Pemilu Italia, 4 Maret 2018, menyisakan krisis politik. Kekalahan telak Partai Demokrat (kiri-tengah) dan Forza Italia (kanan-tengah) dalam pemilu telah mengubah lanskap perpolitikan Italia.
Partai Demokrat yang sebelumnya memerintah hanya meraih 18.9 persen suara dari 46,5 juta pemilih, turun 6.5 persen dibanding Pemilu 2013. Sementara partai Forza Italia di bawah Silvio Berlusconi kali ini hanya memperoleh 13.94 persen suara, turun 7.66 persen. Persentase suara dihitung dari kumulatif kursi parlemen di Chamber of Deputies (630 kursi) maupun Senat (320 kursi).
Di pihak lain, dua partai politik meningkat perolehan suaranya secara cukup signifikan. Five Star Movement (M5S) yang "populis" (anti-kemapanan) menjadi partai politik dengan perolehan suara terbanyak, 32.22 persen atau naik 6.62 persen dibanding pemilu sebelumnya. Selain itu, Partai Lega (ultra-kanan) berhasil mengantongi 17.69 persen, meningkat 13.59 persen. Kemenangan kedua partai ini merupakan manifestasi "kemarahan publik" terhadap ekonomi yang stagnan, tingginya pengangguran, dan kehadiran ratusan ribu imigran pada pemerintahan sebelumnya.
Setelah dua bulan berunding, M5S dan Lega bersepakat membentuk kabinet koalisi dengan mengajukan Giuseppe Conte, seorang profesor hukum, sebagai calon perdana menteri. Namun rencana itu buyar setelah pada 27 Mei 2018 Presiden Sergio Mattarella menolak pencalonan Paolo Savona, seorang ekonom, sebagai menteri perekonomian dan keuangan. Menyikapi "veto" Presiden ini, Giuseppe Conte mengundurkan diri sebagai protes atas penolakan Savona.
Faktor Uni Eropa
Kini Italia menghadapi krisis. Masa depan hubungan Italia-Uni Eropa (UE) di simpang jalan.
Sebagaimana negara-negara UE lainnya, masyarakat Italia saat ini terbelah antara pendukung keanggotaan Italia dalam UE dengan mereka yang skeptis terhadap UE, bahkan menginginkan Italia keluar dari UE. Kemenangan M5S dan Lega mewakili aspirasi rakyat Italia yang skeptis terhadap UE. Argumentasi kelompok ini: UE terlalu mendikte Italia dengan berbagai regulasi dan UE hanya menguntungkan Jerman dan Perancis. Ditambah lagi bantuan UE dalam penanganan masalah migran di Italia tidak mereka rasakan.
Penolakan Mattarella terhadap pencalonan Paolo Savona terutama disebabkan Savona dinilai berpandangan skeptis atau bahkan dinilai anti-UE dan anti-euro. Dikawatirkan, mantan menteri perindustrian ini akan memelopori Italia keluar dari UE. Selain itu, pengangkatan Savona dinilai Mattarella dapat melemahkan perekonomian Italia. Dalam pernyataannya, Savona menyangkal tuduhan ini.
Terlepas dari orientasi politik dan ekonomi Savona, koalisi M5S dengan Lega memang telah menunjukkan tanda-tanda yang tak ramah terhadap UE. Mereka melakukan "kontrak politik" yang antara lain berisi kebijakan penurunan pajak, merenegosiasi keanggotaan dalam UE, pemulangan setengah juta kaum migran ilegal, dan pengakhiran sanksi terhadap Rusia.
Bagi pihak yang pro-UE, tiga kebijakan yang disebut terakhir dinilai membahayakan posisi Italia dalam UE. Padahal, Italia merupakan salah satu negara pendiri European Economic Community (EEC) dan pendukung mata uang euro. EEC merupakan cikal bakal UE.
Pergeseran pendulum politik di Italia dari negara pendiri UE jadi skeptis terhadap UE mendapat dukungan dari tokoh partai ultra-kanan Perancis, Marine Le Pen; pelopor Brexit, Nigel Farage; serta pembantu Presiden Trump, Stephen Bannon. Sementara Presiden Perancis Emmanuel Macron memberi dukungan atas keputusan Mattarella menolak susunan kabinet Conte. Diduga, Mattarella ingin mencegah kemungkinan pemerintahan baru mendorong rakyat Italia keluar dari UE melalui referendum.
Guna mengatasi krisis politik, pada 28 Mei 2018, Presiden Matteralla menunjuk Carlo Cottarelli, mantan pejabat IMF, untuk membentuk pemerintahan sementara. Tugas pemerintahan sementara antara lain mengajukan anggaran, mengusulkan pembubaran parlemen, serta menyelenggarakan pemilu.
Di sisi lain, penunjukan pemerintahan sementara ini mendapat tantangan baik dari M5S maupun Lega. Menurut pimpinan Lega, Matteo Salvini, Presiden Mattarella lebih mengutamakan kepentingan negara-negara Eropa ketimbang rakyat Italia. Sementara Luigi Di Maio, Ketua M5S, menyerukan pelengseran terhadap Matarella.
Perlu dicatat, bila pemerintahan sementara memperoleh dukungan parlemen maka pemilu dapat diselenggarakan awal 2019. Namun jika mayoritas parlemen mengajukan mosi tidak percaya, pemilu akan diselenggarakan September 2018. Diperkirakan anggota-anggota Parlemen dari M5S dan Lega tidak akan mendukung pemerintahan baru di bawah Cottarelli. Begitu pula partai milik Silvio Berlusconi, Forza Italia. Satu-satunya partai politik yang akan mendukung hanya Partai Demokrat.
Pemilu ulang akan menentukan arah politik Italia ke depan, khususnya terkait UE. Apabila M5S dan Lega kembali memenangi pemilu, potensi Italia meninggalkan UE terbuka. Roger Kohen, dalam tulisan di New York Times (7/3/18), berpendapat bahwa Eropa terdikotomi antara faham demokrasi liberal pro-UE yang ditopang Perancis-Jerman di bawah Macron dan Merkel dengan gerakan illiberal yang marah seperti terjadi di Hongaria, Polandia, dan kini Italia.
Italia dan Uni Eropa
Kemenangan M5S dan Lega dalam pemilu Maret 2018 menandai semakin menguatnya fenomena populis ultra-kanan di Eropa. Sebelumnya, dukungan rakyat terhadap partai-partai populis ultra-kanan telah menguat di Perancis, Belanda, Jerman, Austria, Swedia, Norwegia, Finlandia, Denmark, Yunani, Spanyol, dan Swiss. Populisme ultra-kanan yang sedang naik daun merupakan ancaman terhadap keutuhan UE.
Bagi Italia, sebagai negara dengan tingkat perekonomian terbesar ketiga di UE, sesungguhnya masih memerlukan UE. Secara geopolitik, masa depan Italia berada di Eropa, bukan di benua lain. Persoalannya sekarang hanya bagaimana Italia dengan utang 2.7 triliun dolar AS (setara 132% dari GDP) secara konsisten mengikuti regulasi UE guna menghindari diterapkannya austerity measures sebagaimana Yunani. Bersama UE, Italia bisa membangun perekonomiannya.
Tampaknya, harga terlalu mahal bila UE yang dibangun sebagai reaksi atas robohnya Tembok Berlin dan runtuhnya sistem sosialisme di Eropa Timur harus bubar berantakan. Kini saatnya Eropa secara bersama memperkuat integrasi Eropa berlandaskan nilai-nilai yang dianut selama ini, sekaligus mencari solusi atas meningkatnya "kemarahan publik" terhadap UE. Khusus bagi Italia, UE perlu lebih serius membantu Italia dalam mengatasi persoalan membanjirnya kaum migran, khususnya yang datang dari Afrika Utara.
Kompas, 5 Juni 2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar