Pada Mei 2016, sekelompok orang melakukan demonstrasi anti-Muslim di Houston, Amerika Serikat. Dengan slogan "Stop Islamisasi di Texas", mereka menentang pendirian The Library of Islamic Knowledge di jantung kota Houston.
Tak lama berselang, muncul demonstrasi lain yang meneriakkan hak mempromosikan nilai-nilai Islam. Hampir terjadi perkelahian jalanan di antara keduanya. Di kemudian hari terungkap, dua demonstrasi itu bermula dari perang kata-kata di media sosial Facebook. Halaman Facebook bertajuk Heart of Texas terus-menerus meneriakkan prasangka negatif terhadap Muslim.
Skandal infiltrasi Rusia
Sebaliknya, halaman Facebook bertajuk United Muslims of America terus meneriakkan hak kesetaraan untuk Muslim Amerika. Belakangan baru diketahui, kedua halaman Facebook itu palsu! Lebih mengejutkan lagi, keduanya dikendalikan nun jauh dari St Petersburg oleh organisasi propaganda Rusia, Internet Research Agency.
Politik pecah-belah ini terkait pilpres AS, akhir 2016. September 2017, Facebook mengakui telah menemukan 3.000 iklan politik dari 470 akun yang berhubungan dengan Internet Research Agency. Secara akumulatif, akun-akun itu telah menyebarkan 80.000 pesan politik yang menjangkau 126 juta orang, sebagian besar di AS. Twitter juga menemukan 2.752 akun yang berhubungan dengan Internet Research Agency. Google mengidentifikasi 18 kanal Youtube yang berhubungan dengan organisasi itu. (Issie Lapowsky, https://www.wired.com/story/ six-revealing-moments-from- the-second-day-of-russia-hearings/)
Hal-hal di atas terungkap dalam persidangan Komite Intelijen Senat AS untuk mengungkap skandal campur-tangan Rusia dalam Pilpres 2016. Campur-tangan ini terjadi melalui medsos sehingga perusahaan seperti Facebook, Twitter, Google turut menjadi "tersangka". Muncul keraguan mereka tak tahu apa yang telah terjadi karena itu telah berlangsung sejak 2015.
Mereka dianggap mendiamkan operasi politik Rusia yang memecah belah rakyat AS. Mereka dianggap tak kooperatif terhadap upaya Senat mengungkap campur-tangan Rusia. Mereka menghadapi sasaran kritik pedas, baik dari kelompok kiri maupun kanan.
Titik kulminasinya adalah 16 Februari 2018, ketika Pejabat Khusus Investigasi Campur Tangan Rusia Dalam Pilpres AS 2016, Robert Mueller, mempublikasikan dakwaan resmi. Dalam dokumen sepanjang 37 halaman, Mueller menegaskan ada 13 pihak Rusia yang telah mengintervensi pemilu AS 2016. Dijelaskan dengan gamblang bagaimana mereka menggunakan media sosial untuk menyebarkan meme yang melecehkan Hillary Clinton, membuat ratusan akun palsu, menciptakan kelompok diskusi yang ekstrem, serta menyebarkan pesan kebencian. Kelompok ekstrem itu misalnya pada facebook page bertajuk "Secured Borders", "Blacktivist", "United Muslims of America", "Army of Jesus". Facebook page ini terus menyajikan pernyataan yang apriori dan penuh prasangka terhadap kelompok lain. Tahun 2016, facebook page tersebut secara kolektif meraih ratusan ribu pengikut di AS. (Nicholas Thompson, Https://Www.Wired.Com/Story/Facebook-Executive-Rob-Goldman-Apologizes-To-Company-And-Robert-Mueller)
Tahun 2017, CEO Facebook, Mark Zuckerberg pernah mengklaim Facebook telah berhasil mendorong 100 juta orang untuk membentuk kelompok berbagi pengalaman dan pengetahuan (very meaningfull group). Dokumen Mueller menunjukkan kebalikannya, Facebook juga menciptakan kelompok-kelompok yang terpolarisasi secara politik, ekstrem dalam pandangan ideologis dan apriori terhadap kelompok lain.
Lebih jauh lagi, kelompok-kelompok itu dikendalikan oleh pihak ketiga. Rusia telah membelanjakan ribuan dollar AS per bulan untuk mempromosikan kelompok-kelompok itu di Facebook dan medsos yang lain. Rusia terus mengintensifkan persebaran pesan-pesan politik yang provokatif pada masing-masing kelompok. Rusia juga berusaha agar pesan-pesan itu benar-benar berkemasan Amerika sehingga tidak ada kecurigaan bahwa pesan tersebut dibuat dan dikendalikan dari negara lain.
Untuk Indonesia yang sedang memasuki tahun-tahun politik, apa yang terjadi di negeri Paman Sam itu tentu sangat mencemaskan. Medsos memperlihatkan negativitasnya dan negativitas itu juga telah menggejala di Indonesia. Polarisasi politik lewat dunia maya adalah realitas Indonesia hari ini dan diperkirakan intensitasnya meninggi di 2019.
Lokus pertarungan politik mengalami pergeseran. Propaganda politik tak lagi terfokus pada media konvensional tetapi telah beralih ke medsos. Persoalannya, berbicara medsos adalah berbicara tentang ketakterdugaan (unpredictability).
Siapa yang menduga medsos yang membebaskan masyarakat juga memecah-belah masyarakat, bahkan turut merongrong kedaulatan negara sebesar AS? Siapa yang mengira AS yang selama ini begitu membanggakan Facebook, Youtube dan Twitter sebagai simbol kedigdayaan negeri Paman Sam dalam mendominasi jagat digital, pada akhirnya—dalam waktu begitu cepat—justru jadi korban paling ekstrem dari penyalahgunaan platform medsos? Lebih absurd lagi, penyalahgunaan didalangi negara rival utama yang selama ini kurang diperhitungkan sebagai kiblat teknologi digital: Rusia.
Siapa yang menduga medsos yang membebaskan masyarakat juga memecah-belah masyarakat, bahkan turut merongrong kedaulatan negara sebesar AS?
Andaikan benar Facebook awalnya tidak menyadari platform medsosnya digunakan pihak asing untuk memecah-belah bangsa Amerika, berarti persoalannya adalah Facebook tak menduga apa yang diciptakannya berdampak sedemikian merusak. Perusahaan medsos tak mengetahui—atau berlagak tak mengetahui—secara persis bagaimana mengendalikan "mesin" yang telah mereka gunakan untuk meraih keuntungan ekonomi yang besar sekali dan telah membuat perubahan serius dalam hidup masyarakat. Persoalannya sama gawatnya antara Facebook mengetahui atau tak mengetahui skandal tersebut.
Pelajaran penting
Medsos menjadi sangat rawan terhadap rekayasa dan kejahatan. Rekayasa dan kejahatan ini juga tak otomatis dapat dipidanakan karena rumitnya transmisi informasi yang tercipta dan ketakmampuan hukum menjangkaunya. Ketika sisi gelap medsos telah nyata memecah-belah masyarakat, belum ada pranata hukum internasional maupun nasional yang secara memadai dapat menanganinya.
AS selama ini selalu menolak tata kelola internet global ditangani secara unilateral oleh International Telecommunications Union. Dengan melihat realitas difusi informasi transnasional dan transbenua dalam kasus Rusia itu, mungkin ada penyesalan atas sikap tersebut.
Medsos menghadirkan dilema antara kebebasan dan pembatasan kebebasan, antara transparansi penyelenggaraan kekuasaan dan kerentanan kedaulatan nasional. Dilema itu tercermin dalam sikap Presiden Trump. Tidak mempersoalkan campur tangan Russia dalam pilpres AS berarti membiarkan negara lain merongrong kedaulatan nasional AS. Mempersoalkan campur tangan itu juga dapat mendelegitimasi kemenangan Trump dalam Pilpres 2016.
Dokumen Mueller menyatakan, operasi medsos Rusia bukan hanya untuk memecah-belah rakyat AS, tetapi juga untuk menyudutkan kandidat presiden Hillary Clinton. Memecah-belah rakyat AS di sini berada dalam satu tarikan napas yang sama dengan memastikan kemenangan Trump. Tak heran, kicauan Trump di Twitter tentang dokumen Mueller terlihat ambigu. Sama ambigunya adalah sikap Facebook yang terus berayun antara mengakui dan tidak mengakui bahwa Facebook telah digunakan Rusia untuk menyebarkan hoaks tentang Hillary dan memecah-belah rakyat Amerika pada Pilpres 2016.
Pelajaran penting yang dapat dipetik adalah isu agama dan ras memang menjadi obyek utama untuk mempermainkan sentimen pengguna medsos. Bukan rasionalitas yang digarap di sini, melainkan sentimen primodial. Medsos tak mengenal batas-batas intelektualitas. Begitu tersentuh sentimen primodialnya, pengguna medsos—apapun pun latar pendidikan, profesi dan kelas sosialnya—dapat menjadi bengis terhadap sesamanya.
Mereka begitu mudah kehilangan kemampuan untuk berpikir sebelum bertindak dan mempersempit lingkup pergaulan sebatas dengan orang-orang yang sealiran. Peluang yang diberikan medsos kepada pengguna untuk menyamarkan diri menambah rumit persoalan. Seperti dikatakan sosiolog Georg Simell, di mana ada anonimitas di situ berkembang iresponsibility. Rusia memahami betul perkara ini dan memanfaatkannya dengan paripurna dalam kasus di atas.
Solusi Hobbesian sepertinya tak terhindarkan di sini. Agar kebebasan berinternet tak dimaknai sebagai keleluasaan untuk berbuat apa pun kepada orang lain, agar para homo digitalis tak menjadi serigala bagi sesamanya, serta agar para kapitalis digital tak sebebas-bebasnya mengeksploitasi masyarakat tanpa tanggung jawab yang setimpal, menyerahkan pengaturan kebebasan kepada otoritas resmi tampaknya tak bisa dihindari. Dengan catatan, otoritas resmi itu memiliki perspektif HAM yang memadai. Pelembagaan atas aspek politik, ekonomi dan komunikasi lanskap digital pada level internasional maupun nasional menjadi kebutuhan mendesak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar