Kultur masyarakat Indonesia dalam menyerap prinsip-prinsip dasar demokrasi setidaknya dihadapkan pada dua hal. Pertamamasih kuatnya pengaruh feodalisme di masyarakat maupun di pemerintahan sehingga pola pikir yang tercipta adalah melayani penguasa/raja/atasan. Pada tataran ini, kebebasan individu dihadapkan dengan kuasa atasan, biasanya secara moral kuasa atasanlah yang akan lebih dominan. Padahal, esensi demokrasi adalah melindungi kebebasan setiap warga menentukan pilihannya.

Kedua, kondisi masyarakat yang religius (abangan maupun santri) menjadikan titah seorang pemuka agama adalah suatu kewajiban yang harus diikuti. Praktiknya, hampir seluruh pimpinan agama itu terlibat dalam setiap kontestasi pemilu dan pemilihan kepala daerah (pilkada).

Kuatnya dua patronase di atas pada tataran desa juga diperparah dengan kondisi genealogis masyarakat pedesaan. Ikatan kekeluargaan, baik melalui hubungan darah maupun perkawinan, masih sangat kental membentuk masyarakat pedesaan. Implikasinya, pilkada mau tidak mau pasti dikaitkan dengan hubungan kekeluargaan yang ada. Setiap anggota keluarga diwajibkan mendukung anggota keluarga lain (baik sebagai calon maupun tim sukses) dalam pilkada. Oleh karena itu, tak jarang hubungan kekeluargaan menjadi renggang pascapilkada.

Sejarah masa lalu Indonesia, baik dalam penindasan penjajah hingga 350 tahun maupun kungkungan kerajaan-kerajaan lokal yang tidak kalah feodal dan otoriter, menjadikan kultur masyarakat yang harus kita akui tidak begitu akrab dengan demokrasi. Terutama prinsip-prinsip demokrasi secara substansi, semisal persamaan, kebebasan, dan kedaulatan rakyat. Maka, tidaklah mengherankan  jika duplikasi demokrasi Barat (dengan bumbu-bumbu lokal) menemui banyak persoalan yang tidak mudah diselesaikan.

Mengubah budaya tak semudah mengamendemen konstitusi atau mengubah undang-undang. Pengalaman negara lain menunjukkan, butuh waktu yang tidak sebentar dan biaya tidak sedikit untuk mengubah budaya. Oleh karena itu, upaya demokratisasi substansial masih terus dibutuhkan.

Pada tahun 2018 mendatang, ada 171 daerah yang akan menyelenggarakan pilkada. Tentu saja ini jumlah yang tidak sedikit, dengan tingkat kerawanan konflik cukup besar. Politik uang, penggelembungan suara, dan bentuk kecurangan-kecurangan lain dalam pilkada adalah masalah klasik yang seharusnya sudah teratasi oleh penyelenggara dan pengawas pilkada.

Namun, pada kenyataannya, bentuk kecurangan-kecurangan gaya lama ini tidak pernah absen dalam setiap kontestasi pemilu meskipun sudah dalam kuantitas yang tidak begitu besar. Artinya, dibutuhkan pendekatan lain dari penyelenggara dan pengawas pemilu untuk mengantisipasi masalah klasik itu.

Dua potensi konflik

Namun, menurut penulis, ada dua potensi konflik lain dalam pilkada 2018 mendatang. Jika tak diantisipasi dengan baik, tidak saja akan merusak jalannya pilkada, tetapi juga merusak demokrasi dan bukan tidak mungkin mengganggu keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Potensi pertama adalah pemanfaatan agama dalam ruang publik untuk keuntungan politik praktis. Pilkada Jakarta meninggalkan bekas (baca: luka) yang memprihatinkan bagaimana agama dimanfaatkan oleh kelompok tertentu. Pada pilkada 2018 mendatang, potensi konflik yang terjadi akan semakin besar karena berbeda dengan di Jakarta kemarin yang (secara umum) menghadapkan mayoritas Islam dengan non-Islam. Pada 2018 ini justru akan menghadapkan golongan Islam dengan golongan Islam. Potensi ini sudah dapat terbaca di beberapa daerah yang sudah mendeklarasikan calon.

Potensi kedua adalah pemanfaatan kesukuan, atau istilah lain yang belakangan ini kembali mencuat adalah pribumi dan nonpribumi. Di Jakarta, isu pribumi dan nonpribumi tidak begitu kuat, tetapi di daerah lain, terutama luar Jawa, masih sangat kental dengan potensi konflik antarsuku yang cukup besar.

Oleh karena itu, menghadapi pilkada 2018 yang aman dan damai tidak cukup hanya mengandalkan peran penyelenggara dan pengawas pemilu serta kepolisian. Jauh dari itu, peran tokoh adat, tokoh agama, dan tokoh masyarakat sangat dibutuhkan.

Membiarkan mereka bergerak begitu saja tentu bukan pilihan baik. Negara harus berperan aktif menginisiasi peran tokoh-tokoh dalam pilkada mendatang. Setidaknya memunculkan kesadaran bahwa memilih adalah hak asasi yang harus didasarkan pada nurani. Bagaimanapun, pilkada hanya memunculkan pemimpin dalam lima tahun ke depan, sedangkan persaudaraan kita sebagai manusia dan sebuah bangsa abadi selamanya.