Apabila tugas dan kewenangan kepala daerah menyangkut pembuatan kebijakan publik bersama DPRD dan memimpin aparat daerah dalam pelaksanaan kebijakan publik, maka fokus perdebatan seharusnya diarahkan pada empat isu.

Pelaksanaan kebijakan publik

Keempat isu itu adalah rencana kebijakan publik atau program pembangunan daerah, bagaimana kepala daerah akan meyakinkan DPRD untuk menyetujui rencana kebijakan publik (rencana peraturan daerah dan rencana APBD) dengan atau tanpa perubahan, bagaimana kepala daerah akan memimpin pelaksanaan kebijakan publik, serta bagaimana kepala daerah akan mengarahkan dan mengendalikan aparat daerah untuk melaksanakan kebijakan publik.

Tema perdebatan tentang rencana kebijakan publik atau program pembangunan daerah ternyata tak seluruhnya berkaitan dengan urusan pemerintahan yang diserahkan oleh negara kepada daerah otonom provinsi dan kabupaten/kota. Baik penanya (pembawa acara dan panelis yang bertanya) maupun calon kepala ataupun calon wakil kepala daerah hampir tak ada yang merujuk pada urusan pemerintahan daerah otonom provinsi ataupun kabupaten/kota. Padahal, apa saja yang menjadi urusan daerah otonom provinsi dan kabupaten/kota telah diundangkan sebagai Lampiran UU Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas UU No 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah.

Karena sebagian besar komposisi keanggotaan DPRD provinsi ataupun DPRD kabupaten/kota bersifat fragmented atau perolehan kursi antarpartai (8 sampai 12 partai) relatif seimbang (tak ada partai parpol yang mencapai mayoritas di DPRD, dan parpol yang mampu mencapai 20-25 persen kursi DPRD hanya terjadi pada sekitar 20 persen DPRD), maka bagaimana calon kepala daerah akan mendapatkan persetujuan DPRD yang fragmented, niscaya patut dipertanyakan. Rencana kebijakan publik yang sangat tepat (baik dalam memecahkan masalah daerah maupun sesuai dengan aspirasi warga daerah) tidak akan berguna jika kepala daerah tak mampu meyakinkan DPRD untuk menyetujui rencana kebijakan itu.

Setidak-tidaknya dikenal tiga model pembuatan keputusan di DPRD, yaitu musyawarah untuk mencapai mufakat, pembuatan keputusan berdasarkan suara terbanyak (voting), dan kolutif (bancakan). Sejauh pengamatan atas apa yang selama ini terjadi, model pembuatan keputusan yang paling banyak digunakan oleh kepala daerah dengan DPRD adalah kolutif (bancakan) atau semua fraksi kebagian sesuai jumlah kursi di DPRD. Sejumlah kepala daerah dan pimpinan DPRD yang kena operasi tangkap tangan (OTT) oleh KPK adalah mereka yang mempraktikkan model kolutif alias transaksional tersebut.

Beberapa kepala daerah provinsi atau kabupaten/kota dengan kepemimpinan politik yang tegas menolak permintaan DPRD atas dana aspirasi atau dana representasi. Seorang pelaksana tugas (plt) gubernur salah satu provinsi di Sumatera menawarkan dua pilihan kepada semua fraksi: menyetujui dana aspirasi yang diminta setiap anggota DPRD sepanjang dana itu dioperasionalkan dalam bentuk belanja modal atau plt gubernur akan mengeluarkan surat keputusan (SK) untuk memberlakukan APBD tahun anggaran sebelumnya jika setiap anggota tak mengajukan rincian anggaran dalam bentuk belanja modal. Akhirnya semua anggota DPRD mengikuti pilihan pertama.

Karena itu, patut dipertanyakan model pembuatan keputusan macam apakah yang akan digunakan calon kepala daerah jika terpilih untuk mencapai kesepakatan dengan DPRD. Kemudian, harus pula dipertanyakan apakah ia punya kemampuan dan keberanian melaksanakan model itu.

Setelah kebijakan publik untuk pembangunan daerah disepakati kepala daerah dan DPRD, pertanyaan berikutnya bagaimana kepala daerah terpilih akan memimpin pelaksanaan kebijakan itu. Apabila jawaban pertanyaan program pembangunan seperti apakah yang akan ditawarkan dan bagaimana mendapatkan persetujuan DPRD merupakan cerminan dari kepemimpinan politik, maka pertanyaan bagaimana memimpin pelaksanaan kebijakan daerah merupakan cerminan dari kepemimpinan administrasi.

Apakah menyerahkan sepenuhnya pelaksanaan kebijakan publik (APBD, perda non-APBD) sesuai situasi dan kondisi kepada satuan kerja perangkat daerah (SKPD) atau terlebih dulu membuat peraturan kepala daerah untuk menjabarkan perda secara lebih operasional untuk kemudian dilaksanakan SKPD? Apakah substansi peraturan kepala daerah sekadar penjelasan operasional perda atau menjabarkan perda dalam bentuk output, outcome, dan dampak yang semua terukur?

Pertanyaan ini jika dirumuskan dalam model kepemimpinan administrasi, kepada setiap calon kepala daerah perlu ditanyakan: apakah akan menyerahkan sepenuhnya pelaksanaan kebijakan daerah kepada SKPD sesuai prakarsa, kreativitas, dan situasi yang dihadapinya, ataukah akan menentukan apa sajakah yang harus dilaksanakan (output), apa saja yang harus dicapai (outcome), dan dampak macam apa sajakah yang harus terjadi baik kepada warga maupun dalam lingkungan masyarakat? Pertanyaan lanjutan adalah apakah calon kepala daerah memiliki kemampuan melaksanakan model pelaksanaan kebijakan itu. Kompetensi dan pengalaman calon kepala daerah sangat berperan dalam menilai kepemimpinan administrasi calon.

Isu keempat yang perlu dipertanyakan kepada setiap calon adalah bagaimana kepala daerah akan mengarahkan serta mengendalikan SKPD dan semua pegawai daerah untuk melaksanakan kebijakan publik itu. Bagaimana kepala daerah terpilih akan menjelaskan tujuan (output, outcome, dan dampak) serta program pembangunan daerah (kebijakan daerah) kepada SKPD, bagaimana kepala daerah terpilih membuat setiap SKPD dan semua pegawai daerah punya motivasi tinggi melaksanakan kebijakan daerah, bagaimana kepala daerah terpilih mengikuti proses pelaksanaan kebijakan daerah, bagaimana kepala daerah terpilih mengoreksi kesalahan dalam proses pelaksanaan, bagaimana kepala daerah terpilih memberikan hukuman atau penghargaan (punishment and reward) kepada SKPD, dan akhirnya bagaimana kepala daerah terpilih akan mengetahui apakah program pembangunan daerah mencapai tujuannya ataukah tidak.

Kepala daerah dan wakil

Pertanyaan terakhir berkaitan dengan kerja sama kepala dan wakil kepala daerah dalam memimpin daerah otonom. Pengalaman sejumlah daerah menunjukkan "bulan madu" antara kepala dan wakil kepala daerah tak sampai satu tahun. Kepemimpinan daerah lain memperlihatkan kekompakan antara kepala dan wakil kepala daerah, bahkan maju bersama pada masa jabatan kedua. UU Pemda menjelaskan pembagian tugas antara kepala dan wakil kepala daerah.

Beberapa contoh kepemimpinan daerah "pecah kongsi" di tengah jalan karena wakil kepala daerah meminta pembagian tugas dalam mengoordinasi SKPD atau dinas/badan. Wakil kepala daerah meminta peran seperti ini karena merasa tak diberi peran penting atau ada pula yang meminta pembagian tugas seperti itu karena hendak mencalonkan diri sebagai kepala daerah periode berikutnya. Satu hal sangat jelas: kapal hanya memiliki satu kapten, bumi hanya memiliki satu matahari. Karena itu, kepada setiap calon kepala daerah perlu ditanyakan bagaimana dia sebagai kapten (kepala daerah) melaksanakan pembagian peran dengan wakilnya, tetapi wakil merasa diberi peran penting. Kepada setiap calon wakil kepala daerah perlu ditanyakan bagaimana dia akan berperan di bawah kepemimpinan kepala daerah sebagai kapten.

Semua pertanyaan ini seyogianya menjadi pertanyaan bagi setiap pemilih. Jawaban atas semua pertanyaan ini dapat diperoleh dari perdebatan antarcalon, selain dari pemberitaan berbagai media dan diskusi dengan teman. Pada akhirnya penilaian pemilih atas jawaban pertanyaan itu akan menentukan pilihan yang akan diambil dalam pilkada 27 Juni ini.