Blog ini berisi KLIPING aneka kritik, opini, solusi yang dihimpun dari berbagai media. Situs ini merupakan kliping pribadi yang dapat diakses publik. Selamat membaca
Pada 17 Agustus 1945 Soekarno dan Mohammad Hatta memproklamasikan kemerdekaan bangsa dan negara Indonesia. Hal ini merupakan kebulatan tekad dari seluruh rakyat Indonesia, apa pun suku, agama, ras, ataupun golongannya. Kita semua bersaudara.
Namun, upaya menjadi bangsa yang benar-benar merdeka ternyata tidak mudah. Penjajah yang tidak rela terus menyerang. Maka pada tahap selanjutnya terjadilah perang untuk mempertahankan kemerdekaan, yang tentunya menelan banyak korban.
Perang kemerdekaan ini akhirnya selesai pada tahun 1949. Kemudian masih terjadi peperangan kecil-kecil, tetapi semuanya dihadapi bahu-membahu dengan semboyan "Kita Bersaudara".
Kini menjelang 73 tahun merdeka justru muncul kejahatan kebencian terhadap bangsa sendiri. Apa yang mau dicari? Ingat, Anda, saya, dan kita bersaudara. Mau diapakan lagi?
Kita harus menjunjung tinggi Proklamasi 17 Agustus 1945 yang menunjukkan kekompakan bangsa Indonesia dilandasi dengan Sumpah Pemuda yang lebih dahulu berlangsung, 28 Oktober 1928.
"Kami putra dan putri Indonesia, mengaku bertumpah darah yang satu, Tanah Air Indonesia. Mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia. Menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia."
Semoga bencana menyingkir.
Titi Supratignyo Pondok Kacang Barat, Pondok Aren, Tangerang Selatan
Awas Maling
Beberapa bulan ini, di perumahan Villa Melati Mas (VMM), Tangerang Selatan, banyak warga yang kemalingan.
Di dekat rumah saya sepeda motor sering hilang, demikian juga sepeda dan barang lain. Maling beroperasi pada siang dan malam hari.
Seringnya pencurian membuat saya menyimpulkan, keamanan di VMM masih kurang optimal. Saya berharap dengan adanya keluhan-keluhan dari warga, pengelola dapat lebih memperhatikan keamanan.
JASON YOUNG Villa Melati Mas, Tangerang Selatan
Taman Perdamaian
Taman Perdamaian berada di Sektor 1.3, Bumi Serpong Damai (BSD), Tangerang Selatan. Ternyata, taman itu sudah berumur hampir 20 tahun.
Taman ditujukan sebagai sarana rekreasi dan kesenian. Belum lama ini, taman diperbarui oleh pemerintah daerah dengan menambah jungkat-jungkit, perosotan, fasilitas olahraga skateboard dan sepeda BMX.
Sayangnya, taman ini miskin lampu sehingga gelap pada malam hari. Apalagi jika lampu di sekitar taman juga mati.
Menurut saya, hal ini perlu segera diperbaiki agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, termasuk tindak kriminal.
Masalah lain yang harus diperbaiki adalah keterbatasan lahan parkir. Hal ini membuat banyak sepeda motor parkir sembarangan di pinggir trotoar. Akibatnya, banyak pejalan kaki dan pengguna jalan terganggu.
Sebagai penduduk di sekitar taman, saya menyarankan kepada pemda ataupun pengelola BSD untuk meninjau apa yang diperlukan taman ini dan kemudian memperbaiki kondisinya agar menjadi lebih baik. Misalnya dengan memasang lampu dan menyediakan lahan parkir.
Semoga taman ini menjadi tempat yang menyenangkan.
Jessica Wijaya Griya Loka, BSD,
Tangerang Selatan
Kompas, 29 Maret 2018
Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.
Sejarah seperti selalu berulang, l'histoire se répète. Philip Guedalla (1889-1944), seorang pop kultur asal Inggris, mengatakan, "Sejarah berulang dengan sendirinya."
Apa yang terjadi belakangan ini—pengusiran diplomat Rusia dari AS, Inggris, dan sejumlah negara Eropa—menegaskan berulangnya sejarah tersebut. Di era Perang Dingin, yakni masa setelah PD II (ada yang menyebut bermula pada tahun 1941 tatkala Jerman menginvasi Rusia. Saat itu AS memberikan bantuan senjata kepada Rusia. Namun, setelah Jerman kalah, Stalin ingin menerapkan ideologi komunis di Polandia, Hongaria, Bulgaria, dan Romania. Saat itu, Inggris dan AS mencurigai Stalin) dan berakhir pada 1989 setelah Tembok Berlin runtuh dan rezim-rezim komunis di Eropa Timur ambruk. Bubarnya Uni Soviet, 1991, menegaskan berakhirnya Perang Dingin.
Perang Dingin dicirikan oleh perang dan persaingan antara AS dan Uni Soviet: AS tidak bisa menerima ideologi komunis Uni Soviet; sebaliknya Uni Soviet tidak bisa menerima dominasi AS di negara-negara Eropa. Terjadi pacuan senjata. Soviet menyebarluaskan komunisme, sementara AS menyebarkan kapitalisme. Terjadi persaingan membuat senjata nuklir.
Pendek kata, hawa Perang Dingin diselimuti saling curiga, saling tidak percaya, perang propaganda, dan juga saling memata-matai. Dunia intelijen pun berkembang pesat.
Dalam situasi dunia seperti itu, sangat biasa kalau kemudian—berangkat dari ketidakpercayaan dan saling curiga—terjadi pengusiran diplomat; baik dilakukan oleh AS terhadap diplomat AS dan negara-negara Barat maupun sebaliknya. Meskipun, diplomat di seluruh dunia menyandang kekebalan diplomatik. Artinya, mereka tidak bisa dihukum di negara di mana mereka ditempatkan.
Akan tetapi, berdasarkan Konvensi Vienna 1961, negara tempat diplomat ditempatkan bisa "kapan pun dan atas dasar apa pun" menyatakan seorang diplomat asingpersona non grata atau tak dikehendaki di wilayah mereka. Bentuk-bentuk pelanggaran yang dapat menyebabkan terjadinya pengusiran pejabat diplomatik pada dasarnya adalah kegiatan yang merugikan negara penerima, yang berhubungan dengan harkat martabat negara penerima, serta tindakan subversi dan intervensi.
Praktik pengusiran itu banyak terjadi di era Perang Dingin. Pada 24 Desember 1971, misalnya, Pemerintah Inggris mengusir 105 diplomat Uni Soviet dan delegasi perdagangan di Inggris. Bukan hal baru, karena itu, apabila Inggris mengusir sejumlah diplomat Rusia sebagai buntut dari tewasnya mantan intelijen Rusia di Inggris, yakni Sergei Skripal, dan putrinya Yulia Skripal. Karena Rusia dianggap bertanggung jawab. Tetapi, tentu, dibantah Moskwa.
Tragedi Sergei dan Yulia inilah yang memicu aksi pengusiran diplomat tidak hanya oleh Inggris dan AS, tetapi juga oleh sejumlah negara Eropa lainnya. Kalau akhirnya Rusia membalas tindakan itu, sejarah pun berulang; dunia diliputi saling curiga, saling tidak percaya, dan berusaha mengalahkan. Padahal, saling percaya merupakan dasar terjadinya hubungan antarnegara
Kompas, 29 Maret 2018
Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.
Arief Hidayat kembali menjabat sebagai hakim konstitusi, Selasa (27/3). Ia yang terpilih lagi pada Desember 2017 merupakan hakim konstitusi pilihan DPR.
Arief menjabat hakim konstitusi mulai 1 April 2013 untuk pertama kali. Pada 14 Januari 2015, ia menjadi Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) menggantikan Hamdan Zoelva yang tak mencalonkan kembali sebagai hakim konstitusi. Ayat (3) Pasal 4 Undang-Undang (UU) Nomor 8 Tahun 2011 tentang MK memastikan, masa jabatan Ketua dan Wakil Ketua MK adalah selama dua tahun enam bulan terhitung sejak ditetapkan. Arief menjabat kembali sebagai Ketua MK pada 14 Juli 2017.
Jabatan pimpinan MK akan berakhir ketika seseorang tak lagi menjabat sebagai hakim konstitusi. Meskipun sudah diambil sumpahnya kembali, jabatan hakim konstitusi periode pertama bagi Arief berakhir pada 1 April 2018. Jabatan pimpinan MK berakhir pada tanggal yang sama pula. Dia kini adalah hakim konstitusi "baru", tak otomatis menjabat kembali sebagai ketua lagi. Hal ini sejalan dengan Peraturan MK Nomor 3 Tahun 2012, yang mengatur tentang pemilihan Ketua dan Wakil Ketua MK.
Seusai diambil sumpahnya sebagai hakim MK kembali, Selasa di Istana Negara, Arief menyiratkan kesiapannya untuk memimpin kembali MK. "Terserah (keputusan) RPH (rapat permusyawaratan hakim). Kalau hakim-hakim lainnya tidak menginginkan saya (menjadi Ketua MK), ya, saya siap saja. Kalau masih dipilih, saya juga siap," ujar Arief (Kompas, 28/3/2018).
Barangkali ia melupakan bunyi Pasal 4 Ayat (3a) UU No 8/2011, yaitu "Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi yang terpilih sebagaimana dimaksud pada Ayat (3) dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama untuk 1 (satu) kali masa jabatan". Penjelasan Pasal 4 dalam UU MK adalah "cukup jelas".
Rapat permusyawaratan hakim MK, Rabu (28/3), pun memutuskan, Arief sudah dua kali menjabat sebagai Ketua MK. Ia tampaknya legawa tak bisa dipilih kembali meski untuk periode kedua sebagai Ketua MK baru dijalaninya sekitar 8 bulan. Dia juga sudah diangkat kembali sebelum masa jabatannya sebagai hakim konstitusi benar-benar berakhir. Sikap Arief harus diapresiasi, untuk tak mempersoalkan kesepakatan hakim konstitusi itu.
Pemilihan ketua MK akan dilakukan Senin (2/4/2018) mendatang. Arief bisa saja mencalonkan diri sebagai Wakil Ketua MK. Hal itu bukan pelanggaran terhadap UU MK atau aturan lain.
Namun, perjalanan Arief memimpin MK tidak berjalan mulus. Dia beberapa kali dilaporkan ke Dewan Etik MK, dan dua kali dinyatakan melakukan pelanggaran ringan sehingga diberikan sanksi. Ia juga dituntut mundur oleh sejumlah kalangan.
Ketika diangkat kembali menjadi hakim konstitusi, ini adalah kesempatan bagi Arief untuk membantu MK memperbaiki citra lembaga itu. Sejak Ketua MK Akil Mochtar tahun 2013 dan hakim konstitusi Patrialis Akbar tahun 2017 diamankan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), karena kasus korupsi, citra MK pun terpuruk. Kondisi itu diperburuk dengan dugaan pelanggaran etik yang dilakukan Arief. Kesempatan kedua ini harus benar-benar dimanfaatkan Arief sehingga lembaga itu dipercaya lagi oleh rakyat. Janganlah justru kian membebaninya
Kompas, 29 Maret 2018
Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.
Menjadi pemerintah itu memang harus bisa meramalkan (to govern is to foresee). Karena tak seorang pun tahu pasti apa yang akan terjadi di masa depan, cara terbaik untuk menghadapi masa depan adalah dengan mengendalikannya. Dengan berlandaskan basis data yang sahih, berbagai kecenderungan positif ataupun negatif bisa diantisipasi untuk memastikan agar gerak sejarah masa depan tetap berjalan pada jalur keselamatan.
Bagaimana kalau seseorang yang berpotensi mencalonkan diri dalam bursa pemilihan presiden "membeli" skenario negatif yang meramalkan bahwa Indonesia akan bubar pada 2030? Ya, tentu sah-sah saja. Namun, pernyataan seorang pemimpin untuk hal-hal seserius masa depan negaranya tentu harus diperhitungkan masak-masak. Pertama, apakah prakiraan itu berlandaskan basis data dan argumen memadai. Kedua, seburuk apa pun skenario masa depan yang mungkin terjadi, tugas pemimpin menumbuhkan optimisme. Mantan Perdana Menteri Singapura Lee Kuan Yew berkata, "Tugasku adalah untuk memberikan harapan kepada rakyat, bukan untuk membuatnya mengalami demoralisasi."
Dengan kepelikan yang menghadang Indonesia di masa depan, yang diperlukan memang bukanlah suatu optimisme yang buta, melainkan suatu optimisme dengan mata terbuka. Kita harus bisa menggunakan pesimisme untuk menumbuhkan rasa keterpautan dengan realitas karena kesanggupannya untuk melihat situasi secara lebih akurat. Meskipun demikian, kita tidak perlu hanyut dalam bayang-bayang kegelapan yang akan membelenggu kita dalam penjara pesimisme. Pemikiran konvensional beranggapan kesuksesan menciptakan optimisme. Padahal, bukti menunjukkan sebaliknya. Seperti diungkap oleh psikolog Martin Seligman, optimisme cenderung mendorong pada kesuksesan.
Namun, optimisme harus berjejak pada visi dan komitmen. Optimisme tanpa visi dan komit- men hanyalah lamunan kosong. Upaya menyemai optimisme harus memperkuat kembali visi yang mempertimbangkan warisan baik masa lalu, peluang masa kini, dan keampuhannya mengantisipasi masa depan. Visi ini harus menjadi kenyataan dengan memperkuat kapasitas transformatif kekuasaan.
Pertama-tama, hendaklah disadari Indonesia negeri pejuang, bukan negeri para begundal. Dalam ungkapan Bung Hatta, "Bagi kami, Indonesia menyatakan suatu tujuan politik karena dia melambangkan dan mencita-citakan suatu Tanah Air pada masa depan dan untuk mewujudkannya, setiap orang Indonesia akan berusaha dengan segala tenaga dan kemampuannya."
Berjuang, "berusaha dengan segala tenaga dan kemampuan" itulah urat nadi keindonesiaan, yang membuat ia ada dan melangsungkan keberadaannya. Tekad perjuangan ini bukanlah retorika kosong dari suatu politik pencitraan, melainkan didarahi oleh pengalaman keterjajahan, ketertindasan, dan penderitaan yang membuat para pendiri bangsa memiliki penghayatan dalam tentang arti kemanusiaan, persatuan, dan keadilan.
Jika Indonesia ada karena etos kejuangan menegakkan cita-cita kemanusiaan, persatuan, dan keadilan, Indonesia terancam karam seiring pemudaran nilai-nilai dasar tersebut. Indonesia telah lolos berbagai ujian kemelaratan dan penderitaan, sejauh masih ada semangat perjuangan dan solidaritas kemanusiaan. Namun, daya hidup dan karakter keindonesiaan justru goyah saat ketamakan dan pertikaian elite menari di atas penderitaan rakyat.
Dengan keserakahan dan pertikaian elite, kita terancam "kehilangan Indonesia". Hal ini mengingatkan pada pernyataan PM Belanda Hendrik Colijn pada 1938. Ketika menanggapi Petisi Soetardjo, anggota Parlemen Hindia Belanda, yang menuntut kemerdekaan Indonesia, Colijn mengatakan, "Indie verloren, rampspoed geboren" (Kehilangan Indonesia, timbul bencana). Kehilangan Indonesia merupakan bencana besar atas rontoknya cita-cita besar mewujudkan bangsa merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur.
Untuk menghindari hal itu, para elite di Ibu Kota harus banyak belajar dan berempati kepada rakyatnya. Pergilah ke seluruh pelosok Tanah Air. Di mana pun titik bumi negeri ini dipijak akan dijumpai keragaman manusia yang menanti pengharapan dengan kegigihan daya juang.
Melihat Indonesia dari pinggir seperti melihat pendaran cahaya yang lebih terlihat indah dari lingkar terluar. Apa yang terlihat muram di Ibu Kota tampak lebih cerah di tepian. Bukan karena kehidupan di tepian lebih makmur, melainkan karena kesederhanaan yang membuat harapan hidup lebih mudah didekati dengan kebersahajaan. Di kesuburan tanah pinggiran masih tertanam kesuburan jiwa. Kepolosan wajah perdesaan bak cermin bening yang bisa memantulkan ketulusan pengabdian secara setimpal.
Ada dua sisi waktu yang tak bisa kita perbuat: masa lalu dan masa depan. Satu-satunya yang bisa kita lakukan hanyalah berbuat di masa kini. Kita mesti merebut hari ini dengan menanam benih kebaikan meski tampak sebagai misi ketidakmungkinan. Tidak perlu putus asa sebab tugas hidup bukanlah meraih keberhasilan, melainkan memperjuangkan keberhasilan. Dengan ketulusan pengabdian, setiap amal tidaklah sia-sia.
Di sinilah Tanah Air pengabdian kita. Di sepanjang untaian zamrud khatulistiwa, anak-anak negeri hidup damai saling mengasihi, tiada kebinatangan saling menginjak dan mengusir sesama. Syukur pada Ilahi dengan turut merawat dan memakmurkan ibu pertiwi. Di mana bumi dipijak di sana langit dijunjung
Kompas, 29 Kompas 2018
Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.
Bagi petani ladang, tahun ini seharusnya padi sudah tumbuh untuk dipanen pada bulan Maret. Tetapi dengan adanya larangan pembakaran lahan, petani ladang di tidak lagi dapat melakukannya.
Berdasarkan Inpres No 11/2015 tentang Peningkatan Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan, setiap kegiatan pengolahan ladang dan hutan tidak diperbolehkan untuk menggunakan api dengan alasan apa pun.
Sejak 2016, perladangan di banyak tempat berhenti. Penegakan aturan pun berlangsung dengan tegas. Pemerintah menyerahkan tanggung jawab kepada perusahaan-perusahaan perkebunan sawit untuk selalu waspada akan bahaya api. Jika ada yang membakar ladang, maka perusahaan dianggap bersalah.
Para peladang pun sudah tahu bahwa di langit ada satelit penangkap panas yang senantiasa mengawasi. Cerita bahwa petugas akan segera datang meringkus peladang bertiup dari mulut ke mulut. Di satu sisi, Indonesia mematuhi tekanan internasional untuk turut menjaga kebersihan udara. Di sisi lain, kebijakan ini membuat petani perladangan berpindah putus asa.
"Berladang di warung"
Masyarakat peladang berpindah (swidden agriculture peasant) di Kalimantan secara umum merasakan dampak yang sangat besar akibat berhentinya aktivitas ladang. Dengan tidak berjalannya kegiatan perladangan, maka bukan hanya beras yang harus dibeli, tetapi juga seluruh jenis tanaman pangan lain yang ditanam dalam area ladang mereka.
Seperti pengakuan peladang di Kecamatan Kendawangan, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat, ketika membakar lahan masih diperbolehkan, maka tiap keluarga minimal dapat makan beras selama enam bulan atau lebih sedikit. Termasuk makan sayur sepanjang tahun tanpa membeli. Dalam keadaan cuaca bagus bahkan mereka dapat makan satu tahun dan masih ada sisa untuk dijual untuk belanja.
Luas lahan sebesar dua hektar sudah cukup untuk menjamin hidup satu keluarga. Bahkan ketika pembakaran selesai, biasanya jumlah ikan haruan atau gabus meningkat di sungai sehingga warga mudah memperoleh protein. Kini, berutang di warung menjadi kebiasaan baru. Warga sambil setengah berseloroh mengatakan: "Kini kami berladang di warung."
Namun, untuk berladang tanpa api, masalahnya idtak sederhana. Tahap pertama adalah membersihkan semak belukar dan rumput-rumput tinggi. Tanpa menggunakan api maka rumput ilalang harus diracun supaya mati. Lalu ditebas dengan jumlah tenaga kerja yang besar untuk mencapai luasan maksimal hektar. Tanpa api, efektivitas pengolahan ladang menurun sampai 75 persen. Lalu tanah harus diberi pupuk dan dikurangi kadar asamnya secara kimiawi. Proses ini mengharuskan peladang membeli.
Jadi, kalaupun membuka ladang, artinya sangat memaksakan diri. Ingin dibuat besar tidak ada modal, tetapi jika dibuat kecil risikonya terlalu besar. Dalam keadaan ideal, pada luas tanah satu hektar maka hasil padi mencapai 1000 gantang (1,5 ton). Namun membuka lahan seluas satu hektar untuk ditanami padi hanya mungkin dapat tercapai dengan teknik pembakaran ladang.
Dalam tiap musim tanam seharusnya setiap orang di lahan masing-masing harus menanam padi, tak boleh ada yang tidak ikut. Semakin luas areal yang ditanam maka konsentrasi serangan hama menjadi terbagi dan tidak terlalu fokus merusak pada satu lokasi. Sebetulnya, dalam keadaan normal, serangan hama itu selalu ada tetapi tak mengganggu. Petani menganggap biarkan jatah mereka sebagai sama-sama ciptaan Tuhan sebagai hak hidup yang perlu dijaga. Hama baru dirasakan berbahaya ketika jumlah luas lahan yang ditanami mengecil sementara hama sangat banyak.
Mengecilnya luasan lahan disebabkan karena banyak petani yang tidak lagi mampu membuka lahan karena tidak boleh membakar. Jadi, menurut petani, ada korelasi antara larangan bakar dan meningkatnya jumlah serangan hama dalam luasan garapan yang kemudian sangat mengecil. Keputusan rasional adalah berhenti. Seorang nenek yang masih ngotot berladang mengemukakan alasan: "Kalau saya berhenti tanam, maka apa lagi yang dapat saya sedekahkan kepada orang yang lapar?"
Korban politik pertanian
Dari etnografi tentang sistem pertanian ladang berpindah di Kalimantan, pembakaran lahan dilakukan hanya sebentar dan tidak luas. Mereka hanya membakar seperlunya dalam waktu cepat di atas kawasan tanah mineral dan bukan di kawasan gambut yang tak subur itu.
Namun, Inpres yang digunakan sebagai landasan larangan membakar tak membedakan antara api yang berada di kawasan gambut dan api yang berada di kawasan tanah mineral, yaitu tanah warga untuk berladang.
Petani jadi korban dari dua hal. Pertama, korban stigma dari modernisasi pertanian 1960-an. Sawah dianggap solusi final yang produktif hanya karena produktivitasnya tinggi, bergandengan dengan kapitalisme tani (pabrik pupuk, pabrik racun hama), dan nyaman nyaman dipandang karena cocok dengan visualisasi eksotis tentang kemakmuran pangan. Sementara ladang terlihat berantakan, hasilnya lebih sedikit, dan sulit diukur karena bergandengan dengan komoditas tanaman lain.
Kedua, korban dari politik kapitalisme pertanian. Korporasi sawit yang mendatangkan keuntungan besar bagi negara dianggap prioritas. Alih-alih menjaga kualitas udara, larangan bakar lebih ditujukan untuk menyelamatkan perkebunan sawit dari tuduhan merusak lingkungan. Petani ladang pun dikorbankan. Tidak pernah dipikirkan bahwa kontribusi emisi karbon ke udara dari pembakaran lahan skala dua hektar yang berlangsung selama dua jam dalam setahun terlalu kecil dibandingkan besarnya jasa peladang dalam menjaga hutan-hutan di sekitar ladangnya.
Hingga saat ini pemerintah belum memberikan solusi bagi penyelamatan hak-hak hidup petani ladang di atas tanahnya sendiri. Keadaan ini dapat sangat berbahaya karena ketika tidak ada sumber penghidupan dari ladang, tekanan petani yang lapar untuk merambah hutan menjadi lebih besar.
Sementara Presiden bermaksud menolong rakyat dengan membagi-bagikan sertifikat tanah demi keadilan agraria, di belahan lain terdapat kaum petani pemilik tanah yang tercabut dari tradisi bertani. Jika solusi memang tidak ada, maka sebaik-baiknya negara adalah memberi fasilitasi terkoordinasi dengan perusahaan perkebunan untuk menciptakan sistem pembakaran lahan yang aman dari bahaya kebakaran hutan.
Iwan Meulia Pirous,Peneliti di Gaia Consultant, Bogor
Kompas, 29 Maret 2019
Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana merilis, pada rentang Januari-Februari 2018 telah terjadi 513 kejadian bencana di Tanah Air. Kejadian bencana terdiri dari puting beliung (182 kejadian), banjir (157), longsor (137), kebakaran hutan dan lahan (15), kombinasi banjir dan tanah longsor (10), gelombang pasang dan abrasi (7), gempa bumi merusak (3), dan erupsi gunung berapi (2).
Mengacu pada Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, kejadian-kejadian tersebut dikategorikan sebagai bencana alam. Dalam ketentuan umumnya dinyatakan, bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh alam, antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah longsor. Tuduhan semua bencana tersebut akibat perilaku alam makin menggebu ketika ditambah argumentasi bahwa negara kita terletak pada rangkaian cincin api sehingga wajar terjadi bencana gunung meletus dan gempa vulkanis. Negara kita juga menjadi pertemuan tiga lempeng dunia (Australia, Pasifik, dan Eurasia), makin memaklumkan bahwa gempa bumi dan tsunami adalah suatu kewajaran.
Padahal, kejadian-kejadian bencana itu menjadi terasa tidak adil jika semua murni dimusababkan pada alam. Sebab, sebenarnya, ada potensi keterkaitan manusia, terutama untuk bencana banjir, longsor, kombinasi banjir-longsor, serta kebakaran hutan dan lahan; yang pada data Badan Nasional Penanggulangan Bencana menyumbang 62 persen kejadian. Ini beralasan, sebagaimana Marten (2011) memaknai alam menjadi lima kategori. Pertama, alam bersifat saling berkaitan; langsung atau tidak, yang terjadi pada alam merupakan konsekuensi tindakan manusia.
Kedua, alam bersifat jinak dan lestari. Alam akan tetap melayani manusia selama manusia tidak radikal mengubah kondisi alami. Ketiga, alam tahan lama jika manusia mampu merekayasa alam sebagaimana yang diinginkan dengan bijak. Keempat, alam itu rapuh. Keseimbangannya runtuh jika manusia mengubah kondisi alamiahnya. Kelima, alam itu berubah-ubah; kadang mendukung upaya manusia, kadang justru merusakkannya.
Perebut lahan konservasi
Alam tidak memberikan bencana tatkala manusia tak mengubah kondisi alam secara radikal. Kalaupun alam dengan perilaku alamiahnya berefek destruktif, hal itu tidak sampai menimbulkan korban bencana manakala manusia tidak gegabah menempati kawasan rentan destruktif.
Manusia berpotensi ikut memunculkan jenis-jenis bencana itu karena manusia telah menjadi perebut lahan konservasi. Perebutan dilakukan baik karena alasan ekonomi maupun tempat tinggal.
Angka deforestasi pada Juli 2016-Juni 2017 masih pada bilangan 479.000 hektar (308.000 hektar di dalam kawasan hutan dan 171.000 hektar di areal penggunaan lain). Meski Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) mengklaim terjadi penurunan, angka tersebut indikasi yang mengkhawatirkan. Bahkan pertanian, sebagai sektor yang dinilai paling ramah konservasi pun, ternyata tertekan luasannya. Ditjen Sarana dan Prasarana Kementerian Pertanian menyebut, laju konversi lahan pertanian produktif ke non-produktif sekitar 100.000 hektar per tahun.
Perebutan lahan konservasi juga terlihat dengan makin merangseknya aktivitas manusia di sekitar kawasan. Kasus konflik harimau sumatera dengan manusia belum lama ini, baik yang berujung pada terbunuhnya manusia maupun terbunuhnya harimau, menjadi kode keras.
Ironi yang mempercepat proses perebutan lahan konservasi adalah menggelegarnya aktivitas pelancong. Pemerintah menargetkan 20 juta wisatawan mancanegara pada 2019, direspons dengan penetapan 10 destinasi, di antaranya berstatus taman nasional. Meski UU No 5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya mengizinkan dibangun sarana pariwisata pada zona pemanfaatan, tetapi dengan menjadi destinasi wisata masif dikhawatirkan akan mengganggu keutuhan zona inti.
Sangat disayangkan, Kementerian LHK yang selayaknya menjadi "pembela" perlindungan konservasi ternyata turut mendorong wisata masif di wilayah konservasi. Salah satunya, dibangunnya sarana dan prasarana puncak Taman Wisata Alam Kawah Ijen serta persetujuan pembangunan kereta gantung oleh swasta menuju puncak. Aktivitas-aktivitas ini menimbulkan pro-kontra terkait kekhawatiran perubahan ekosistem yang berpengaruh pada potensi bencana.
Kekhawatiran itu sangat beralasan. Kawasan Cagar Alam Kali Pahit Ijen pun kecolongan; ditemukan ticketing wisata pada musim liburan Natal 2016 dan Tahun Baru 2017 oleh pihak lain. Padahal, kawasan ini seharusnya steril dari aktivitas wisata. Anehnya, statistik BKSDA Jatim justru pernah merilis, ada 1.033 orang berkunjung dengan tujuan rekreasi ke Cagar Alam P Sempu pada 2012 dan 2.524 orang pada 2015.
Kiranya perlu perhatian semua pihak untuk tetap menjaga dan memperhatikan marwah lahan peruntukan konservasi dan aktivitas pelancong masif. Sedapat mungkin dikendalikan pada kawasan-kawasan konservasi sebagai ikhtiar memperkecil potensi terjadinya bencana.
Ihsannudin, Dosen Pemberdayaan Masyarakat dalam Konservasi Universitas Trunojoyo, Madura, dan Kader Konservasi Kementerian LHK
Kompas, 29 Maret 2018
Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.
Pemilihan kepala daerah selalu menyimpan cerita permainan uang yang mengiringinya. Mulai dari gejala beli perahu untuk pencalonan, menyawer uang untuk membeli dukungan, kampanye dengan menyebar uang, hingga serangan fajar di hari pemilihan maupun permainan di tingkat tabulasi hasil adalah riwayat yang senantiasa hadir di setiap pilkada.
Bahkan daftar itu belum cukup. Dapat diperpanjang hingga tahapan perselisihan hasil di Mahkamah Konstitusi (MK), yang beberapa waktu lalu pernah memakan korban ketua MK kala itu. Hampir setiap tahapan membutuhkan konversi ke dalam bentuk uang. Pemilihan menjadi berbiaya mahal. Baik biaya untuk pengeluaran bagi kegiatan halal maupun biaya untuk kegiatan haram.
Bahwa pemilu berbiaya mahal, kita semua sudah mafhum hal itu, walau tidak berarti harus maklum. Pada titik itulah, tindakan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menyasar kandidat petarung di pilkada menjadi menarik. Jauh lebih menarik dibandingkan "kegenitan" KPK mengumumkan akan menersangkakan banyak kandidat. Bahwa KPK kurang pas dalam penyampaian adalah benar. Namun, tak kalah benarnya adalah esensi kewajiban KPK untuk melirik ke pilkada yang sudah menjadi pesta permainan uang dan korupsi.
Pola lama
Sebenarnya, tak ada yang benar-benar baru dalam kaitan pola permainan uang dalam pilkada ini. Modal besar untuk ikut pilkada ini membuat pihak tertentu mau untuk melakukan investasi koruptif yang terbangun dari kepentingan masing-masing pihak. Pemilik modal tinggal melihat siapa pemilik elektabilitas tertinggi. Taruh uang di situ dengan perjanjian akan mendapatkan sesuatu setelah keterpilihan.
Bahkan, sering kali, pemilik modal tidak menaruh dalam satu keranjang saja. Pemilik modal yang punya kapasitas keuangan lebih biasanya berani untuk menaruh dalam keranjang siapa saja yang bertarung. Dengan harapan, siapa pun pemenangnya, setelah dilantik dan mengelola Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), dana tersebut akan cepat kembali.
Pola relasi itu bertemu dengan kewenangan kepala daerah dalam menentukan hal-hal administratif tertentu, khususnya pelaksanaan APBD dan sumber daya alam (SDA). Korupsi APBD dan SDA ini menjadi ajang simbiosis mutualisme bagi kepala daerah dan pemodal. Relasi supply and demand (penawaran dan permintaan) pemburu rente yang kemudian bertemu dalam pasar yang disebut dengan pilkada.
Bahkan, seiring dengan model pilkada serentak, terkadang membuat kandidat kepala daerah makin berani. Tatkala ada jeda waktu antara pemilihan, pengumuman pemenang, bahkan hingga pelantikan, kepala daerah yang sudah menang (menurut survei) ataupun menurut perhitungan komisi pemilihan di daerah sudah berani meminta dan menawarkan APBD dan hal tertentu. Menang tapi belum dilantik ini membuat mereka berani menjarah uang oleh karena berpikir seakan-akan karena belum dilantik, mereka belum menjadi pejabat daerah dan masuk dalam rekam radar penegak hukum antikorupsi.
Padahal, meskipun belum dilantik sebagai kepala daerah, pada hakikatnya pemenang pilkada sudah dapat dianggap harus mempertanggungjawabkan jika melakukan pelanggaran koruptif. Mengutip Eddy OS Hiariej (2018) yang menyitir pendapat Hazewinkel Suringa dan Jan Rammelink, pada dasarnya dalam hukum pidana berlaku prinsip dolus anteceden yang berarti kesengajaan yang ditempatkan sebelum salah satu unsur delik terpenuhi tetapi pasti akan terpenuhi.
Unsur delik yang belum terpenuhi tetapi pasti terpenuhi ini menggariskan bahwa seseorang tidak bisa dipidana jika unsur yang belum terpenuhi itu tidak pernah terjadi. Maka, seseorang biasa yang terpilih menjadi pejabat negara atau sudah ditunjuk tetapi belum dilantik, lalu ia menerima atau meminta sesuatu berupa suap, maka begitu ia dilantik, delik tersebut terpenuhi.
Impitan aturan pilkada
Balik ke calon kepala daerah, tindakan Menko Polhukam yang meminta agar KPK menunda penegakan hukum tidaklah sepenuhnya tanpa alasan. Dalam penalaran, yang ditakutkan Menko Polhukam adalah kemungkinan buntu akibat kandidat yang kemudian ditersangkakan dan ditahan KPK. Ini karena aturan UU Pilkada yang tidak membolehkan adanya pergantian kandidat oleh partai pengusung pada tahapan setelah ditetapkannya calon tetap. UU hanya mengatur kemungkinan proses pergantian tatkala kandidat meninggal dunia, yang kemudian pengusung dapat melakukan usulan penggantian dengan jangka waktu tertentu.
Begitu juga dengan Peraturan KPU No 3 Tahun 2017 tidak mengaturnya secara limitatif. Bayangkan, jika kemudian mereka ditahan lalu pendukungnya melakukan tindakan amuk. Belum lagi bagaimana pelaksanaan pilkada jika kandidatnya kemudian ditahan dan pilkada tidak dapat dilaksanakan.
Sayangnya, alasan tersebut tidak pas karena negara hukum memberikan titah yang tidak sederhana terhadap penegakan hukum. Fiat justicia ruat coelum, hukum harus tetap ditegakkan meski langit akan runtuh. Dalam konteks ini, seharusnya pemerintah berbicara dalam langgam yang sama, yakni penegakan hukum tetap harus dikedepankan. Bukan hanya demi penegakan hukum, melainkan juga demi masa depan demokrasi elektoral itu sendiri. Rasa aman dan damai pilkada tidak bisa didahulukan dibandingkan mendapatkan kepala daerah yang benar-benar bersih dan mumpuni.
Integritas dan kapabilitas kandidat adalah paduan yang tak kalah penting dibandingkan keamanan tatkala proses pilkada. Lagi pula jangan dilupakan, rasa aman dan damai pilkada adalah sebuah proses dan bukan sesuatu yang "jatuh dari langit". Harus diciptakan dan dijaga oleh aparat negara yang bekerja untuk itu.
Karena itu, dibandingkan dengan menunda proses penegakan hukum terhadap para kandidat yang berkelindan dengan masalah korupsi, jauh lebih tepat jika pemerintah mengupayakan sesuatu yang lebih bermartabat, yakni menyediakan jalan keluar dari impitan aturan pilkada tersebut. Tentu saja, salah satunya adalah menyediakan aturan, baik UU maupun peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu), untuk menutup pintu ke jalan buntu akibat kandidat yang ditahan.
Ide perppu
Perppu adalah salah satu jawaban atas hal ihwal kegentingan memaksa yang mengimpit pelaksanaan pilkada yang dibayangi proses koruptif ini. Sayangnya, perppu juga bukan sesuatu barang murah yang dapat diobral, karena setidaknya ada dua hal yang harus dibicarakan tatkala rencana untuk mengeluarkan perppu.
Pertama, tentu saja persoalan teknis timing. Hingga saat ini, banyak berdasarkan Pasal 22 Ayat 1 UUD 1945 yang mengatakan bahwa perppu dapat dikeluarkan kapan saja oleh presiden sepanjang ada hal ihwal kegentingan memaksa. "Hal ihwal kegentingan memaksa" adalah suatu kondisi subyektif presiden yang nantinya akan diobyektifikasi oleh proses penerimaan di DPR. Makanya, dalam Ayat 2 di pasal yang sama, dikatakan bahwa harus mendapatkan persetujuan DPR dalam persidangan yang berikut.
Akan tetapi, dalam penalaran hukum, sebenarnya ada sebab musabab mengapa Pasal 22 Ayat 2 ada anak kalimat "dalam persidangan yang berikut". Karena sesungguhnya, perppu tidak dapat dikeluarkan kapan saja. Perppu dikeluarkan tatkala DPR tengah tidak bersidang, sedang masa reses. Karena itulah makna mengapa disebut dengan disidangkan pada masa sidang berikutnya. Hal yang artinya, begitu masuk masa sidang DPR, maka perppu tersebut langsung disidangkan.
Bayangkan jika tengah masa sidang, maka menurut pasal tersebut, seharusnya perppu disidangkan pada masa sidang berikutnya, dan bukan pada masa sidang yang tengah berjalan. Dan jika itu terjadi, akan menghilangkan esensi perppu adalah suatu kondisi hal ihwal kegentingan yang memaksa, artinya memang sebuah produk yang membutuhkan penggunaan segera. Bahaya otoritarian akan membayangi jika presiden dibiarkan mengeluarkan suatu produk setara UU yang berlangsung segera dan menunggu waktu terlalu lama untuk mendapatkan persetujuan wakil rakyat.
Sederhananya, jika DPR masih bersidang, maka yang dibutuhkan tentu saja adalah pembentukan undang-undang secara cepat. Bisakah? Sangat mungkin sepanjang pembentuk UU, presiden dan DPR, sepakat untuk melakukannya. UU No 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3), misalnya, sudah beberapa kali mengalami perubahan cepat bahkan dengan hitungan hari.
Padahal, kepentingan yang ada hanyalah kepentingan politis semata tatkala itu, yakni soal penambahan kursi wakil partai-partai di alat kelengkapan. Jika memang pembentuk UU masih berpikir pada konteks kepentingan rakyat, seharusnya bisa membentuk UU cepat, yang didorong inisiasinya oleh pemrakarsa, lalu bersidang untuk memasukkan UU tersebut ke dalam pembahasan.
Inilah mengapa disebutkan di atas bahwa bukan cuma perppu, perubahan UU cepat pun masih sangat mungkin untuk menjadi alat untuk menyelamatkan pilkada. Jika DPR masih bersidang, pembentuk UU membuat UU cepat. Jika tidak tengah bersidang, Presiden mengeluarkan senjata perppu.
Kedua, tentu saja persoalan substansi. Jika memang disepakati bahwa perppu adalah jalan yang paling pas, maka substansi yang kemudian penting untuk dibicarakan. Sesungguhnya, meski UU Pilkada mengharamkan kemungkinan untuk melakukan penggantian kandidat tatkala sudah memasuki tahapan kampanye, tidak berarti pintu itu ditutup sepenuhnya. Oleh karena masih ada Pasal 54 yang memberikan kemungkinan untuk melakukan pergantian tatkala kandidat tersebut meninggal dunia.
Karena itu, sederhananya pasal bagi perppu penyelamatan pilkada dari perilaku koruptif ini adalah dimungkinkannya bagi pengusung kandidat untuk melakukan penggantian menggunakan mekanisme dan klausul ketika kandidat meninggal dunia. Dengan demikian, pasal yang dibutuhkan untuk dicantumkan di dalam perppu sebenarnya cukup sederhana, yakni cukup dengan menambah bahwa klausul Pasal 54 juga diberlakukan tatkala kandidat dikenai penegakan hukum atas pelanggaran pidana khusus, semisal korupsi, narkoba, dan terorisme. Dengan begitu, proses pergantiannya kemudian mengikuti mekanisme pergantian ketika kandidat meninggal dunia.
Walaupun ada ide menempatkan aturan ini tak perlu via perppu, tetapi merevisi Peraturan KPU Nomor 3 Tahun 2017, tetapi sangat mungkin tidak menyelesaikan masalah jika tidak ditempatkan di dalam aturan setingkat UU. Sangat mungkin KPU yang dipersoalkan karena mengatur terlalu jauh sesuatu yang tidak diatur oleh UU.
Pada akhirnya, negeri inilah yang harus diselamatkan dari perilaku korupsi yang terus membayangi pilkada. Sekali lagi, dibandingkan melarang penegakan hukum ditegakkan secara cepat buat para bandit demokrasi ini, mending mencari cara aturan dikeluarkan untuk menyelamatkan pilkada dari kemungkinan gagal akibat praktik korupsi. Tentu menyelamatkan pilkada tidak cukup, mencari peta jalan keluar agar korupsi tak terus membayangi pilkada juga harus dilakukan.
Kita semua paham permainan korupsi yang membayangi proses pemilihan jabatan kepala daerah sudah sekian lama menghantui, dan tatkala masih diam dan terus membiarkan terjadi, kita hanya akan terus berjalan terseok bak keledai yang jatuh pada lubang yang sama.
Zainal Arifin Mochtar,Pengajar Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta; Ketua PuKAT Korupsi Fakultas Hukum UGM
Kompas, 29 Maret 2018
Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.