Tulisan ini berawal dari kegelisahan penulis atas putusan Pengadilan Negeri Meulaboh, Aceh, yang membatalkan putusan Mahkamah Agung yang telah menghukum perusahaan sawit PT Kallista Alam mengganti kerugian negara akibat pembakaran hutan senilai Rp 366 miliar. Dalam amar putusannya, majelis hakim menyatakan Putusan MA Nomor 1 PK/PDT/2015 tanggal 18 April 2017 tidak mempunyai titel eksekutorial terhadap penggugat (PT Kallista Alam).
Berbagai kalangan menyesalkan dan mempertanyakan landasan hukum majelis hakim PN Meulaboh menerima upaya perlindungan dari korporasi yang telah diputuskan bersalah dan wajib membayar kerugian di tingkat yang paling tinggi: MA.
Palu majelis hakim PN Meulaboh yang menganulir putusan inkrah MA merupakan preseden buruk dan mencederai upaya penegakan hukum atas kejahatan yang dilakukan oleh korporasi, yang telah menimbulkan dampak yang begitu buruk bagi masyarakat. Bahkan, termasuk kerugian lingkungan hidup dan penghancuran ekonomi, sosial dan budaya masyarakat yang tidak terhitung nilainya.
Kekuatan korporasi
Putusan ini tidak bisa dilihat semata-mata persoalan hukum. Dimensi kepentingan ekonomi dan politik begitu kental bisa kita nilai dari keputusan PN Meulaboh ini. Apa yang terjadi di PN Meulaboh, semakin menunjukkan bahwa pada akhirnya pengadilan justru menjadi ruang yang paling aman bagi perusahaan-perusahaan yang melakukan kejahatan lingkungan dan kemanusiaan untuk melepaskan diri dari tanggung jawab.
Sebelumnya, berbagai kasus hukum yang menyeret perusahaan dalam kejahatan lingkungan ke meja hukum, berakhir dengan kekalahan bagi lingkungan hidup dan rakyat. Dalam catatan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), ada beberapa kasus hukum di pengadilan yang melibatkan korporasi, jauh dari prinsip keadilan, antara lain kasus PT National Sago Prima (NSP) yang dikabulkan permohonan bandingnya, dan PT Bumi Mekar Hijau yang hukumannya sangat kecil. Pada kasus lain, kita bisa melihat bagaimana PT Mikgro Metal Perdana (PT MMP) yang dalam putusan MA sudah diputuskan kalah, tetapi tidak dapat dieksekusi di lapangan.
Namun, jika mau melihat ini lebih jauh dan lebih kritis, perlawanan balik perusahaan melalui jalur pengadilan ini tidak lepas dari praktik sama yang dilakukan oleh pemerintah ketika berhadapan dengan hukum. Pada pelanggaran konstitusi dan hukum di mana pemerintah telah dinyatakan salah mengeluarkan izin dan diperintahkan oleh pengadilan untuk mencabut izin, pemerintah malah berupaya menyiasati putusan pengadilan yang berpihak kepada lingkungan, dengan membuat regulasi baru.
Seperti izin lingkungan proyek PLTU Cirebon yang telah digugurkan oleh PTUN Bandung sebelumnya. Bukannya mematuhi hukum dengan menghentikan proyek PLTU, pemerintah justru bersiasat menerbitkan izin lingkungan baru. Mirisnya, pada gugatan yang kedua, PTUN justru mengalahkan warga dan Walhi sebagai salah satu organisasi penggugat. Hal yang sama terjadi dalam kasus yang menyeret PT Semen Indonesia, di mana MA telah membatalkan izin lingkungan PT Semen Indonesia yang dikeluarkan Gubernur Jawa Tengah. Gubernur justru menerbitkan izin lingkungan baru.
Pemerintah pusat juga melakukan penyiasatan dan pembangkangan terhadap putusan hukum. Ketika Perpres No 18/2016 tentang Percepatan Pembangunan Pembangkit Listrik Berbasis Sampah dibatalkan oleh MA, pemerintah malah mengeluarkan Perpres No 35/2018 tentang Percepatan Pembangunan Instalasi Pengolah Sampah Menjadi Energi Listrik Berbasis Teknologi Ramah Lingkungan. Perpres ini sesungguhnya masih senapas dengan perpres yang telah dibatalkan oleh putusan MA.
Sebagai negara yang berlandaskan pada supremasi hukum, fondasi atau sistem hukum kita justru dihancurkan oleh negara sendiri, dengan berbagai upaya pembangkangan dan siasat untuk tidak mematuhi hukum. Pada akhirnya, wibawa negara semakin runtuh di mata korporasi dan semakin memperkuat pemikiran bahwa hukum dapat dibeli dengan kekuasaan, dalam hal ini kekuasaan modal dan kekuasaan politik. Jika keduanya bersatu dan berkelindan, yang dikorbankan adalah rakyat dan lingkungan hidup.
Lalu ke mana sesungguhnya arah hukum lingkungan kita? Ini yang sering kita gugat. Faktanya, paradigma dan watak pembangunan kita tetap tak berubah: eksploitatif dan menghancurkan alam dan keselamatan rakyat. Penegakan hukum tetap tunduk pada kekuatan modal.
Pengadilan lingkungan
Politik hukum memang tidak bisa dilepaskan dari kekuatan ekonomi politik, di mana aparat penegak hukum—termasuk lembaga pengadilan—tidak bisa lepas dari dominasi kekuatan ekonomi dan politik. Kekuatan korporasi bahkan telah melampaui kekuasaan negara. Bahkan, kolaborasi kekuatan ekonomi dan politik belakangan telah berupaya melakukan upaya sistematis untuk meluluhlantakkan sistem hukum kita. Percobaan penghancuran sistem hukum dilakukan, khususnya dalam kerangka penegakan hukum lingkungan. Yang paling kasat mata adalah ketika perusahaan berupaya melakukan uji materi UU No 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang memuat prinsip strict liability.
Melihat tantangan penegakan hukum lingkungan yang semakin berat, di tengah dominasi kekuasaan ekonomi dan politik, dan di tengah kondisi bangsa ini mengalami situasi darurat ekologis dengan kian meningkatnya bencana ekologis, sementara pengadilan umum gagal memberikan perlindungan hukum bagi lingkungan hidup serta masyarakat, maka pembentukan pengadilan lingkungan hidup menjadi satu kebutuhan mendesak yang mulai harus dirumuskan. Pengadilan lingkungan hidup diharapkan mampu memutus rantai impunitas kejahatan lingkungan hidup yang dilakukan oleh korporasi, yang sudah masuk kategori kejahatan luar biasa sebagaimana halnya kejahatan korupsi karena sudah mengancam hidup dan kehidupan manusia dan alam, generasi hari ini dan akan datang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar