Fungsinya tidak sekadar menegaskan keimanan, melainkan melekat pula kepatuhan dan kesalehan sebagai proses penghambaan. Tak berlebihan bila takwa dianggap sebagai satu-satunya penciri yang bisa membedakan antara satu dengan lain.

Urgensi takwa yang selalu diserukan dalam berbagai ritus peribadatan memantik refleksi panjang ketika kehidupan kita mengalami perubahan sosial dan perkembangan zaman. Ruas definisinya yang bertumpu pada "menjalani segala sesuatu yang diperintahkan dan menjauhi segala bentuk yang dilarang"—sebagaimana ditegaskan Imam Ghazali dalam kitab Ihya' 'ulumuddin—perlu disingkap seluas mungkin agar konteks pesannya, yaitu amar ma'ruf dan nahi munkar bisa menjangkau segala lipatan waktu dan ruang.

Semisal kehidupan kita yang dewasa ini sudah dilingkupi oleh realitas sosial yang terbarukan, di mana kecanggihan teknologi informasi menjadi keniscayaan. Segala ruang gerak kita sudah dikungkung oleh proses serba digital. Lalu, bagaimana memposisikan takwa sebaik mungkin agar dapat menjadi katalisator perubahan ke arah kebajikan dan harapan yang prospektif?

Transformasi spirit takwa

Dalam konteks digital, ketika amar ma'ruf dan nahi munkar menjadi definisi operasional yang paling konkret untuk mendeskripsikan segala bentuk titah dan perintah Tuhan yang diniscayakan untuk dilaksanakan serta segala bentuk larangan-Nya yang patut diwaspadai dan dihindari, maka setidaknya ada dua dimensi takwa yang perlu ditransformasikan dalam interaksi dunia mayanya, yaitu takwa preventif dan takwa inovatif.

Pertama, takwa preventif berkaitan dengan cara imajinasi kita dalam menempatkan diri secara positif di setiap trayektori informasi yang melintas batas. Banyaknya kanal informasi yang mewabahi berbagai perangkat teknologi yang serba pintar, sering kali menyeret diri kita dalam pusaran yang serba konfliktual, terutama ketika kanal-kanal informasi menyediakan berbagai platform digital, seperti aplikasi, laman video, dan berbagai laman lainnya  yang memudahkan kita terlibat dalam setiap akses informasi yang kita inginkan.

Beberapa kanal informasi seperti Whatsapp, Facebook, Twitter, Line, dan Instagram yang begitu mudah dan murah kita geluti, sering kali membuat kita lupa diri untuk mengekspresikan aneka imajinasi positif untuk menggambarkan diri kita yang sebenarnya. Tak sedikit dari kita yang justru tiba-tiba terlibat sebagai konsumen maupun produsen dalam penyebaran informasi yang serba reduksif dan negatif.

Hasil survei berbagai lembaga yang merilis corak perilaku media sosial kita yang tak senonoh, seperti hoaks, ujaran kebencian, provokasi, dan semacamnya jadi gambaran sederhana betapa kita tak bisa membangun imajinasi positif dalam memfungsikan teknologi informasi dengan baik. Kondisi ini tentu perlu menjadi bahan refleksi bagi kita bagaimana mentransformasikan takwa preventif yang memungkinkan diri untuk selalu menahan diri dalam perilaku penyebaran informasi yang tak sehat.

Tidak semestinya kita melayani setiap lintasan informasi hanya karena di dalam muatannya terdapat sebuah kesamaan persepsi, ideologi, maupun kepentingan lainnya. Apalagi, dalam imajinasi kita selalu terbangun sebuah gestalt figur tentang seseorang maupun kelompok yang perlu dibela dan diperjuangkan. Padahal, di antara lintasan informasi itu dilingkupi kesesatan informasi yang berefek gaduh dan kisruh bagi masyarakat kebanyakan. Sejatinya, kita menjaga kewarasan dalam bermedia sosial sejak dalam pikiran agar memberikan pandu kejujuran, tanggung jawab, dan rasa kerukunan di setiap perilaku perselancaran  di dunia maya.

Kedua, takwa inovatif berkaitan cara memanifestasikan nilai- nilai progresif ketakwaan yang terhimpun dalam pesan moral amar ma'ruf  dan nahi munkar. Ketika Tuhan menjanjikan dua keistimewaan bagi orang yang bertakwa, yaitu akan ditunjukkan jalan keluar dari setiap permasalahan dan diberikan kemurahan rezeki serta akan diberikan kemudahan dalam setiap urusan, sesungguhnya Tuhan sedang membukakan pintu kemurahan dan keadilannya bagi siapa pun yang menjalani proses kehidupannya dengan baik dan benar.

Dalam kaitan ini, era digital yang jadi salah satu jalan lempang dalam proses kehidupan yang tak lepas dari kemurahan Tuhan yang dilimpahkan kepada kita, maka siapa pun yang bisa menjadikan teknologi digital sebagai katalisator dengan baik dan benar akan memperoleh keistimewaan yang dijanjikan Tuhan untuk menggapai kesuksesan melalui dunia digital.

Munculnya berbagai usaha rintisan yang digagas banyak pihak yang begitu konsisten menapaki berbagai tangga digital dapat melahirkan kesuksesan di berbagai bidang yang digeluti. Dalam kaitan ini, peran serta para pihak yang begitu produktif memanfaatkan teknologi digital untuk mengembangkan spirit berkaryanya yang jujur, bertanggung jawab, dan membawa manfaat bagi banyak orang adalah cara pengembangan takwa yang inovatif dalam mengontekstualisasikan spirit amar ma'ruf dan nahi munkar di era digital.

Meminjam cara pandang Michael Cook dalam buku Commanding Right and Forbidding Wrong in Islamic Thoughtamar ma'ruf dan nahi munkar ditegaskan sebagai konsep interelasi yang bersifat komplementer, di mana antara satu sisi dengan lainnya memberikan peluang berproses sebagai pengguna teknologi digital yang ingin memanfaatkan berbagai perangkat dan tangga digitalnya untuk meraih kesuksesan. Dan, pada saat bersamaan para penggunanya selalu menahan diri untuk tak menggunakan teknologi informasi sebagai instrumen untuk menuai keburukan dan kejahatan sebagai modus kapitalisasi yang sesungguhnya dapat merugikan orang lain.

Humanisasi digital

Dua aspek transformatif ketakwaan di atas menjadi modal utama bagi kita menjalani kehidupan yang sudah dilingkupi oleh kemajuan teknologi digital. Seiring dengan menyebarnya  kesadaran digital di seantero negeri, baik di desa, semikota, dan kota, sudah saatnya rasa berdigital (sense of digitalizing) diimbuhi dan dilingkupi pula dengan rasa kemanusiaan (sense of humanity)

Dalam konteks antromorfis, humanisasi merupakan inti dari spirit ketakwaan yang harus dipupuk dengan baik. Sebab, dengan spirit humanisasi kita akan menjadikan teknologi digital sebagai sarana untuk membantu dengan segala upaya. Baik untuk meretas berbagai sampah virtual, mengatasi berbagai reduksi informasi, membangun pola komunikasi yang sehat, maupun menggunakan teknologi informasi untuk menggeliatkan usaha masyarakat ke arah yang lebih produktif dan menyejahterakan.

Bila spirit kemanusiaan menjadi titik masuk perselancaran di berbagai media sosial sekaligus titik lebur dari segala macam kepentingan dan ideologi, semakin tinggi teknologi (digital) yang melingkupi kehidupan kita, maka akan semakin tinggi pula sentuhan perikemanusiaan kita.