KOMPAS/ADITYA PUTRA PERDANA

Pekerja membersihkan kandang sapi di Koperasi Unit Desa Wahyu Agung, Desa Sumogawe, Kecamatan Getasan, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, Jumat (4/5/2018).

Tahun 2018 gerakan  reformasi memasuki usia ke-20. Gerakan yang dipelopori mahasiswa dan kaum intelektual ini hendak mengubah dan memperbarui  tata kehidupan yang otoriter dan represif di masa Orde Baru menjadi tata kehidupan yang demokratis melalui pembaruan berbagai segi kehidupan: politik, hukum, ekonomi, dan sosial.

Selama dua dekade,    di antara segi-segi kehidupan itu ada yang terbilang berhasil bahkan kebablasan agak  berhasil dan ada yang gagal. Meskipun demikian, ada pula segi kehidupan yang belum tersentuh reformasi, di antaranya koperasi.

Koperasi telah dikenal di Indonesia lebih dari satu abad (1896) dan lebih dari tujuh dasawarsa menjadi program nasional dengan masuk dalam konstitusi (UUD 1945). Demikian pula telah lebih dari tujuh dasawarsa memiliki organisasi gerakan koperasi (Sokri kemudian menjadi Dekopin).

Kondisi koperasi

Menurut data Kementerian Koperasi dan UKM, per Desember 2017 jumlah koperasi mencapai 153.171 unit. Dari jumlah itu, anggota koperasi aktif tercatat 26,53 juta orang.

Jumlah koperasi dan anggota ini konon terbesar di dunia. Namun, hanya 11 persen yang melaksanakan rapat anggota tahunan (RAT) secara teratur. Ini berarti tinggal sekitar 16.500 unit koperasi yang terbilang masih sehat.

Dari jumlah koperasi sebanyak itu, sebagian besar berjenis koperasi simpan-pinjam (KSP). Kegiatan simpan-pinjam juga dilakukan dalam bentuk unit simpan pinjam (USP) oleh koperasi serba usaha (KSU), jenis koperasi yang seharusnya bisa melakukan kegiatan pada sektor riil, tetapi ternyata kurang berjalan.

Adapun sumbangan koperasi pada PDB menurut informasi terakhir baru sebatas, 3,9 persen. Kondisi mikro dan makro seperti ini tentu masih amat jauh dari keinginan untuk menjadikan koperasi sebagai "soko guru perekonomian nasional", suatu cita-cita yang telah  menjadi obsesi sejak lebih dari tujuh dasawarsa lalu.

Namun, koperasi dewasa ini menghadapi berbagai permasalahan, mulai masalah yang paling elementer, yaitu pemahaman yang masih terbatas tentang  hakikat koperasi sebagai organisasi ekonomi sosial yang mandiri, hingga kesiapan koperasi dalam menghadapi pasar bebas.

Akibatnya, banyak terjadi penyimpangan. Sebut saja  KSP- KSP yang lebih banyak melayani non-anggota  ketimbang anggotanya sendiri, di samping jenis koperasi ini  juga banyak yang melaksanakan usaha "investasi" dengan menghimpun dana masyarakat. Semua ini tidak sejalan dengan peraturan perundangan yang berlaku, yang  cenderung dibiarkan, tanpa pengarahan apa lagi sanksi.

Belum profesional

Dalam fungsi utama sebagai perusahaan untuk melayani kebutuhan anggota dan masyarakat, kebanyakan koperasi belum dikelola secara profesional berbasis kaidah ekonomi modern.  Ketergantungannya kepada pemerintah, baik dari aspek pembinaan/kebijakannya maupun dari penyediaan fasilitas untuk pendidikan/pelatihan dan terutama  permodalannya masih sangat kuat, yang tentu tidak sejalan dengan prinsip kemandirian koperasi.

Peran pemerintah sebagai konsekuensi dari amendemen UUD 1945 tahun 2001/2002 yang meniadakan peranan koperasi dalam konstitusi, yang seharusnya terbatas sebagai pengawas dan regulator, ternyata masih amat kuat.   Sementara peranan Dekopin,  yang seharusnya mendampingi, membela, dan memfasilitasi berbagai kebutuhan/kepentingan koperasi anggotanya, dalam keadaan "lumpuh".

Sumber dana yang seharusnya berasal dari iuran koperasi anggotanya untuk membiayai kegiatan, sulit diharapkan karena anggotanya pada umumnya juga dalam kondisi "ekonomi lemah".

Apalagi koperasi-koperasi ini tidak merasakan "sentuhan tangan" Dekopin. Akhirnya organisasi tunggal gerakan koperasi ini sepenuhnya menggantungkan diri pada  APBN, yang berarti posisinya sebagai lembaga yang mandiri dan independen menjadi kabur.

Pucuk pimpinan Dekopin yang telah menjabat selama 20 tahun (sejak 1998, sementara anggaran dasar hanya membatasi 2 periode) tidak mampu menjadikan organisasi koperasi ini sebagai sarana untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi dan sosial anggotanya.

Namun, toh masih juga  tetap betah bertahan, tanpa seorang pun dari gerakan koperasi yang mampu ("berani") menggugat. Kondisi pengembangan dan pembinaan koperasi seperti ini —yang mengindikasikan bahwa koperasi masih serba lemah, dari segi kelembagaan, ideologi ataupun ekonominya, sementara kebijakan otoritas koperasi tidak jelas arahnya—membuat tidak mungkin bicara tentang koperasi dalam menghadapi pasar bebas yang penuh persaingan keras ini.

Jalan di tempat

Berbagai permasalahan yang disebutkan di atas menjadikan koperasi dalam kondisi "jalan di tempat". Saat ini koperasi bahkan cenderung dibiarkan dalam keadaan status quo.

Setiap pihak—gerakan koperasi, dekopin, ataupun pemerintah—justru terkesan "menikmati" keadaan ini, tak terusik dengan hiruk-pikuk di luaran di mana berbagai lembaga/institusi sedang berlomba-lomba membuat perubahan, perbaikan dan sistem atau metode baru dalam upaya meningkatkan kinerjanya.

Sehubungan dengan hal ini sungguh tepat apa yang diungkapkan Ian MacPherson, Ketua Tim Perumus Jatidiri Koperasi ICA 1995 (ICIS, ICA Cooperative Identity Statement). Menurut MacPherson, masalah bergantung pada kita, apakah kita punya wawasan, kepercayaan diri, serta disiplin dalam memasuki dunia nyata dengan agresif, atau menunggu hingga dunia nyata menggulung kita.

Masalahnya, apakah koperasi bersedia mereformasi diri terhadap berbagai permasalahan yang dihadapi hingga menjadi lembaga ekonomi dan sosial yang sehat, kuat, modern dan mandiri sebagai persyaratan untuk dapat memasuki "dunia nyata", atau membiarkan dirinya seperti saat ini, yang lambat atau cepat akan digulung oleh "dunia nyata".