KOMPAS/IRMA TAMBUNAN (ITA)

Harga tandan buah sawit yang turun dalam sebulan terakhir belum juga pulih hingga Minggu (15/7/2018). Petani mengeluh, anjloknya komoditas itu telah menekan perekonomian mereka di tengah besarnya kebutuhan biaya pendidikan awal tahun ajaran ini.

Reformasi tata kelola industri sawit mendesak dilaksanakan. Di tengah pasar minyak nabati global yang semakin kompetitif, minyak sawit harus menunjukkan daya saingnya.

Sejak diperkenalkan Belanda di pengujung abad ke-19, spesies kelapa sawit (Elaeis guineensis) kini telah berkembang menjadi komoditas strategis nasional. Buktinya, ekspor komoditas kelapa sawit, CPO, dan produk turunannya mencapai 22,9 miliar dollar AS atau 15 persen dari total ekspor Indonesia (BPS, 2017).

Empat pilar

Namun, jangan hanya mengandalkan keunggulan produktivitas, minyak sawit harus memenuhi konsep perkebunan berkelanjutan, yang terdiri atas empat pilar. Pilar pertama legalitas. Konsep bisnis yang berkelanjutan itu harus legal dan menjadi kunci kepatuhan pelaku usaha. Namun, faktanya banyak perusahaan telah memulai aktivitas perkebunan sawit hanya berizinkan lokasi, sebagian memiliki izin usaha perkebunan (IUP), dan tidak banyak memiliki hak guna usaha (HGU). Di Riau saja ditemukan 1,7 juta hektar sawit tak berizin (Pansus DPRD Riau, 2016).

Penegakan hukum atas pelanggaran itu sering tumpul. Perlindungan dari pemegang kuasa, baik di tingkat daerah maupun pusat, jadi salah satu penyebab rusaknya mekanisme penegakan hukum. Selain itu, dokumen legalitas lahan yang diterbitkan sering tumpang tindih dengan izin-izin lain. Untuk itu, integrasi program kebijakan satu peta memang harus disegerakan.

Pilar kedua adalah ekonomi. Ekonomi sawit yang digadang-gadang sebagai penyumbang nilai ekspor terbesar nasional menimbulkan pertanyaan krusial: siapa yang menikmatinya? Jawabannya sederhana, yaitu pengusaha dan elite politik. Masyarakat desa yang sering kali merasakan dampak langsung dari kerusakan lingkungan dan konflik sosial hanya menjadi korban. Padahal, diplomasi internasional sering menggaungkan "pembangunan perkebunan sawit demi pemerataan ekonomi dan meretas kemiskinan pedesaan".

Di tingkat desa, petani-petani sawit berada pada level terendah dalam rantai pasok dan tidak memiliki posisi tawar terhadap produksi buah sawit yang mereka jual. Sudah saatnya industrialisasi sawit nasional kembali dimulai dari sawit rakyat sehingga masyarakat dapat merasakan manfaat, bukan sekadar menjadi penonton setia.

Tidak optimalnya negara menangkap manfaat ekonomi dari sektor sawit adalah salah satu penyebab dari masalah ini. Data Direktorat Jenderal Pajak (DJP) pada 2015 menunjukkan penerimaan pajak dari sektor sawit hanya Rp 22,2 triliun atau 2,1 persen dari total penerimaan pajak. Padahal, menurut studi Komisi Pemberantasan Korupsi pada 2016, potensi penerimaan negara dari pajak di sektor ini Rp 45 triliun-Rp 50 triliun.

Studi KPK juga menunjukkan tren penerimaan pajak dari sektor sawit yang stagnan dan cenderung turun kian tahunnya. Padahal, produksi, ekspor, dan harga sawit relatif stabil dan meningkat. Ditengarai, selain kepatuhan wajib pajak dalam membayar pajak yang kian menurun, juga penggelapan pajak sering dilakukan melalui pembentukan perusahaan cangkang di negara-negara suaka pajak, seperti Singapura.

Pilar ketiga dan keempat ialah lingkungan dan sosial. Pembangunan perkebunan sawit di Sumatera, Kalimantan, dan Papua telah menyebabkan degradasi kawasan hutan dan memicu konflik lahan. Temuan Auriga pada 2018 menunjukkan 3,4 juta hektar sawit berada dalam kawasan hutan. Belum lagi pembakaran hutan dan gambut yang memuncak pada tahun 2015, menjadikan Indonesia salah satu penghasil emisi karbon terbesar di dunia.

Pengenaan tarif pajak rendah dan tidak progresif terhadap sektor bisnis berbasis lahan telah memperparah degradasi lingkungan dan konflik sosial. Sudah selayaknya tarif pajak sektor sawit dinaikkan dan bersifat progresif, yakni mengikuti luasan lahan yang terpakai atau dampak negatif yang dihasilkan. Pajak progresif adalah kompensasi atas dampak lingkungan dan sosial sehingga pelaku usaha akan lebih berhati-hati bertindak.

Manfaatkan momentum

Atas berbagai kelemahan itu, kritik internasional terhadap sawit Indonesia semakin nyaring terdengar. Meski Uni Eropa—pasar 15 persen ekspor CPO Indonesia—telah menunda penghapusan biofuel berbasis sawit sebagai salah satu energi terbarukan dalam RED-II hingga 2030, negara-negara lain seperti Norwegia telah terang-terangan mengambil sikap untuk menghentikan impor produk sawit Indonesia. AS, dengan alasan sama, meningkatkan bea masuk anti-dumping bagi sawit Indonesia.

Selayaknya Indonesia harus memanfaatkan desakan internasional sebagai momentum untuk membenahi industri sawit. Pada 2016, Indonesia sudah memulai membenahi sistem sertifikasi Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO). Namun, penguatan sertifikasi ISPO tak akan berarti apa-apa tanpa penyiapan pra-kondisinya. Pembenahan harus mencakup skema jangka panjang untuk pembangunan industri sawit berkelanjutan, di mana ISPO menjadi salah satu instrumen penjamin kepatuhan pelaku usaha.

Sudah sepatutnya Indonesia mendirikan sebuah institusi khusus, sebagaimana Malaysia memiliki Malaysian Palm Oil Board (MPOB) dan Malaysian Palm Oil Council (MPOC), untuk mengurus segala tata kelola komoditas andalan nasional ini. Industri sawit yang telah begitu besar tidak mampu lagi dikelola secara bersama-sama dengan komoditas perkebunan lainnya. Melalui institusi baru itu, reformasi dapat diarahkan pada perbaikan manajemen data, perizinan, pengawasan, perpajakan, penegakan hukum, dan pemberdayaan sawit rakyat melalui industrialisasi.

Indonesia dapat melihat sustainability controversy terhadap komoditas sawit yang sedang berlangsung di panggung dunia melalui dua cara: semata-mata perang dagang atau semata-mata keberlanjutan.