Donald Trump, sebagai presiden ke-45 negara adidaya satu-satunya di dunia itu, baru saja melewati setahun masa kepresidenannya. Harus diakui ini setahun yang kalau bukan penuh drama adalah setahun yang gaduh dan meresahkan.

Bahwa sepanjang masa kepemimpinan dan pemerintahan AS akan diliputi kontroversi, boleh jadi itu satu keniscayaan. Namun, khusus untuk Presiden Trump, kontroversi dan kegaduhan itu sungguh luar biasa.

Masuk akal kalau sejumlah jajak pendapat menempatkan popularitas Trump sebagai presiden pada 7 Januari 2018 hanya 37 persen, terendah sejak tahun 1993 (Gallup seperti dikutip The Evening Standard).

Setahun masa kepresidenan ditandai sejumlah kebijakan yang sangat kontroversial, mulai dari pelarangan masuk ke AS untuk tujuh negara Muslim, melarang pengungsi masuk AS, menarik diri dari Kesepakatan Iklim Paris, dan yang paling menonjol adalah mengakui Jerusalem sebagai ibu kota Israel. Juga pernyataannya untuk menghancur-lumatkan Korea Utara jika negara ini membahayakan AS, dan terakhir ancaman menarik diri dari Kesepakatan Nuklir dengan Iran.

Hal lain yang juga disebut-sebut, sebagaimana diungkapkan dalam bukuFire and Fury karya Michael Wolff, bahwa Gedung Putih dalam kondisi kaotis dan disfungsional selama setahun pemerintahan Trump. Tidak sedikit pejabat yang datang dan pergi karena diberhentikan Trump, misalnya Steve Bannon, Michael Flynn, juga Anthony Scaramucci. Menteri Luar Negeri Rex Tillerson juga tak luput dari kecaman Sang Presiden dan sempat muncul berita bahwa ia juga akan berhenti.

Jika normal mengikuti periodisasi masa jabatan presiden AS, era Trump masih tiga tahun lagi. Sayang jika masa kepresidenan negara dengan pengaruh besar seperti AS diisi hanya dengan kegaduhan internal. AS dan kepemimpinan yang arif masih bisa berperan lebih berarti bagi perdamaian dan kemajuan dunia.

Dalam hal Jerusalem, kita bertanya, apa tidak ada kebijakan luar negeri lain yang lebih urgen daripada pernyataan yang menggolakkan emosi dunia itu? Jika arif, semestinya Trump bisa merenungkan, mengapa presiden pendahulunya tidak melakukan apa yang ia lakukan.

Bahwa di Majelis Umum PBB ada 128 negara yang menolak pengakuan sepihak Trump, itu menandakan kebijakan tersebut tidak baik untuk Timur Tengah. Penalaran sama bisa kita ajukan untuk kebijakan mundur dari Kesepakatan Iklim Paris dan dari Kesepakatan Nuklir Iran. Kita tidak suka AS sebagai polisi dunia dan sebagai negara berpengaruh besar di dunia mengeluarkan kebijakan yang mengguncang kestabilan perdamaian. Dengan tren yang ada, kita memang wajar bertanya, quo vadis Amerika?