KOMPAS/SONYA HELLEN SINOMBOR

Menteri PPPA Yohanan Yembise foto bersama saat Peluncuran Gerakan Stop Perkawinanan Anak di Kantor KPPPA, awal April 2017.

Perkawinan anak bukanlah masalah sederhana karena tidak sekadar melanggar undang-undang, yakni Pasal 6 Ayat (2) UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Lebih dari itu, perkawinan anak dapat merusak tatanan sosial.

Ironisnya, kasus perkawinan seorang anak laki-laki berusia 16 tahun dengan seorang nenek di Bantaeng, Jeneponto, serta perkawinan S (14) dan R (16) di Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan, yang menjadi pemberitaan media bukanlah hal baru.

Data Badan Pusat Statistik menyebutkan bahwa pada tahun 2015 prevalensi (seberapa sering kondisi terjadi) perkawinan anak mencapai 23 persen. Satu dari lima perempuan yang berusia 20-24 tahun ternyata telah melakukan perkawinan pertama pada usia di bawah 18 tahun.

Jika dilihat dari kondisi daerah, prevalensi perkawinan anak yang tinggal di perdesaan sebesar 27,11 persen, sedangkan anak di perkotaan 17,09 persen.

Provinsi dengan tingkat perkawinan anak tertinggi adalah Sulawesi Barat (34,22 persen). Kondisi ini diikuti dengan Kalimantan Selatan (33,68 persen), Kalimantan Tengah (33,56 persen), Kalimantan Barat (32,21 persen), dan Sulawesi Tengah (31,91 persen).

Data tersebut menunjukkan betapa pernikahan anak telah "melembaga" dalam sistem sosial masyarakat. Masyarakat masih menganggap bahwa menikah hanya sekadar urusan suka sama suka.

Masyarakat pun beranggapan bahwa menikah di bawah umur "dibenarkan" oleh ajaran agama. Padahal, itu pemahaman yang keliru dan sama sekali tidak dapat dibenarkan secara akal sehat.

Konteks sosial

Tafsir atas pernikahan anak dalam agama perlu diletakkan dalam konteks sosial. Konteks ini penting untuk membingkai apakah praktik itu benar terjadi atau hanya kisah kebohongan untuk pembodohan.

Praktik pernikahan anak menjadi bukti bahwa pola pengasuhan dan perlindungan masih belum berjalan. Pengasuhan anak masih dipahami sebagai relasi kuasa. Orangtua dianggap paling mengerti dan benar, sedangkan anak hanya makhluk kecil yang lemah.

Pengasuhan seperti itu akan terus menyuburkan kekerasan terhadap anak. Anak akan terus dianggap sebagai barang. Mereka dapat diperlakukan apa saja menurut kehendak orang dewasa sebagai pemiliknya.

Pengasuhan orangtua akan menjadi penentu utama nasib anak. Proses pengasuhan orangtua akan berpengaruh besar apakah anak akan menikah pada usia anak atau tidak. Padahal, jelas disebutkan dalam UU Perlindungan Anak Pasal 26, salah satu kewajiban dan tanggung jawab orangtua adalah mencegah terjadinya perkawinan usia anak.

Kita tahu bahwa sebenarnya usia perkawinan ideal seperti yang disebutkan dalam UU Perkawinan Pasal 6 adalah usia 21 tahun.

Motif ekonomi

Lebih lanjut, budaya sering kali menjadi pembenar pernikahan anak. Saat seorang anak sudah dilamar, orangtua harus segera menikahkan. Mereka takut apabila hal itu ditunda akan mendatangkan musibah bagi keluarga.

Situasi seperti ini menunjukkan ego orangtua. Orangtua belum menggunakan perspektif kepentingan terbaik bagi anak. Anak masih dianggap sebagai beban ekonomi. Dengan menikahkan anak, orangtua berharap berkurang salah satu beban ekonomi.

Dalam hal ekonomi, masih ada orangtua berharap dari mahar atau uang seserahan yang diberikan pihak laki-laki kepada perempuan. Mahar atau uang seserahan tersebut dianggap sebagai pendapatan bagi orangtua. Pada situasi ini, anak masih dianggap sebagai hak milik dan aset yang dapat diperjualbelikan.

Anak masih dianggap sebagai kepunyaan orangtua. Oleh karena itu, orangtua dapat melakukan apa saja agar "kebutuhannya" terpenuhi.

Kasus pernikahan anak sering kali muncul disebabkan kehamilan di luar nikah (marriage by accident). Pada situasi kehamilan itu, banyak orangtua memilih opsi segera menikahkan sang anak.

Penyelesaian kasus-kasus kehamilan tidak diinginkan lebih sering menggunakan penyelesaian yang parsial. Jarang ada suatu penyelesaian menyeluruh dengan mempertimbangkan kepentingan terbaik bagi anak dan masa depan anak.

Fungsi edukasi

Kantor urusan agama (KUA) sebagai organ pemerintah yang mencatat peristiwa nikah perlu menguatkan fungsi edukasi untuk mencegah terjadinya perkawinan usia anak. Penguatan edukasi ini tidak hanya dijalankan saat mendatangi/mencatat pernikahan.

KUA perlu terus membangun penguatan pendidikan dan membangun komunikasi agar masyarakat mempunyai cara pandang yang baik tentang pernikahan, yaitu pernikahan sebagai perjanjian agung (mistaqan qhalidza).

Sebagai perjanjian suci, pernikahan bukan sekadar mempertemukan dua pasangan. Namun, mereka mengemban amanat kemanusiaan, makhluk beradab, dan meneruskan kehidupan bermoral berkeadaban.

Pengadilan yang dalam hal ini memiliki kewenangan memberikan dispensasi pun wajib mengutamakan kepentingan terbaik bagi anak.

Pengadilan perlu mempertimbangkan dan atau menolak permohonan pernikahan anak atas dasar menjaga martabat bangsa. Keberanian pengadilan menolak akan menyelamatkan anak Indonesia dari persoalan "anak melahirkan anak".

Pada akhirnya, perkawinan bukan hanya soal halalnya hubungan laki-laki dan perempuan. Akan tetapi, pernikahan lebih merupakan medium membangun peradaban bangsa melalui unit terkecil keluarga.