KOMPAS/HANDINING

.

Menarik memperhatikan media masa belakangan ini memberitakan sejumlah kejadian "persekusi" di Indonesia.

Berbagai kasus kekerasan dan perbuatan main hakim sendiri kini banyak disebut sebagai kejahatan persekusi. Contohnya, kasus penganiayaan pasangan yang dituduh berbuat mesum di Cikupa-Tangerang, Banten; kasus pembakaran orang yang dituduh mencuri amplifier di sebuah mushala di Bekasi, Jawa Barat; serta beragam kasus intimidasi, pengancaman dan pengejaran yang dilakukan oleh anggota kelompok ormas keagamaan atas pernyataan terbuka korban yang dirasa menyinggung agama atau tokoh agama kelompoknya.

Apa sebenarnya yang dimaksud dengan persekusi? Apa yang harus dilakukan negara untuk mengatasi permasalahan ini? Tulisan ini menjelaskan tentang konsep persekusi sebagai istilah hukum dan ketepatan atau ketidaktepatan penggunaan istilah persekusi di media belakangan ini, serta implikasinya terhadap upaya menemukan keadilan.

Kasus-kasus di atas memang betul keji, melanggar aturan hukum (pidana dan acara pidana) juga dari kacamata berbeda, melanggar sejumlah hak dasar manusia. Namun, apakah tepat kasus-kasus demikian disebut sebagai kejahatan "persekusi"?

Rupanya rujukan yang digunakan adalah pengertian persekusi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dan mungkin juga terjemahan istilah persecution dalam kamus bahasa Inggris. Padahal, sebenarnya hukum di Indonesia tidak mengenal konsep ataupun istilah persekusi.

Definisi baku "persekusi"

Dari sudut pandang hukum, istilahpersecution ditemukan di dalam sejumlah aturan tentang pengungsi (refugee) (1951 Convention Relating to the Status of Refugees) dan dalam Statuta Roma 1998 tentang Pengadilan Pidana Internasional (International Criminal Court). Dalam rezim hukum pengungsi, adanya persekusi merupakan prasyarat bagi penetapan status seseorang sebagai pengungsi dan selanjutnya pemberian suaka.

Pengungsi dalam konteks di atas didefinisikan sebagai orang yang—akibat ketakutan yang beralasan menjadi korban persekusi (well-founded fear of being persecuted) dan tak mendapat perlindungan di negaranya—terpaksa harus meninggalkan negaranya. Adapun kriteria atau batasan "ketakutan yang beralasan menjadi korban persekusi" dapat ditemukan dan dijabarkan dalam berbagai dokumen Office of United Nations High Commissioner for Refugees(UNHCR).

Selanjutnya, menurut UNHCR, persekusi merujuk pada pelanggaran serius/berat terhadap hak-hak dasar manusia yang diatur dalam hukum internasional, sifatnya diskriminatif, sehingga menjadikan hidup tak tertahankan (menyengsarakan) dan menyasar orang dari kelompok-kelompok ras, agama, kebangsaan, pandangan politik, bahkan jender tertentu.

Tercakup ke dalam kriteria persekusi adalah tindakan-tindakan diskriminatif serius seperti di atas, yang berdampak pada pembatasan/pelanggaran serius atas hak memperoleh penghidupan, hak untuk beribadah, atau hak untuk memperoleh sarana pendidikan, dan lain-lain. Adanya pembatasan/pelanggaran itulah yang menyebabkan hidup tidak lagi tertahankan (intolerable) dan memaksa orang mengungsi.

Berkaitan dengan hal itu, Statuta Roma 1998 tentang Pengadilan Pidana Internasional merumuskan persekusi sebagai kejahatan hanya ketika perbuatan ini merupakan wujud dari kejahatan terhadap kemanusiaan. Sementara kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity) ada jika merupakan bagian dari serangan yang meluas atau sistematis dan ditujukan terhadap penduduk sipil (when committed as part of a widespread or systematic attack against civilian population with knowledge of the attack).

Persekusi per se didefinisikan sebagai pelanggaran berat yang dilakukan dengan sengaja terhadap hak-hak dasar, yang bertentangan dengan hukum internasional, karena identitas kelompoknya (politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, keagamaan, jender, dan lainnya).

Dengan demikian, yang sebenarnya hendak dilindungi oleh hukum melalui larangan persekusi adalah kelompok tertentu (identifiable groups) dalam suatu masyarakat (negara) dari ancaman tindakan diskriminatif serius yang menyengsarakan dan membuat hidup anggota kelompok
ini menjadi tidak tertahankan (unbearable-intolerable). Mereka yang bersalah melakukan persekusi akan diminta pertanggungjawaban pidana. Sementara dari sudut pandang hukum pengungsi (refugee law), terjadinya persekusi memunculkan hak-hak sebagai pengungsi, termasuk untuk meminta suaka ke negara lain.

Hukum nasional

Satu persoalan ialah bahwa sekalipun di dalam hukum nasional (UU No 26/2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia) diatur tindak pidana kejahatan terhadap kemanusiaan, istilah dan konsep persekusi tidak tercakup di dalamnya. Istilah persekusi ternyata tidak ada sekalipun Penjelasan UU No 26/2000 menyebut dengan tegas bahwa istilah kejahatan terhadap kemanusiaan dalam ketentuan ini sesuai dengan Statuta Roma 1998. Istilah persekusi justru digantikan dengan penganiayaan. Konsep yang jelas jauh berbeda daripada persecution yang disebut dalam Statuta Roma ataupun dokumen-dokumen UNHCR.

Dari uraian di atas jelas bahwa penggunaan istilah persekusi dalam pemberitaan media massa nasional di atas (termasuk tindakan main hakim sendiri, penganiayaan dan lain-lain) jauh berbeda dengan cakupan pengertian persecutiondalam hukum pidana internasional ataupun hukum pengungsi. Korban dalam kenyataan tidak dijadikan target berdasarkan latar belakang atau statusnya sebagai anggota kelompok keagamaan, ras, etnis, jender atau pandangan politik tertentu.

Sebaliknya, istilah persekusi lebih tepat digunakan untuk, misalnya, tindakan pelarangan ibadah bagi anggota kelompok agama minoritas tertentu di Indonesia, serta kebijakan bersih diri-bersih lingkungan pada era Orde Baru yang diterapkan terhadap eks tahanan politik dan keturunannya.

Sekalipun demikian, maksud penulis meluruskan pengertian persekusi dalam ruang lingkup hukum bukan untuk menolak kewajiban negara menuntut pertanggungjawaban pidana pada pelaku kasus-kasus yang belakangan ini terjadi. Para pelaku tindak pidana, seperti yang disebutkan di atas, wajib dimintakan pertanggungjawaban pidana atas dasar pengeroyokan, pembunuhan, penganiayaan, serta pengancaman atau lainnya (berdasarkan ketentuan-ketentuan pidana yang ada di dalam dan di luar KUHP).

Tanpa adanya penegakan hukum, peluang terulangnya kejadian-kejadian di atas semakin besar. Keadilan dan kebenaran tetap harus diwujudkan dalam negara hukum Indonesia.

Widati Wulandari