Di negara-negara sedang berkembang, semula yang banyak merebak adalah penyakit infeksi/penyakit menular, seperti diare atau TBC. Di permukiman kumuh atau tempat-tempat yang buruk sanitasinya kemungkinan merebaknya kedua jenis penyakit tersebut sangat besar.

Namun, kini kita harus makin mewaspadai penyakit tidak menular. PBB menyebutkan bahwa penyakit tidak menular merupakan salah satu tantangan besar untuk pembangunan abad ke-21.  Langkah pertama yang harus diambil adalah mendorong negara-negara di dunia melakukan langkah preventif yang lebih nyata.

Negara-negara sedang berkembang menghadapi risiko terjangkitnya epidemi penyakit tidak menular,  seperti penyakit jantung, hipertensi, diabetes, kanker, dan stroke.  Ekonomi negara-negara sedang berkembang mungkin mulai membaik, tetapi belum cukup mengangkat negara tersebut untuk menjadi negara maju. Sementara pola makan dan gaya hidup masyarakatnya cenderung mengikuti gaya hidup modern.

Para ahli menyatakan bahwa negara-negara yang lebih miskin akan lebih menderita akibat dampak penyakit tidak menular.  Sekitar 80 persen kematian akibat penyakit-penyakit tersebut terjadi di negara berkembang.

Penyakit tidak menular disebut juga penyakit degeneratif atau penyakit kronis. Rusaknya organ-organ tubuh akibat pola makan tinggi lemak, rendah serat, tinggi garam, disertai gaya hidup rendah aktivitas fisik, dan kebiasaan merokok jadi faktor risiko munculnya penyakit degeneratif. Saat ini ada sekitar 344 juta penderita diabetes di seluruh dunia. Jumlah itu akan segera melewati 500 juta dalam satu generasi. Empat dari lima penyakit pembunuh di Indonesia adalah penyakit tidak menular (stroke, penyakit jantung, diabetes, dan hipertensi).

Transisi epidemiologi kini tengah berlangsung di berbagai negara dari penyakit infeksi ke penyakit tidak menular.  Indonesia belum sepenuhnya dapat mengatasi penyakit-penyakit infeksi, tetapi jajaran kesehatan kini sudah disibukkan oleh merebaknya penyakit tidak menular yang membawa banyak kematian.

Dulu orang menganggap penyakit tidak menular hanya diderita oleh bangsa-bangsa maju karena tingkat kesejahteraan yang makin tinggi.  Namun, kini semakin disadari, penyakit ini dapat menimpa berbagai negara dan bangsa dengan tingkat kemakmuran yang beragam.

"Penularan" jenis penyakit tidak menular adalah melalui gaya hidup dan pola makan. Kemodernan dicirikan oleh gaya hidup dengan aktivitas fisik ringan. Dalam dunia kerja, umat manusia mengalami evolusi sejak zaman prasejarah ketika umat manusia harus berburu, kemudian memasuki dunia agraris yang semuanya masih mengandalkan kekuatan fisik.  Ketika menginjak abad industri, mulailah aktivitas fisik  berkurang.  Saat ini, banyak bidang pekerjaan yang hanya mengandalkan otak, penglihatan, serta 10 jari untuk mengetik di depan komputer.  Kita memasuki era sedentary lifestyles atau gaya hidup yang ringan-ringan saja.  Ini mendatangkan risiko meningkatnya kasus obesitas.

Fasilitas perkantoran dan belanja yang dilengkapi lift atau elevator menyebabkan orang malas untuk berjalan dan menggerakkan anggota tubuhnya.  Sementara kesibukan di tempat kerja atau di rumah tidak menyisakan waktu sedikit pun bagi kita untuk beraktivitas fisik secara cukup.

Kajian epidemiologis mengungkapkan, obesitas adalah faktor risiko berbagai penyakit degeneratif, seperti jantung koroner, hipertensi, asam urat, dan kanker.  Penyakit-penyakit ini tidak menular, tetapi tertularkan kepada orang lain melalui perubahan pola makan atau gaya hidup.

Pola makan seimbang

Sesungguhnya tidak tepat kalau dikatakan bahwa penyakit tidak menular adalah penyakit modern. Aterosklerosis (gangguan penyumbatan pembuluh darah) bukanlah penyakit yang baru dikenal.  Pembuluh darah mumi di Mesir, lebih dari 3.500 tahun yang lalu, ternyata telah mengidap penyakit ini.  Otopsi pertama yang dilakukan pada 1931 menunjukkan adanya tanda-tanda pengapuran pada pembuluh koroner seorang mumi perempuan yang meninggal  di usia 50 tahun.

Penyakit tidak menular tidak hanya menimpa orang-orang paruh baya. Otopsi pada 200 orang serdadu AS yang mati muda dalam Perang Korea pada 1950-an menunjukkan, 50 persen serdadu tersebut menunjukkan tanda-tanda pengapuran pada pembuluh koronernya, walau mereka tidak punya keluhan sama sekali.  Di AS, 46 persen dari anak muda yang mati karena kecelakaan lalu lintas ternyata sudah mengidap pengapuran koroner yang nyata, tetapi tetap tanpa gejala yang nyata.

Studi WHO menyimpulkan, progresi pengapuran koroner bertambah 3 persen per tahun sejak usia seseorang melewati 20 tahun. Kenyataan ini membuktikan progresivitas pengapuran pembuluh koroner sesungguhnya memang menggulir diam-diam dan senantiasa membawa bahaya laten. Dengan gaya hidup dan pola makan sehat, progresivitas penyakit ini dapat dicegah sedini mungkin.

Pola makan seimbang jadi salah satu solusi mengatasi penyakit tidak menular. Namun, bukan hal yang mudah memasyarakatkan gizi seimbang. Kementerian Kesehatan perlu lebih berupaya keras menyosialisasikan pedoman gizi seimbang yang telah dirumuskan sejak 1996, tetapi hingga kini terasa kurang gaungnya.

Pos pembinaan terpadu (posbindu) penyakit tak menular dimaksudkan untuk menyasar golongan umur di atas 15 tahun, tetapi kenyataannya lebih didominasi kaum lansia (usia pensiunan). Posbindu ingin meniru kesuksesan posyandu. Setiap bulan peserta posbindu diperiksa darah, tekanan darah, serta diajak berolahraga agar terhindar dari penyakit tidak menular.

Sejauh ini gerakan memasyarakatkan posbindu penyakit tidak menular belum cukup membawa hasil signifikan.  Padahal, posbindu ujung tombak penting untuk mendeteksi gejala awal penyakit tak menular. Kesadaran masyarakat perlu terus-menerus dibangkitkan agar Indonesia dapat mencegah epidemi penyakit tidak menular, dan bangsa kita bisa menjadi bangsa yang sehat.