Pengeluaran masyarakat Jakarta untuk biaya transportasi menyita 20-35 persen penghasilannya, jauh dari angka ideal di bawah 12 persen. Jakarta perlu segera bertindak agar ancaman gridlock—suatu kondisi di mana lalu lintas benar-benar tidak bergerak—tidak terjadi pada 2020 dan segera keluar dari predikat kota dengan kemacetan terparah keempat di dunia.

Selama ini, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta terus berupaya untuk memecahkan persoalan kemacetan yang menyebabkan kerugian Rp 65 miliar per tahun tersebut. Di ruas jalan protokol, pemerintah membangun sejumlah infrastruktur, termasuk Simpang Susun Semanggi (SSS). Jalan layang non-tol sepanjang 1.622 meter itu dibangun menggunakan dana kompensasi kenaikan koefisien lantai bangunan (KLB) dari pembangunan konstruksi pihak swasta atau pengembang di Ibu Kota.

Simpang Susun Semanggi

Sebagai kebanggaan baru Jakarta, SSS yang diharapkan dapat menurunkan tingkat kemacetan Ibu Kota adalah sebuah inovasi pembangunan, tidak hanya dari aspek teknologi, tetapi juga tata kelola pembiayaan.  Meski demikian, keputusan pemerintah membangun SSS menggunakan dana kompensasi kenaikan KLB para pengembang itu belum cukup mengurai kemacetan. Salah satunya adalah karena infrastruktur ini lebih memfasilitasi penggunaan kendaraan pribadi daripada transportasi publik.

Dinas Perhubungan dan Transportasi Provinsi DKI Jakarta mencatat bahwa pada tahun 2015 terdaftar 7.979.833 kendaraan pribadi di Ibu Kota dengan persentase pertumbuhan mencapai 8,12 persen per tahun. Hal ini tidak sebanding dengan pertumbuhan jalan yang hanya 0,01 persen per tahun.

Jadi, berapa pun banyaknya kompensasi kenaikan KLB yang digunakan untuk membangun infrastruktur jalan, seperti SSS, tidak akan mampu mengejar kebutuhan mobilitas masyarakat.

Kompensasi

Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2014 tentang Rencana Detail Tata Ruang dan Peraturan Zonasi telah menyebutkan berbagai kompensasi KLB, salah satunya adalah pembangunan berorientasi transit (TOD) yang memadukan pejalan kaki dan angkutan umum massal.

Pasal 621 bahkan menyebutkan bahwa kompensasi dapat diarahkan untuk pembangunan kawasan yang memiliki fungsi sebagai fasilitas parkir perpindahan moda dan lokasi pertemuan angkutan umum massal. Membangun SSS sebagai upaya pemerintah untuk memberikan solusi terhadap kemacetan sebaiknya diperkuat dengan membangun kawasan TOD, yaitu mendorong transportasi massal berbasis rel.

Pemerintah DKI Jakarta saat ini terus berupaya mengoptimalkan layanan transportasi berbasis rel dengan membangun MRT dan LRT. Namun, kedua moda tersebut tidak akan cukup apabila tidak ada integrasi antarmoda yang akan memberi kenyamanan dan keamanan.

Yang paling utama, integrasi antarmoda tersebut harus menstimulasi masyarakat agar beralih dari kendaraan pribadi ke transportasi publik, termasuk kembali menjadi pejalan kaki. Dana kompensasi KLB sebaiknya untuk mendorong pembangunan kawasan pengembangan berorientasi transit (TOD) yang menstimulasi hal tersebut.

Dari total dana yang terkumpul Rp 579 miliar, pembangunan SSS "hanya" menghabiskan dana Rp 365 miliar. Sisa Rp 200 miliar lebih akan digunakan untuk menata ulang trotoar dan box ducting utilitas sepanjang jalan Sudirman-Thamrin.

Alangkah baiknya jika seluruh pengelolaan dana kompensasi KLB di sepanjang koridor jalur MRT dan LRT nantinya diarahkan untuk membangun trotoar, plaza stasiun, jembatan penghubung (skybridge), bahkan terowongan pejalan kaki (pedestrian tunnel) sebagai bagian dari kawasan TOD tersebut.

Pengelolaan

Banyak pengembang properti juga berlomba-lomba memasarkan hunian dekat stasiun sebagai TOD. Padahal, mengembangkan kawasan berorientasi transit bukan sekadar membangun rumah susun. Konsep TOD adalah tentang menata kota.

Menata Jakarta berarti menegakkan keadilan sosial dan hak bagi setiap lapisan masyarakat Ibu Kota, termasuk bagaimana negara hadir mengelola kontribusi para pengembang properti dan berpihak kepada operator transportasi publik. Hadirnya negara melalui keberadaan operator utama (master developer) akan menunjukkan keberpihakan kepada masyarakat.

Pengelolaan kawasan berorientasi transit, termasuk integrasi antarmoda ini, memerlukan operator utama, mengoordinasikan setiap aspek yang beririsan. Idealnya, operator utama adalah salah satu operator transportasi publik berbasis rel yang memiliki kapasitas angkut besar.

Salah satu contoh sukses kehadiran negara melalui operator utama berbasis rel adalah Hong Kong. Melalui MTR Corporation Ltd, yang 75 persen kepemilikan di tangan negara, MTR Hong Kong mampu menunjukkan best practice dalam memadukan pelayanan jasa transportasi massal berbasis rel dengan pengembangan properti.

Dengan 200 kilometer jaringan rel, MTR Hong Kong mampu mengangkut 5,5 juta penumpang per hari. Angka yang sangat fantastis mengingat jumlah penduduk kota itu sekitar 7 juta jiwa. Artinya, hampir 80 persen warganya naik transportasi publik.

Penataan Jakarta yang berpihak pada perbaikan transportasi publik massal harus terus berlanjut, bahkan diperkuat dengan keberadaan TOD dan operator utama. Hal ini diperlukan agar target Pemprov DKI Jakarta meningkatkan pengguna transportasi publik akhir 2019 sebesar 40 persen dapat tercapai.

Agung Wicaksono

Direktur Operasi & Pemeliharaan PT MRT Jakarta