AFP PHOTO / BRENDAN SMIALOWSKI

Presiden AS Donald Trump.

Tanpa drama, Presiden Amerika Serikat Donald Trump menyudahi pertemuan negara-negara anggota Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) dengan menandatangani deklarasi bersama.

Ini berbeda dengan pertemuan Presiden Trump dengan kelompok G-7 bulan Juni lalu saat ia membuat kicauan media sosial dengan bangganya menolak menandatangani kesepakatan grup ekonomi maju tersebut. Apa yang membuat posisi Presiden Trump kali ini berbeda?

Keunikan NATO

Kelompok NATO berbeda dengan G-7 karena dalam kerja sama NATO di bidang pertahanan mensyaratkan bahwa ancaman satu negara anggota adalah ancaman bagi negara lainnya. Hal ini berbeda dengan G-7 yang, walaupun tujuannya adalah kesejahteraan bersama, tidak memiliki komitmen konkret. Kecilnya anggaran negara-negara anggota lain membuat AS merasa jaminan pertahanan bersama hanya omong kosong.

Sebelum pertemuan, Presiden Trump melontarkan ancaman-ancaman seperti "NATO menumpang", "NATO harus membayar payung keamanan AS", dan menyatakan akan mundur jika negara-negara anggota tidak mau meningkatkan anggaran pertahanan mereka. Presiden Trump kesal kepada negara-negara anggota NATO karena ia menganggap mereka menikmati dunia aman yang diciptakan AS.

Data belanja pertahanan tahun 2017 yang dikeluarkan Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI) menunjukkan AS menghabiskan 3,5 persen dari total produk domestik bruto (PDB) yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan anggota NATO lain, seperti Jerman yang hanya mengeluarkan 1,2 persen; Belgia 0,9 persen; dan Luksemburg 0,5 persen PDB.

Jika negara-negara anggota NATO lainnya tidak meningkatkan belanja pertahanan menjadi 2 persen PDB, Trump mengancam akan menarik pasukannya dari titik-titik strategis di Eropa. Hal ini cukup signifikan karena lebih dari 40.000 pasukan AS terlibat latihan gabungan tahunan NATO di Eropa Timur dan 35.000 pasukan AS ditempatkan di Jerman sebagai benteng pertahanan liberal saat Perang Dingin dan di masa sekarang menjadi gentaran (deterrence) bagi Rusia yang pada 2014 menganeksasi Krimea.

Namun, pertemuan NATO kali ini dapat dikatakan berhasil karena semua negara anggota, termasuk AS, akhirnya setuju dengan 79 poin kesepakatan. Di antaranya menyatakan kembali komitmen saling melindungi dan mengecam tindakan agresif Rusia atas Krimea. Pada akhir pertemuan, Presiden Trump menandatangani deklarasi NATO.

Kenaikan anggaran

Penandatanganan bisa dikatakan karena dua hal. Pertama, Trump bisa mengklaim negara-negara NATO setuju atas tekanannya untuk menaikkan anggaran pertahanan. Di mata pemilih domestik, Trump berhasil meningkatkan pamor sebagai pemimpin yang mampu merealisasikan "Amerika terutama" (America first) tanpa takut kepada sekutu.

Padahal, hal ini tidaklah benar karena pada 2014 ke-28 negara anggota NATO berkomitmen meningkatkan anggaran pertahanan mereka menjadi 2 persen PDB pada 2024.

Kedua, adanya tekanan balik (backlash) yang besar dari mundurnya AS dari kesepakatan bersama G-7. Kali ini, Presiden Trump tidak bisa seenaknya meninggalkan komitmen internasional negaranya seperti yang terjadi sebelumnya pada pertemuan G-7, kesepakatan Paris, perjanjian nuklir Iran, Kemitraan Trans-Pasifik, serta dewan kebudayaan dan hak asasi manusia PBB: UNESCO dan UNHCR.

Setelah Trump meninggalkan pertemuan G-7 karena perbedaan pandangan atas tarif yang dikenakan AS atas impor baja dan aluminium, sekutunya tidak tinggal diam. Posisi Trump menghasilkan perang dagang yang membuat negara-negara yang selama tujuh dekade sebelumnya dekat dengan AS beralih posisi mendekati musuh terbesar AS, China.

Tak lama setelah kebuntuan G-7, Perdana Menteri Perancis Edouard Philippe dan Kanselir Jerman Angela Merkel berkunjung ke Beijing untuk mencari alternatif hubungan dagang. Perdana Menteri India Narendra Modi dan Presiden Rusia Vladimir Putin juga tampak hangat dengan Presiden China Xi Jinping saat pertemuan Organisasi Kerja Sama Shanghai (SCO) yang berlangsung beberapa hari setelah G-7.

Hanya Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe yang tampak masih setia menantikan AS karena Jepang butuh penengah yang berpihak pada negosiasi damai dengan Korea Utara.

Namun, kepemimpinan AS tampak seperti lagu lawas yang diputar hanya karena kenangan. Perekonomian AS yang pasca-Perang Dunia II terbesar di dunia melempem terbebani oleh Perang Dingin selama 1945-1989, terbonsai dengan Perang Melawan Terorisme dan terpuruk karena Krisis Finansial Global selama periode 2000-an.

Data Maret 2018 menunjukkan, meski PDB daya beli paritas AS berada di posisi kedua, cadangan devisanya merosot di posisi ke-21.

Harapan kepada China

Sekarang sepertinya dunia menaruh harapan akan globalisasi dan perdagangan bebas kepada China. Negara ini, yang menurut proyeksi BNP Paribas akan melewati perekonomian AS pada 2030, nyatanya menurut data Bank Dunia 2017 sudah memegang posisi pertama baik dalam PDB daya beli paritas maupun cadangan devisa.

China tampak tak sungkan mengisi kekosongan yang ditinggalkan AS. Pada Forum Ekonomi Dunia di Davos tahun lalu, Presiden China Xi Jinping  dianggap sebagai pemimpin perekonomian  liberal, sesuatu yang dulu Amerika dianggap sebagai penjuru. Saat itu, Presiden Xi  mengatakan bahwa proteksionisme seakan "mengunci diri di kamar untuk berlindung, tetapi justru memutus akses cahaya dan udara".

Tingkatkan harmoni

Presiden Xi kembali melontarkan pernyataan bijak pada pertemuan SCO yang berlangsung sesudah kegagalan G-7. Presiden Xi meminta negara-negara dunia "meningkatkan harmoni dan persatuan dengan mencari kesamaan dan meminggirkan perbedaan".

Wacana yang dilontarkan Presiden Xi mampu memosisikan China sebagai aktor internasional yang bertanggung jawab dibandingkan dengan AS, apalagi China punya kemampuan finansial.

Kontras dengan AS yang memotong anggaran untuk organisasi internasional penjaga perdamaian dunia PBB, China justru meningkatkan kontribusinya, termasuk kewajiban iuran PBB yang dihitung secara proporsional dengan ukuran ekonomi negara anggota. Jika China mampu meningkatkan ekonominya sedangkan AS sebaliknya, China akan memimpin PBB.

Pada 2019 saja China menggantikan posisi Jepang sebagai kontributor keuangan terbesar di dunia. Belum lagi China sedang gencar-gencarnya menawarkan Inisiatif Sabuk dan Jalan (Belt Road Initiative) kepada negara-negara dunia yang membutuhkan investasi.

Menyadari kemampuan ekonomi China dan kemungkinan organisasi internasional SCO dapat berevolusi menjadi kerja sama keamanan, Trump tidak bisa lari dari NATO, setidaknya untuk saat ini. Bisa jadi permintaan Trump meningkatkan anggaran pertahanan NATO didasari ketakutannya akan China.