utama dan sebagai salah satu pokok bahasan dalam kolom Tajuk Rencana (Kompas, 27/10 dan 30/10). Terlepas dari unsur pidana penyebab terjadinya tragedi tersebut, temuan awal pihak kepolisian dan dugaan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia adalah adanya pelanggaran Undang-Undang (UU) Ketenagakerjaan, yaitu dugaan pelibatan tenaga kerja anak di pabrik kembang api tersebut.

Pertanyaan berikutnya, yang terkait pemanfaatan tenaga kerja, adalah apakah para tenaga kerja di sana juga sudah dilindungi dengan program jaminan kecelakaan kerja (JKK) dan jaminan kematian (JKM)?

Dua dari lima program yang dicakup dalam Sistem Jaminan Sosial Nasional adalah program JKK dan program JKM. Maksud penyelenggaraan program JKK adalah untuk memberikan perlindungan bagi tenaga kerja yang mengalami kecelakaan dalam menjalankan kegiatannya bekerja atau menderita penyakit akibat kerja.

Perlindungan yang diberikan dalam bentuk manfaat pelayanan kesehatan dan santunan uang tunai. Sementara program JKM bertujuan memberikan santunan kematian yang dibayarkan kepada ahli warisnya.

Dari gambaran mengenai manfaat kedua program jaminan sosial tersebut, para korban tragedi di Kosambi dan para pekerja di seluruh Indonesia yang mengikuti program JKK dan JKM setidaknya dapat memperoleh manfaat kesehatan serta manfaat ekonomi, baik bagi dirinya sendiri maupun bagi ahli warisnya, ketika terjadi kecelakaan, kematian, ataupun penyakit akibat bekerja.

Walaupun program JKK dan JKM sudah terlebih dahulu dilaksanakan bersama-sama dengan program jaminan hari tua, berdasarkan pantauan di lapangan, ternyata para pengusaha, pekerja, dan sejumlah pemangku kepentingan lainnya masih banyak yang belum menyadari arti penting kedua jenis perlindungan sosial tersebut.

Masih banyaknya pekerja yang belum tercakup dalam kedua program tersebut di antaranya karena masih ada pengusaha selaku pemberi kerja yang belum sepenuhnya memikirkan hak-hak pekerja dengan memperhitungkan kewajiban mengikutsertakan para pekerjanya ke dalam program JKK dan JKM sebagai bagian dari hak remunerasi yang harus diterima para pekerja.

Masalah mendasar lain adalah belum adanya kesadaran dan pemahaman yang memadai terhadap pentingnya manfaat kedua program tersebut bagi kesejahteraan sosialnya.

Faktor eksternal yang terkesan sangat sepele, tetapi menjadi penghambat utama belum tercakupnya para tenaga kerja dalam program JKK dan JKM, adalah karena para tenaga kerja tersebut belum memiliki nomor induk kependudukan.

Manfaat JKK dan JKM

Sesuai tujuan penyelenggaraannya, program JKK merupakan suatu jaminan pemberian kompensasi dan rehabilitasi bagi tenaga kerja yang mengalami kecelakaan pada saat berangkat dan kembali dari kerja, kecelakaan pada saat bekerja, serta menderita penyakit akibat kegiatan bekerja.

Keikutsertaan pekerja dalam program JKK sepenuhnya menjadi beban pengusaha selaku pemberi kerja dengan membayar iuran berkisar 0,24 persen hingga 1,74 persen dari upah pekerja per bulan sesuai dengan tingkat risiko pekerjaan dari setiap jenis pekerjaannya.

Para pekerja yang mengalami kecelakaan kerja berhak diberi pelayanan kesehatan tanpa batasan plafon sepanjang sesuai dengan kebutuhan medis (medical needs). Manfaat kesehatan ini diberikan melalui fasilitas-fasilitas kesehatan yang telah bekerja sama dan telah diberi otorisasi oleh BPJS Ketenagakerjaan sebagai pusat trauma.

Fleksibilitas pemberian manfaat kesehatan ini dalam bentuk sistem penggantian biaya pengobatan bagi penanganan terjadinya kecelakaan kerja di tempat-tempat yang belum tersedia fasilitas pusat traumanya. Selain itu juga disediakan biaya pengangkutan dari tempat kejadian ke fasilitas kesehatan terdekat yang berkisar Rp 1 juta-Rp 2 juta, sesuai moda transportasi yang digunakan.

Manfaat finansial diberikan kepada pekerja yang untuk sementara tidak mampu bekerja, masing-masing sebesar 100 persen, 75 persen, dan 50 persen dari upah untuk periode enam bulan pertama, kedua, dan ketiga, yang kesemuanya diberikan melalui pemberi kerja.

Sementara bagi para pekerja yang mengalami kecacatan sebagian anatomis dan sebagian fungsi, masing-masing diberikan manfaat finansial sebesar tingkat kecacatannya dikalikan dengan 80 kali upah. Manfaat finansial bagi pekerja yang mengalami cacat total adalah sebesar 70 persen dari 80 kali upah.

Selain itu, pekerja yang mengalami cacat total tetap akan diberikan beasiswa pendidikan bagi anaknya sebesar Rp 12 juta. Sementara bagi para pekerja yang meninggal akibat kecelakaan kerja, kepada ahli warisnya akan diberikan santunan kematian sebesar 60 persen dari nilai 80 kali upah, biaya pemakaman sebesar Rp 3 juta, serta santunan yang dibayarkan secara sekaligus (lumsum) sebesar Rp 4,8 juta.

Program tambahan sebagai "pemanis" adalah program kembali bekerja yang disediakan bagi para pekerja yang mengalami kecelakaan kerja atau penyakit akibat kerja yang berpotensi mengalami kecacatan.

Pada sisi lain, sebagaimana tecermin dari nama programnya, manfaat yang diberikan kepada ahli waris para peserta program JKM yang meninggal bukan karena kecelakaan kerja adalah berupa jaminan sosial dalam bentuk santunan kematian sebesar Rp 24 juta, biaya pemakaman Rp 2 juta, serta santunan berkala Rp 200.000 per bulan selama 24 bulan.

Sama halnya dengan program JKK, iuran program JKM juga sepenuhnya menjadi beban pengusaha selaku pemberi kerja, yaitu 0,3 persen dari upah pekerja per bulan.

Dengan berbagai jenis manfaat yang tersedia, para pekerja peserta program JKK pada saat kecelakaan kerja—seperti halnya para korban tragedi kebakaran pabrik kembang api di Kosambi—atau para pekerja yang menderita penyakit akibat bekerja seharusnya memperoleh jaminan sosial akibat kesulitan dalam penanganan kesehatan ataupun kemampuan finansial untuk membiayai kebutuhan dasar (basic needs)-nya.

Pada sisi lain, rasio klaim atau perbandingan antara besaran nilai manfaat yang diajukan klaimnya oleh para pekerja dan besaran jumlah iuran yang terkumpul dari para peserta per 30 September 2017 hanya tercatat sebesar 20,96 persen.

Hal ini mengindikasikan bahwa pemanfaatan program JKK dalam menopang kesejahteraan pekerja tergolong belum optimal atau masih kurang dimanfaatkan. Kondisi yang terjadi pada program JKM juga menunjukkan indikator yang hampir sama. Rasio klaim program JKM pada periode yang sama hanya 30,10 persen.

Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, sangat rendahnya indikator rasio klaim program JKK disebabkan banyaknya kejadian kecelakaan kerja ataupun penyakit akibat kerja yang tidak dilaporkan oleh para pekerja atau oleh para pengusahanya dengan berbagai alasan atau akibat faktor ketidaktahuan. Hal ini ditengarai juga berlaku untuk program JKM.

Oleh karena itu, BPJS Ketenagakerjaan perlu lebih mengintensifkan kegiatan sosialisasi dan edukasi mengenai hak dan kewajiban para pekerja serta pengusaha selaku pemberi kerja terkait program JKK dan program JKM.

Selain itu, terkait besaran nilai manfaat program JKK dan JKM juga perlu dilakukan perhitungan ulang agar lebih menjamin kesejahteraan para pekerja beserta keluarganya.

Cakupan kepesertaan

Pada dasarnya sifat kepesertaan program JKK dan JKM adalah wajib bagi semua pekerja, termasuk para pekerja asing yang telah bekerja di Indonesia selama enam bulan. Meski demikian, jumlah peserta program JKK dan JKM yang telah tercatat sampai akhir September 2017 masing-masing baru mencapai 23,9 juta orang.

Dengan menggunakan data jumlah penduduk yang bekerja dan memperoleh upah yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik sebesar 106,4 juta orang, tingkat cakupan peserta kedua program tersebut baru mencapai 22,5 persen.

Momentum Hari Jadi Ke-3 BPJS Ketenagakerjaan pada tahun ini harus dapat dijadikan sebagai motivasi kuat untuk peningkatan cakupan kepesertaan program JKK dan JKM. Sebab, sesungguhnya kedua program tersebut sudah diberlakukan sejak implementasi UU Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jamsostek.

Berbagai upaya sosialisasi dan edukasi yang lebih intensif diharapkan dapat menghilangkan keengganan para pemberi kerja untuk mendaftarkan para pekerjanya pada program JKK dan JKM.

Taufik Hidayat