ANTARA FOTO/RIVAN AWAL LINGGA

Ketua DPD Oesman Sapta Odang (kedua kanan) bergandengan tangan dengan Ketua KPU Arief Budiman (kanan), Ketua Bawaslu Abhan (kedua kiri) dan Wakil Ketua DPD Nono Sampono (kiri) saat pertemuan DPD dengan KPU dan Bawaslu di Kompleks Parlemen, Senayan, Selasa (24/7). Pertemuan tersebut membahas tentang putusan Mahkamah Konstitusi terkait pengurus partai yang tidak bisa menjadi calon anggota DPD.

Pemilu dilaksanakan berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Demikian isi Pasal 2 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengartikan kata adil sebagai sama berat; tidak berat sebelah; tidak memihak. Frasa berkeadilan (sosial) diartikan sebagai kerja sama untuk menghasilkan masyarakat yang bersatu secara organis sehingga setiap anggota masyarakat memiliki kesempatan yang sama dan nyata untuk tumbuh dan belajar hidup pada kemampuan aslinya.

Mahkamah Konstitusi (MK) dalam putusan Senin (23/7/2018) mengembalikan prinsip dasar penyelenggaraan pemilu, terutama terkait keadilan. Pemohon tidak menguji Pasal 2 UU No 7/2017 tentang Pemilu itu, tetapi Pasal 182, terkait syarat menjadi calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Majelis hakim konstitusi memutuskan, senator atau wakil daerah tidak boleh merangkap sebagai pengurus partai politik.

MK menyatakan, larangan calon wakil rakyat dari daerah tidak boleh merangkap menjadi fungsionaris parpol itu sejalan dengan pemaknaan lebih lanjut terhadap Pasal 182 huruf (l) UU Pemilu, yaitu bersedia untuk tidak berpraktik sebagai akuntan publik; advokat, notaris, pejabat pembuat akta tanah, dan/atau tidak melakukan pekerjaan penyedia barang dan jasa yang berhubungan dengan keuangan negara serta pekerjaan lain yang dapat menimbulkan konflik kepentingan dengan tugas, wewenang, dan hak sebagai anggota DPD sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. MK mengartikan lebih luas pekerjaan lain bagi anggota DPD itu adalah sebagai pengurus partai.

Putusan MK itu tampaknya becermin dari realitas saat ini. Tak kurang dari 70 dari 132 anggota DPD adalah kader dan pengurus parpol. Ketua DPD Oesman Sapta Odang adalah Ketua Umum Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura). Sejumlah anggota DPD sebelumnya juga pengurus partai, tetapi saat mencalonkan diri pada Pemilu 2014 melepaskan diri dari kepengurusan partai, meski tetap menjadi kader partai. Dukungan suara untuk mereka terpilih sebagai senator pun berasal dari simpatisan dan kader partai tempatnya bernaung. Padahal, pembentukan DPD pada awalnya adalah tempat bagi wakil rakyat dari daerah, yang tidak mewakili atau dicalonkan oleh partai.

Putusan MK kali ini diharapkan bisa mengembalikan marwah DPD sebagai lembaga utusan daerah. Putusan ini sejalan dengan pengantar dalam penjelasan UU Pemilu, yang antara lain menyatakan, pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD diselenggarakan dengan menjamin prinsip keterwakilan, serta untuk mewujudkan wakil rakyat yang berkualitas, dapat dipercaya, dan dapat menjalankan fungsi kelembagaan legislatif secara optimal.

Adil, karena setiap orang mempunyai kesempatan yang sama untuk menjadi anggota lembaga perwakilan. Bukan seperti saat ini, pengurus parpol bisa menjadi anggota DPR, DPRD, atau DPD, sehingga seperti diungkapkan Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna, ada perwakilan ganda dalam keanggotaan MPR. Parpol diwakili oleh anggota DPR dan anggota DPD.