Tony Prasetyantono dosen FE UGM, pengamat ekonomi
07-11-2014

Untuk meredam depresiasi rupiah, Gubernur Bank Indonesia yang baru, Perry Warjiyo, dengan cepat memutuskan kebijakan suku bunga yang bersifat ahead the curve atau "mendahului kurva". Hasilnya efektif. Rupiah mulai "jinak" menuju level fundamennya di bawah Rp 14.000 per dollar AS. Tahun ini, rupiah terdepresiasi 4,6 persen sebelum menguat 0,4 persen sesudah suku bunga acuan Bank Indonesia dinaikkan ke 4,75 persen.

Dalam dua pekan selama Mei 2018, BI menaikkan suku bunga acuan dua kali. Langkah ini sebenarnya agak terlambat karena telah menyebabkan penurunan cadangan devisa dari hampir 132 miliar dollar AS pada Februari menjadi 124 miliar dollar AS pada awal Juni. Kini, BI lebih bersikap proaktif mendahului kenaikan suku bunga bank sentral Amerika Serikat, The Fed, yang diperkirakan bakal dilakukan saat menggelar rapat Federal Open Market Committee pada 12-13 Juni.

Tak bisa dihindari

Kenaikan suku bunga merupakan respons kebijakan yang tak terhindari. Kinerja perekonomian AS yang sedang bagus (pertumbuhan ekonomi 2,9 persen, inflasi 2,5 persen, dan pengangguran 3,9 persen) berkombinasi dengan suku bunga acuan naik (1,50-1,75 persen) merupakan daya sedot yang amat kuat bagi likuiditas global untuk mengalir ke New York. Akibatnya, dollar AS menguat terhadap hampir semua mata uang.

China, pemilik cadangan devisa terbesar di dunia (3,125 trilun dollar AS), sudah menaikkan suku bunga acuannya (7-Day Reverse Repurchase Agreement) menjadi 2,55 persen pada Maret sebagai respons terhadap kenaikan suku bunga AS. Turki, yang mata uangnya (lira) terdepresiasi 23 persen selama tiga bulan, menaikkan suku bunga acuannya 300 basis poin (bps). Argentina yang mata uangnya (peso) melemah 8,78 persen dalam dua bulan menaikkan suku bunga acuan 12,75 persen ke level 40 persen pada awal Mei (Financial Times, 30/5/2018).

Pada umumnya negara-negara yang mata uangnya tertekan bercirikan memiliki defisit transaksi berjalan, yakni defisit yang disebabkan selisih ekspor dan impor untuk barang dan jasa. Adapun untuk ekspor dan impor barang saja, Indonesia biasanya masih bisa surplus. Pada 2017, surplus kita 12 miliar dollar AS, yakni ekspor 169 miliar dollar AS dikurangi impor 157 miliar dollar AS. Namun, pada neraca jasa, kita mengalami defisit
besar.

Rasio defisit transaksi berjalan kita terhadap produk domestik bruto (PDB) saat ini 2,1 persen, jauh lebih rendah daripada Argentina (5,5 persen) dan Turki (5,7 persen). Negara-negara yang mata uangnya lebih stabil biasanya memiliki surplus transaksi berjalan, misalnya China (positif 1,1 persen), Malaysia (3,2 persen), Hong Kong (4 persen), Korea Selatan (4,7 persen), Thailand (10,2 persen), Taiwan (13,9 persen), dan tertinggi Singapura (20,6 persen) (The Economist, 26/5-1/6).

Indikator lain yang berpengaruh terhadap nilai tukar adalah utang luar negeri. Dua puluh tahun silam, saat krisis 1998, rupiah terdepresiasi tajam dari Rp 2.300 per dollar AS (Oktober 1997) menjadi Rp 15.000 per dollar AS (Januari 1998) karena ketidakseimbangan antara utang luar negeri (130 miliar dollar AS) dan cadangan devisa (23 miliar dollar AS). Kini, situasinya jauh lebih baik. Utang luar negeri (pemerintah dan swasta) meningkat menjadi 357 miliar dollar AS. Namun, cadangan devisa melonjak menjadi 124 miliar dollar AS.

Estimasi terbaru oleh lembaga pemeringkat Moody's mengungkapkan, rasio utang luar negeri terhadap cadangan Indonesia setara dengan Vietnam dan lebih baik daripada India, tetapi kalah baik dibandingkan dengan Korea Selatan, China, Thailand, dan Filipina. Rasio terburuk adalah Malaysia. Sesudah Perdana Menteri Najib Razak kalah pemilu, kini muncul data rasio utang pemerintah terhadap PDB Malaysia mencapai 60 persen dari batas toleransi 55 persen.

Sementara Indonesia masih mempertahankan level di bawah 30 persen dari batas toleransi 60 persen. Malaysia jauh lebih jelek, dan dengan kemungkinan adanya manipulasi data, bisa jadi mencapai 80 persen. Itulah sebabnya PM Mahathir Mohamad memangkas berbagai proyek raksasa untuk menghindarkan Malaysia dari jurang kebangkrutan.

Tekanan terhadap rupiah menjadi lebih besar tatkala harga minyak dunia melejit menjadi 77 dollar AS per barrel (jenis Brent) dan 65 dollar AS per barrel untuk jenis WTI. Kenaikan harga minyak menyebabkan tekanan fiskal kian berat, berupa alokasi subsidi bahan bakar minyak yang lebih besar, sehingga mengurangi daya stimulus fiskal. Pasar pun akan memasukkan faktor ini ke dalam valuasi rupiah. Oleh karena itu, rupiah mengalami tren menurun seiring dengan kenaikan harga minyak dunia.

Jangka pendek

Ikhtiar yang dilakukan BI saat ini merupakan tindakan jangka pendek. Kenaikan suku bunga adalah semacam "undangan" bagi investor global untuk kembali masuk ke Indonesia.

Namun, gejolak nilai tukar rupiah masih berpotensi terjadi di masa depan sepanjang pekerjaan rumah yang fundamen belum diselesaikan. Pekerjaan rumah itu adalah mengubah defisit transaksi berjalan menjadi surplus.

Pekerjaan rumah itu sebenarnya sudah mulai dicicil, tetapi belum tuntas dan perlu waktu. Pembangunan infrastruktur dilakukan dalam rangka mendorong konektivitas, menurunkan biaya logistik, dan kelak akan meningkatkan daya saing. Jika dikombinasikan dengan perbaikan kualitas manusia dan mengenyahkan hambatan birokrasi, semua itu akan bermuara pada surplus transaksi berjalan. Ini sebenarnya isu lama yang sudah membebani perekonomian Indonesia sejak lama, ketika kita dulu dipuji Bank Dunia (1994) sebagai salah satu negara yang termasuk kategori The East Asian Miracle.

Dalam jangka pendek, target pertumbuhan ekonomi tinggi yang semula dicanangkan Presiden Joko Widodo terpaksa harus dikoreksi. Pada saat ini, stabilitas rupiah harus menjadi prioritas utama. Pertumbuhan ekonomi RI tidak mungkin tinggi jika dibebani pelemahan dan volatilitas rupiah yang memicu pelemahan daya beli dan ketidakpastian investasi.

Oleh karena itu, pertumbuhan ekonomi 5,2 persen menjadi level yang paling realistis untuk dicapai pada tahun ini.