Kritik terhadap pendidikan tinggi di Indonesia terus mengalir. Tulisan Hadi Nur berjudul Rasionalisasi Perguruan Tinggi (Kompas, 5/5/2018) mengkritisi tiga ciri utama yang dirasanya sebagai penyimpangan hakikat perguruan tinggi masa kini.
Tiga ciri utama itu adalah banyaknya aspek administrasi dan pengaturan total, ragam istilah-istilah fungsional (world class university) yang digunakan perguruan tinggi (PT) menegasikan peran PT sebagai lembaga yang bijaksana. Terakhir, ciri pencitraan melekat pada PT saat ini dibandingkan penghargaan terhadap proses berpikir.
Sorotan terhadap lembaga pemeringkatan universitas di dunia (QS, THE, Academic Ranking of World University/Shanghai Ranking) sangat gencar di Indonesia belakangan ini. QS mendapat gempuran sebagai kolonialisasi baru bersama Scopus. Kementerian Ristek dan Dikti mendengarkan kritik ini dengan mengeluarkan Permen No 20/2017 yang dalam lampirannya menambahkan kriteria karya ilmiah dan tak lagi tergantung pada satu pilihan terindeks Scopus.
Meski pemerintah tak mensyaratkan tiap universitas di Indonesia menggunakan parameter peringkat dunia berdasarkan salah satu nama di atas, telah sarat terdengar bahwa pemerintah mengikuti QS dalam pemeringkatan PT. Secara sepihak barangkali kita tergoda berasumsi ada sesuatu antara QS, Scopus, dan RI. Scopus dan QS memang dibawa oleh pihak komersial. Tak heran jika keduanya didengungkan bersamaan. Keberhasilan komunikasi pemasaran kedua entitas itu memang tak dapat dimungkiri.
Apabila sistem komersial berhasil karena menyuarakan produknya kepada dunia pendidikan, tentu juga suatu usaha dan kewajaran. Menganggap keduanya sebagai anti hakikat pendidikan tinggi rasanya kurang relevan.
Mengapa demikian? Lembaga pemeringkatan, asosiasi profesional penilai mutu, lembaga pembandingan, lembaga akreditasi independen; pada dasarnya adalah penilai independen yang menciptakan sistem penilaian terhadap institusi. Di balik lembaga pemeringkatan atau pembandingan ada seperangkat alat yang diciptakan untuk asesmen mutu pendidikan tinggi.
Lembaga-lembaga ini tentu telah mengkaji secara ilmiah ketika menyusun seperangkat penilaiannya. Ketika PT mengikuti akreditasi, pemeringkatan, ataupun pembandingan; artinya institusi menyediakan diri untuk dinilai mutunya dengan seperangkat alat yang disetujui bersama (common ground) sebagai alat asesmen.
Paradigma asesmen
Lembaga akreditasi independen, misalnya BAN PT di Indonesia, menyusun seperangkat penilaian yang di dalamnya bersifat kuantitaif dan kualitatif. Benar sekali bahwa pekerjaan administratif ada bersamaan dengan proses akreditasi. Sangat benar bahwa data kuantitatif mahasiswa diakumulasikan untuk dinilai masuk dalam kriteria A, B, C. Sangat benar bahwa akreditasi juga berarti kontrol penuh. Meskipun demikian, seluruh pekerjaan ini tidak akan berat jika saja PT terbiasa berdisiplin dalam proses bisnisnya.
Pekerjaan administratif dan kontrol kemudian dapat dianggap prioritas biasa (business as usual). Ketika ini sudah terbiasakan, dengan mudah data ini bicara sesuatu sehingga kini muncul refleksi, pemaknaan atas data kuantitatif dan kualitatif. Dengan demikian, akreditasi menggiring warga akademik pada pemaknaan mendalam atas karya institusi bagi masyarakat.
Keputusan suatu PT menggunakan alat penilai tertentu dilandasi keinginannya untuk maju. Seperangkat penilaian pemeringkatan ataupun pembandingan perlu dimaknai sebagai penilaian terhadap proses, peningkatan mutu, dan akhirnya produk ketercapaiannya. Pun apabila telah sampai di ujung produk, siklus pendidikan tak berhenti di situ. Sangatlah sempit dan kurang bijaksana jika memandang luaran angka dalam pemeringkatan sebagai angka belaka.
Angka ini kumulatif atas kerja keras, karya, refleksi, dan hasil yang dikumpulkan dari berbagai lini kekayaan intelektual warga universitas (dosen, peneliti, mahasiswa, tenaga kependidikan). Hukum alam berlaku, ketika ada usaha pasti ada hasil. Ketika ada keterlibatan mendalam dan berakar, pasti pertumbuhan berlaku. Bagaimana apabila hasil penilaian yang diperoleh ternyata tak dapat melampaui batas minimal dari alat penilai? Apakah buruk muka cermin dibelah?
Penilaian 360 derajat paling banyak dipilih untuk menunjukkan penilaian holistik. Meski demikian, dengan klaim penilaian 360 derajat pun, tak ada satu sistem penilaian pun yang sempurna. QS ataupun THE atau Shanghai Ranking juga tak menyelesaikan semua pengukuran capaian suatu PT; meski mereka telah menyusun dengan rinci secara kuantitatif dan kualitatif komponen penilaiannya. Jelas, pemeringkatan nasional pun tak menggambarkan sempurnanya kondisi suatu PT.
Dalam paradigma asesmen, makin banyak penilaian dalam ragam aspek semakin kaya resultan kumulatifnya. Dengan demikian, mengkritisi QS dan Scopus secara mendasar sama halnya hanya mengkritisi alat penilaian tersebut. Pemeringkatan nasional ataupun internasional hanya salah satu alat peningkatan mutu pendidikan tinggi. Akreditasi nasional juga hanya salah satu alat ukur yang disediakan negara. Alat-alat ukur ini sebagai cermin yang hanya utuh jika 360 derajat.
Penilaian 360 derajat juga berarti memberikan kesempatan bagi siapa pun untuk menilai PT di Indonesia. Ini berarti, apabila lembaga pemeringkatan dunia dipandang kurang sensitif terhadap lokalitas, sangat baik jika pengukuran lokalitas juga dilakukan. Apabila angka yang dikeluarkan oleh lembaga pemeringkatan ataupun badan akreditasi dirasa tidak memadai dan tidak mewakili visi dan misi PT, alat ukur lain yang sesuai dengan yang dianggap sebagai hakikat PT bagi kepentingan sosial juga dapat diangkat. Ukuran dampak sosial menjadi salah satu pilihannya.
Lembaga pembanding dengan konsep evaluasi diri juga merupakan pilihan. Dengan demikian, PT di pelosok Indonesia pun dapat secara khusus memiliki keunggulan tertentu. Sangat mungkin dampak sosial tertinggi di daerah tertentu dihasilkan oleh PT terdekat. Dalam aspek ini, PT memiliki ciri khas, bukan diperbandingkan pada kemampuan membeli alat lab, atau kemampuan institusi melengkapi perlengkapan pendidikan; tetapi pada dampak bagi komunitas.
Pilihan pemeringkatan bidang tanggung jawab sosial sudah dikenal oleh PT dunia, salah satu contohnya dalam bidang pendidikan kedokteran, kedokteran gigi, dan dokter hewan; terdapat lembaga bernama ASPIRE yang mengandalkan pada beragam keunggulan proses pendidikan termasuk social accountability of the school. Sekali lagi, pilihan alat adalah pilihan cerdas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar