Cari Blog Ini

Bidvertiser

Rabu, 25 Juli 2018

Ihwal Surat Tak Mampu//Siapa Memang Peduli Petani? (Surat Pembaca Kompas)


Ihwal Surat Tak Mampu

Beberapa hari ini, Kompas mewartakan penyalahgunaan SKTM, surat keterangan tidak mampu. Rupanya masih banyak warga tak punya malu memanipulasi SKTM yang mestinya hanya untuk warga tak mampu.

Saya teringat pada peristiwa lebih dari 35 tahun silam di Desa T, Kecamatan K, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Rumah kami kedatangan dua guru SMP yang ditugasi kepala sekolah menanyakan kepada pamong desa setempat tentang siswa tak mampu.

Rupanya Sdr X sudah menemui kepala sekolah mohon keringanan uang sekolah. Dia tak berani minta surat tak mampu dari pamong desa. Maka, pihak sekolah memilih mengutus dua guru untuk minta keterangan pamong setempat, carik desa, yang adalah orangtua saya.

Setelah minum teh, kedua guru disarankan ayah saya menyusuri lorong desa ke barat. Rumah terujung dekat sawah adalah rumah ayah sang siswa. Agar tak mencolok, mereka pura-pura menengok padi dan balik sambil mengamati keadaan rumahnya. Kedua guru kembali di rumah kami dan bilang sudah melihat kondisi rumah siswa itu.

Belakangan Sdr X tak dipungut uang sekolah karena miskin. Selain bersekolah, ia memiara beberapa kambing dan merawat ayahnya yang sakit. Pihak sekolah, setelah menugaskan guru, baru memutuskan bahwa siswa itu layak dapat bantuan, tak perlu urus SKTM.

Sugeng Hartono
Bona Indah Blok A, Lebak Bulus,
Jakarta Selatan

 

KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA

Petani mengairi lahan sawahnya yang akan ditanami kembali dengan dibantu pompa air di Desa Sidorejo, Kecamatan Brangsong, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah, Jumat (8/6/2018). Sebagian petani mulai mengandalkan pompa air secara swadaya, ketika sebagain saluran irigasi sudah mulai mengering saat memasuki kemarau.

Siapa Memang Peduli Petani?

Kompas, 25 Juni 2018, menerbitkan tulisan Nofi Candra, "Siapa Peduli Petani". Saya perhatikan tulisan itu. Langka seorang senator bicara tulang punggung negeri ini: petani.

Dua poin kurang dalam tulisan itu. Pertama, senator asal Sumatera Barat itu mungkin lupa atau memang tak ingin membahasnya bahwa salah satu faktor ganas penggerogot lahan pertanian di negeri ini ialah proyek pembangunan pemerintah jua. Akhir 2013 lalu, 1.500 hektar yang merupakan lahan sawah paling produktif di Sumedang ditenggelamkan untuk membangun Bendungan Jatigede. Menurut Edi Askhari, ketua panitia khusus Jatigede DPRD setempat, penggenangan lahan pertanian itu membuat produksi padi yang 30.000 ton per tahun itu hilang (Tribun Jabar, 22/12/2013).

Megaproyek itu menenggelamkan 28 desa di Sumedang. Karena luas, butuh tujuh bulan menenggelamkan lahan produktif dan tempat tinggal 11.000 warga di daerah itu (Rappler, 8/9/2015). Hingga kini, ganti rugi pembebasan lahan hingga relokasi tempat tinggal bagi warga tergusur masih belum beres (Beritasatu.com, 9/4/2018).

Kira-kira 300 kilometer ke tenggara Sumedang, petani Kulon Progo didera nasib serupa. Ratusan hektar lahan produktif petani musnah demi bandara. Padahal, di lahan itu, 2.700 ton cabai unggul dapat dihasilkan tiap tahun.

Di Kabupaten Solok, Sumatera Barat, petani senasib sepe- nanggungan dengan rekan mereka di Kulon Progo. Tepatnya di kawasan Gunung Talang, Bukit Kili, Kabupaten Solok, pemerintah memberi konsesi 27.000 hektar untuk proyek panas bumi. Ratusan warga di sana menolak proyek itu karena akan memusnahkan lahan pertanian produktif yang mereka hidupi.

Tak mungkin seorang senator cukup umur dan berpengalaman panjang di panggung politik tak tahu itu semua. Lagi pula, kasus terakhir ini tak jauh dari kampung halamannya.

Poin kedua saya mengenai sinkronisasi data pangan. Setakat ini pemerintah tak jelas ihwal data pangan yang diacu. Kementerian Pertanian mengatakan, selama panen padi Januari-Maret 2018, akan ada surplus beras pada Januari 329.000 ton, Februari 2,9 juta ton, dan Maret 4,97 juta ton. Namun, pemerintah mengimpor beras 500.000 ton pada Januari 2018 dan mengulanginya empat bulan setelah itu.

Menurut Dwi Andreas Santosa, Guru Besar IPB, setakat ini data persediaan beras nasional belum akurat. Data diambil hanya berdasarkan perkiraan luas panen dan produksi beras. Ini dicatat Ombudsman RI sebagai salah satu malaadministrasi pengelolaan data beras.

Marlis Kwan
Analis Fair Business for Environtment,
UNSW Sydney, Australia


Kompas, 25 Juli 2018

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger