KOMPAS/WISNU WIDIANTORO

Polisi memblokade jalan masuk menuju Gedung Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Jakarta, yang menjadi tempat diselenggarakannya Seminar Sejarah 1965, Sabtu (16/9/2017). Polisi menutup akses karena panitia tidak melakukan pemberitahuan kepada polisi. Sejumlah pegiat Hak Asasi Manusia menilai pemblokiran ini sebagai bentuk melawan demokrasi dan pembungkaman kebebasan berpendapat.

Ribut-ribut mengenai tuduhan penodaan agama masih saja muncul meskipun ini bukanlah hal baru di negeri ini. Setidaknya sudah ada 85 kasus tuduhan penodaan agama yang diproses di pengadilan sejak UU Nomor 1/PNPS/1965 disahkan.

Proses penyelesaiannya pun selalu berulang: menggunakan meja pengadilan sebagai jalan keluar. Suatu penyelesaian yang dalam konteks demokrasi Indonesia saat ini seharusnya sudah tidak dipakai lagi.

Kebebasan berpendapat

Reformasi memang mendatangkan era demokrasi yang memberikan jaminan kepada masyarakat untuk dapat mengobrol dengan bebas. Konsep sederhananya ialah masyarakat bebas mengeluarkan pendapat dan jika perlu mengekspresikannya di ruang publik.

Kesadaran seperti ini sebenarnya diakui dan dilindungi oleh negara. Kita dapat melihat pengakuan negara terhadap kebebasan berpendapat pada UU Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.

Meski terdapat pembatasan-pembatasan pada pasal-pasal turunannya, esensi dari UU Nomor 9/1998 ialah kesadaran negara memberikan ruang kepada setiap individu untuk mengungkapkan pendapatnya di ruang publik.

Dari sisi konstitusi, kondisinya sudah sangat mendukung. Namun, yang terjadi dalam kenyataan sungguh sebuah ironi. Ribut-ribut perihal penodaan agama justru semakin sering muncul, kalau perlu melalui "parlemen" jalanan, dan akhirnya diselesaikan melalui jalur pemidanaan setelah reformasi di tahun 1998.

Setidaknya  ada 85 kasus penodaan agama yang dibawa ke meja hijau dalam rentang 1998-2017. Sangat jauh dibandingkan dengan tahun 1965- 1998 yang hanya 10 kasus. Kondisi ini menyumbang nilai buruk demokrasi Indonesia. Akibatnya, kualitas obrolan masyarakat menjadi sangat terbatas oleh kondisi demikian.

Keseluruhan tuduhan penodaan agama sangat bergantung pada situasi psikologis massa. Celakanya, amarah massa ini menjadi butir penting cara negara bersikap terhadap tuduhan penodaan agama.

Amarah tersebut disalurkan melalui aksi demo, suara elite politik, hingga ancaman dari organisasi masyarakat. Di zaman media sosial seperti sekarang, amarah-amarah tersebut kian bebas, kian mudah disalurkan, dan kian banyak memengaruhi masyarakat. Kekuatan media sosial telah dimanfaatkan sebagai saluran amarah yang dengan cerdik dibangun sebagai kekuatan politik.

Media sosial merupakan saluran baru dalam berkomunikasi. Melalui saluran ini orang kian mendekatkan diri satu di antara lain tanpa perlu memikirkan ruang yang berjauhan.

Saluran dimanipulasi

Saluran baru dalam berkomunikasi itu mengalami persoalan ketika dimanipulasi oleh beberapa pihak untuk kepentingan politik dan kelompok ideologi tertentu.

Adanya organisasi seperti Saracen dan Muslim Cyber Army (MCA) yang dituduh mengelola pelbagai obrolan bersifat ujaran kebencian dan hoaks, membuktikan bahwa manipulasi obrolan bahkan telah menjadi bisnis baru.

Bisnis manipulasi obrolan melalui berita-berita hoaks dan ujaran kebencian punya tujuan untuk mengarahkan psikologi masyarakat. Bertebarnya akunakun palsu menciptakan kondisi seakan-akan persoalan penodaan agama telah melukai seluruh umat agama tersebut.

Selain melalui metode itu, manipulasi obrolan juga dilakukan melalui sejumlah jajak pendapat suara di media sosial untuk menunjukkan jumlah yang suka dan tak suka terhadap suatu tokoh.

Membendung amarah masyarakat diakui sulit dilakukan, terlebih jika berkenaan dengan persoalan ketersinggungan agama. Apalagi ini ditambah dengan ketersediaan media sosial yang memberi tempat untuk meluapkan amarah dengan bebas. Namun, apakah kondisi demikian akan dibiarkan terus- menerus berulang?

Upaya pemerintah menetralkan ruang obrolan di media sosial dengan memenjarakan pelaku bisnis manipulasi obrolan terbilang sukses dan patut kita hargai. Pengungkapan kelompok seperti Saracen dan MCA membuka mata masyarakat akan bisnis kotor ini.

Apakah persoalan sudah selesai? Tidak. Masih ada yang tertinggal—dan ini paling mendasar—yaitu bagaimana sikap negara terhadap kasus penodaan agama.

Penyelesaian masalah melalui penerapan hukuman penjara tidak tepat karena hampir sebagian besar kasus penodaan agama sebenarnya lebih merupakan suatu bentuk ekspresi mengeluarkan pendapat di hadapan publik.

Terbukanya ruang untuk masyarakat mengeluarkan pendapat merupakan esensi utama dari suatu sistem penyelenggaraan demokrasi. Setiap individu bebas meluapkan ekspresi dan mengeluarkan pendapat di hadapan publik. Ketegasan akan hal ini harus konsisten dilaksanakan oleh negara. Tidak boleh kendur sama sekali.

Maka, mengikuti keinginan massa dengan menyelesaikan persoalan melalui jalur pidana terlalu berlebihan dan kontraproduktif terhadap jalannya proses demokrasi.

Dalam hal ini negara harus berupaya merawat obrolan masyarakat dengan memberikan kepastian terhadap berlangsungnya proses demokrasi.

Proses pendewasaan

Belajar dari kasus Sukmawati, pendewasaan dalam berdemokrasi patut dikedepankan. Respons dari Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, dan Majelis Ulama Indonesia patut diapresiasi bagi proses pendewasaan demokrasi di Indonesia. Kita bersyukur, kasus ini bisa selesai tanpa melalui jalur hukum.

Keputusan penyelesaian melalui pengadilan hanya akan melahirkan preseden buruk terhadap kualitas obrolan masyarakat di masa mendatang.

Untuk itu, kebesaran hati publik atas kasus-kasus tuduhan penodaan agama menjadi penting dalam upaya merawat obrolan di Indonesia.