KOMPAS/ARIS PRASETYO

Rumah salah satu warga di Desa Waengapan, Kecamatan Lolong Guba, Kabupaten Buru, Maluku, untuk pertama kali menikmati lampu penerangan listrik tenaga surya bantuan pemerintah, Desember 2017 lalu.

Dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 22 Tahun 2017, ditetapkan sasaran bauran energi nasional pada 2025 adalah porsi energi terbarukan 23 persen, minyak bumi 25 persen, gas bumi 22 persen, dan batubara 30 persen. Sementara sasaran bauran energi untuk 2050 ditetapkan dan diproyeksikan, porsi energi baru dan terbarukan 31 persen, minyak bumi 20 persen, gas bumi 24 persen, dan batubara 25 persen.

Dari angka-angka tersebut ada dua hal yang dapat kita lihat dengan sangat jelas. Pertama, energi baru terbarukan penting dan diproyeksikan serta ditargetkan akan secara signifikan mewarnai bauran energi nasional ke depan. Kedua, energi fosil, migas dan batubara, tetap penting dan tetap akan jadi tulang punggung bauran energi nasional.

Energy Information Administration (EIA—Departemen Energi Amerika Serikat, 2017) memproyeksikan komposisi bauran energi global pada 2040 lebih kurang minyak bumi 30 persen, gas bumi 25 persen, batubara 22 persen, energi baru dan terbarukan 23 persen. BP Energy Outlook (2017) memproyeksikan komposisi bauran energi global pada 2035 lebih kurang minyak bumi 29 persen, gas bumi 26 persen, batubara 24 persen, energi baru dan terbarukan 21 persen. International Energy Agency (IEA) dalam World Energy Outlook 2017 memproyeksikan komposisi bauran energi pada 2040 lebih kurang minyak bumi 27 persen, gas bumi 25 persen, batubara 22 persen, energi baru dan terbarukan 26 persen.

Migas tetap energi utama

Di dalam proyeksi-proyeksi tersebut telah dimasukkan skenario pertumbuhan energi baru dan terbarukan yang terbilang sangat progresif. Di antaranya pertumbuhan konsumsi energi terbarukan yang berasal dari energi angin, matahari, panas bumi, biomassa, dan bahan bakar nabati untuk sektor kelistrikan secara stabil 7 persen per tahun. Juga proyeksi penggunaan jumlah kendaraan listrik global yang melonjak sangat signifikan dari kisaran 1 juta-2 juta kendaraan pada 2016 menjadi lebih dari 200 juta kendaraan pada 2030-2040.

Dari rentang angka-angka proyeksi tersebut, terlihat kisaran yang lebih kurang mirip satu dengan lainnya dan hal tersebut pada dasarnya memang menggambarkan hal yang sama. Bahwa energi baru dan terbarukan penting untuk masa depan energi di tingkat global, tetapi energi fosil, migas dan batubara, juga tetap akan berperan penting. Migas khususnya, di semua proyeksi yang ada porsinya diperkirakan tetap akan di atas 50 persen.

Jadi, keliru jika ada pandangan umum yang mengatakan bahwa di masa yang akan datang migas bukan lagi sumber energi yang penting. Dalam hal pandangan umum ini, argumen untuk meluruskannya sebenarnya dapat sederhana saja. Penggunaan minyak bumi sebagai sumber energi komersial dan modern yang mulai berkembang pada abad ke-19 itu tak kemudian menghilangkan penggunaan batubara yang telah lebih dahulu berkembang satu abad sebelumnya. Prinsip dasar yang perlu dipahami adalah bahwa hubungan satu sumber energi terhadap lainnya tak hanya substitusi, tapi juga komplementer.

Maka, menjadi sangat tidak tepat ketika hanya karena produksi dan cadangan migas kita yang (sedang) terus menurun lalu dikatakan bahwa migas memang sudah jadi energi masa lalu dan bukan lagi energi masa depan kita. Juga tidak proporsional ketika dikatakan bahwa karena migas adalah sumber energi tak terbarukan, maka dengan hadirnya energi terbarukan energi migas dan industri perminyakan sudah memasuki senja kala dan tak lagi akan berperan penting dalam energi ke depan.

Coba tengok negara besar dan maju seperti AS dan Rusia. Keduanya, bersama Arab Saudi, ke depan akan berlomba menjadi produsen dan pemasok terbesar migas untuk pasar dunia. Saat ini, gabungan produksi minyak ketiga negara ini mendekati 30 juta barrel per hari atau lebih kurang setara dengan 30 persen lebih kebutuhan dan pasokan minyak dunia. Revolusi teknologi produksi shale oil dan shale gas di AS akan menjadikan pasokan migas di dunia secara teknikal melimpah dan seperti menjadikan migas sebagai sumber energi "terbarukan" untuk rentang periode yang akan cukup panjang.

Departemen Energi AS (2017) memperkirakan setidaknya ada 345 miliar barrel minyak dan 7.299 triliun kaki kubik gas yang secara teknologi dapat diproduksi di dunia. Angka itu jauh melebihi cadangan minyak Arab Saudi yang "hanya" 267 miliar barrel dan 299 triliun kaki kubik gas. Pertimbangan kompetisi pasar migas di dunia itulah yang utamanya melatarbelakangi Arab Saudi mengubah visi dan arah langkahnya ke depan untuk tidak lagi hanya mengandalkan migas sebagai penerimaan negara, tetapi bukan karena migas tak akan jadi penting lagi bagi energi di masa depan.

Mesti proporsional

Jadi, ketika kita sebetulnya baru dalam tahap sebatas mencoba- coba kendaraan listrik, sebaiknya tidak perlu melebih-lebihkan dengan mengatakan bahwa pada 2040 mobil BBM akan hilang atau dilarang. Negara lain saja, yang sudah jauh lebih progresif daripada kita dan tercatat sebagai kontributor utama di dalam pengembangan kendaraan listrik, seperti AS, China, dan negara-negara maju di Eropa Barat, mereka realistis dalam memproyeksikan ke depan dan tidak meninggalkan kendaraan BBM.

Juga ketika sejatinya kita baru dalam tahap seremonial penandatanganan kontrak jual-beli pembangkit listrik energi terbarukan skala puluhan megawatt (MW) atau pengoperasian pembangkit listrik energi terbarukan skala kilowatt (KW), sebaiknya juga tak perlu melebih-lebihkan dengan seolah-olah mengklaim bahwa kita sudah memasuki era energi masa depan yang tidak lagi konvensional, tetapi terbarukan.

Menurut pandangan saya, hal itu sangat tidak proporsional. Belum lagi kalau dalam beberapa tahun mendatang pembangkit- pembangkit itu ternyata mangkrak, tidak dapat beroperasi lagi, karena sifatnya sebatas proyek (bukan program) yang tidak berkelanjutan. Negara yang paling maju dalam pengembangan energi listrik terbarukan, seperti Jerman, porsi pembangkit listrik batubaranya masih 37 persen dan porsi dari gasnya 13 persen. Janganlah karena ketidakmampuan kita mengelola sektor migas lalu kita meninggalkannya dan mencari-cari "prestasi" di sektor energi lain, seolah kita sudah melakukan lompatan besar.

Sebaliknya, di sektor migas, janganlah ketika lelang penawaran wilayah kerja baru sebatas diminati lima perusahaan dengan komitmen investasi 23,6 juta dolar AS, lalu kita mengklaim bahwa masa depan sektor migas nasional akan cerah kembali. Tentu ini masih sangat jauh panggang dari api. Sebab, angka ini sebetulnya sangat-sangat kecil untuk skala industri hulu migas dan belum berarti apa-apa karena belum tentu juga direalisasikan nantinya.

Sekadar pembanding, biaya pengeboran satu sumur eksplorasi di lepas pantai Indonesia saat ini pada kisaran 40 juta-150 juta dollar AS, bergantung pada kedalaman dan tingkat kesulitannya. Investasi hulu migas Indonesia secara keseluruhan pada 2017 yang besarnya 9,33 miliar dollar AS juga tercatat masih turun 16,7 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Padahal, di tingkat global investasi hulu migas pada 2017 mencapai 400 miliar dollar AS lebih dan rata-rata sudah tumbuh positif 3 persen lebih dibandingkan dengan tahun sebelumnya, seiring pemulihan harga minyak yang sudah terjadi sejak 2016. Jadi, sejatinya kita tidak cukup kompetitif dan tertinggal di dalam menarik investasi hulu migas. Maka, tidak proporsional jika hanya dengan diminatinya lelang wilayah kerja migas dengan magnitude seperti itu lalu kita mengklaim sudah mencapai prestasi signifikan di sektor migas.

Oleh karena itu, akan lebih baik untuk masyarakat dan bangsa ini jika kita dapat lebih proporsional, baik dalam melihat maupun menyampaikan sesuatu. Sebagai sumber energi, migas tetap akan berperan penting dalam energi ke depan, baik di skala global maupun nasional, dan karena itu jangan diabaikan.

Dalam pengelolaan sektor hulu migas, saat ini kita juga masih tertinggal dan tidak cukup menarik bagi investasi skala besar yang kita perlukan untuk penyediaan migas di masa mendatang. Angka-angka pencapaian yang kita dapatkan, baik dalam energi terbarukan maupun investasi hulu migas, sangat belum signifikan untuk menjawab tantangan energi masa depan yang ada. Jangan dilebih-lebihkan karena dikhawatirkan nanti dapat dinilai sebagai "pengibulan".