Hal ini berdampak ke banyak sektor, di antaranya sektor jasa keuangan perbankan. Sejak era kejayaan komoditas berlalu dan pertumbuhan ekonomi mengalami tren pelambatan, bank memang memilih bersikap hati-hati. Penurunan kinerja korporasi-korporasi yang bergerak di sektor komoditas berdampak pada meningkatnya kredit bermasalah (NPL) sepanjang 2014-2016 walaupun masih di bawah 5 persen.

Perubahan strategi bisnis bank dilakukan agar kenaikan NPL tidak terlalu mengganggu kinerja bank. Dari sekian banyak strategi yang dipilih oleh bank, sebagian bank memilih untuk mengoptimalkan pendapatan nonbunga dan menjaga margin bunga bersih sekaligus.

Pendapatan nonbunga diperoleh dari berbagai bisnis bank dan pengenaan biaya transaksi menggunakan sejumlah kanal. Walaupun pertumbuhan ekonomi belum optimal dan pertumbuhan kredit bank juga masih lambat sepanjang 2017, sebagian besar bank umum kegiatan usaha (BUKU) III dan IV berhasil menumbuhkan laba secara signifikan. BUKU III adalah bank dengan modal inti Rp 5 triliun-Rp 30 triliun, sedangkan BUKU IV adalah bank dengan modal inti di atas Rp 30 triliun.

Pertumbuhan labanya jauh di atas pertumbuhan kredit industri perbankan yang hanya ada di level 8 persen.

Pertumbuhan ekonomi yang belum optimal juga menyebabkan likuiditas perekonomian meningkat, termasuk yang ditempatkan di bank. Hal ini terjadi karena sebagian masyarakat kelas menengah menahan belanja atau menambah tabungan.

Dengan likuiditas yang melimpah, biaya dana perbankan ikut turun, antara lain terasa pada Anda yang menempatkan dana di deposito. Sekarang, bunga deposito kira-kira ada di kisaran 5 persen, lebih rendah dibandingkan dengan bertahun-tahun lalu yang bisa mencapai 8 persen.

Namun, dengan kondisi perekonomian yang belum terlalu bergairah, bank rupanya masih melihat ada risiko yang dihadapi oleh pelaku usaha. Profil risiko itu kemudian menyebabkan premi risiko yang masuk dalam suku bunga dasar kredit masih relatif tinggi. Akibatnya, penurunan bunga kredit industri perbankan relatif lambat. Hal inilah yang ikut berkontribusi menjaga profitabilitas bank sepanjang tahun 2017.

Sebagai strategi bisnis, hal ini masih memungkinkan dilakukan dalam jangka pendek ini. Namun, sebagai lembaga keuangan yang menjalankan fungsi intermediasi dana, strategi memupuk laba di tengah kelesuan ekonomi tampaknya tak cukup bagus dalam jangka menengah dan panjang.

Apalagi, strategi ini menyebabkan kontribusi sektor jasa keuangan dalam menggerakkan sektor riil menjadi tak optimal. Penyaluran kredit yang masih terbatas mencerminkan dua hal sekaligus, yakni bank yang berhati-hati dan permintaan yang masih lemah.

Harus diakui bahwa Indonesia masih sangat bergantung pada komoditas. Jadi, ketika harga komoditas jatuh, pemulihan ekonomi berjalan lambat. Ketika perekonomian Indonesia tumbuh di atas 6 persen karena kontribusi harga komoditas yang tinggi, penyaluran kredit dari industri perbankan juga relatif tinggi. Bahkan, pertumbuhan kredit industri perbankan pernah mencapai 21 persen selama setahun.

Hal ini kemudian memunculkan semacam rumus dasar atau aturan main korelasi antara pertumbuhan kredit bank dan pertumbuhan ekonomi. Aturan main itu adalah pertumbuhan kredit industri perbankan kira-kira 2,5 kali dari proyeksi pertumbuhan ekonomi tahun yang bersangkutan. Namun, itu juga bisa dibalik untuk menjawab pertanyaan, berapa kira-kira pertumbuhan kredit yang diperlukan untuk mendorong target pertumbuhan ekonomi.

Ketika harga komoditas masih sangat tinggi, pertumbuhan ekonomi Indonesia di kisaran 6 persen memang sinkron dengan pertumbuhan kredit bank yang ada di kisaran 21 persen. Namun, rumus dasar itu kini hampir tak berlaku lagi karena terjadi berbagai perubahan struktur ekonomi, terutama setelah era kejayaan harga komoditas berlalu.

Dalam dua tahun ini, kredit bank tumbuh satu angka saja secara konsisten. Pada Desember 2016, misalnya, pertumbuhan kredit bank tercatat sebesar 7,8 persen selama setahun, lebih rendah dibandingkan dengan bulan sebelumnya 8,5 persen.

Sementara pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2016 tercatat sebesar 5,02 persen. Pada triwulan III-2017, pertumbuhan ekonomi Indonesia tercatat sebesar 5,06 persen, sementara pertumbuhan kredit industri perbankan pada akhir September tercatat sebesar 7,7 persen. Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan I dan II-2017 tercatat masing-masing sebesar 5,01 persen.

Belum sinkron

Walaupun harga sejumlah komoditas sudah merangkak naik mengikuti sentimen positif kenaikan harga minyak mentah dunia, sektor riil di Indonesia masih belum terlalu bergairah. Harga minyak mentah jenis WTI pada Jumat (15/12) untuk kontrak pengiriman pada Januari 2018 tercatat sebesar 57,3 dollar AS per barrel. Sementara harga minyak mentah jenis Brent untuk kontrak pengiriman pada Februari 2018 tercatat sebesar 63,25 dollar AS per barrel.

Harga minyak mentah itu sudah berangsur naik dari level terendah 29 dollar AS per barrel pada Desember 2016 setelah mencapai level 110,5 dollar AS per barrel pada September 2014.

Kenaikan harga minyak mentah diikuti oleh beberapa komoditas lain yang menjadi andalan ekspor Indonesia, seperti batubara, minyak kelapa sawit mentah (CPO), dan karet. Namun, kenaikan harga komoditas di pasar dunia itu tidak diikuti oleh kenaikan permintaan rumah tangga di daerah-daerah penghasil komoditas seperti Sumatera dan Kalimantan.

Pada triwulan III-2017, pertumbuhan ekonomi Sumatera hanya 4,43 persen, padahal kontribusi daerah penghasil komoditas perkebunan dan tambang itu terhadap produk domestik bruto mencapai 21,54 persen. Adapun pertumbuhan ekonomi Kalimantan tercatat 4,67 persen dengan kontribusi pada ekonomi nasional 8,1 persen.

Pertumbuhan ekonomi kedua kawasan itu jauh tertinggal dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi Jawa, yakni 5,51 persen, dengan kontribusi pada perekonomian nasional 58,51 persen. Jawa menggantungkan perekonomian pada pertanian (termasuk perikanan), industri, dan jasa.

Rupanya, kondisi ekonomi makro yang makin baik tidaklah cukup meningkatkan keyakinan konsumen untuk mendorong belanja rumah tangga dan pelaku usaha untuk meningkatkan investasi. Indikator ekonomi makro yang makin baik antara lain ditunjukkan oleh inflasi yang terjaga pada target 3-5 persen. Per November lalu, inflasi tahun kalender 2017 tercatat sebesar 2,87 persen. Adapun defisit transaksi berjalan pada triwulan III-2017 tercatat sebesar 1,65 persen dari produk domestik bruto. Dalam dua triwulan sebelumnya, defisit transaksi berjalan tercatat hanya 0,96 persen dan 1,91 persen.

Tantangan berat yang dihadapi perekonomian sepanjang 2017 ini tentu tetap menyisakan peluang bagi industri, termasuk industri perbankan. Tahun depan, sebagian infrastruktur dalam proyek-proyek strategis mulai beroperasi dan diharapkan bisa ikut mendorong perekonomian.