AFP PHOTO / DANIEL SORABJI

Seorang jurnalis memperhatikan layar komputer yang menampilkan grafik pergerakan harga minyak yang ditampilkan Bloomberg, Kamis (12/7/2018) pekan lalu. Kelindan pergerakan harga minyak dan tensi perang dagang secara global menimbulkan kekhawatiran di kalangan para pelaku pasar modal di berbagai belahan dunia.

Mampukah dunia menghindar dari malapetaka ekonomi setelah G-20 gagal mencapai terobosan konkret untuk menghentikan eskalasi pe- rang dagang global yang dipicu AS?

Dalam komunike setelah pertemuan dua hari di Buenos Aires, para menteri keuangan dan gubernur bank sentral dari 20 negara G-20 menekankan mendesaknya dilakukan dialog. Namun, pertemuan yang diwarnai perang verbal menteri keuangan AS dan mitranya di G-20 itu gagal mencapai kesepakatan atau merumuskan langkah konkret untuk membendung perang dagang.

Seperti kata Menkeu Perancis Bruno Le Maire, perang dagang sudah menjadi kenyataan. Bagaimana membawa semua pihak berseteru mau duduk ke meja perundingan tampaknya kian sulit. Dalam manuver terakhir, AS kembali melancarkan ancaman akan memperluas sanksi tarif dengan menerapkan tarif ke seluruh produk impor dari China senilai total 500 miliar dollar AS.

AS juga bergeming dari kebijakan tarif sepihak dengan negara-negara Uni Eropa (UE) serta negara anggota NAFTA, Kanada dan Meksiko. Posisi AS terisolasi karena para mitra dagang mengancam membalas setiap langkah sepihak AS. Seperti dikatakan Le Maire, UE menolak bernegosiasi "di bawah todongan senjata", kecuali AS menarik diri lebih dulu.

AS yang selama ini kampiun perdagangan bebas memicu perang dagang lewat kebijakan America First dan tarif sepihak. Negara ini melancarkan serangan ke semua mitra dagang yang dianggap biang keladi di balik defisit neraca perdagangan masif AS. China sebagai mitra dagang terbesar menjadi target utama. Indonesia juga tak steril, masuk dalam 16 mitra dagang utama yang jadi sasaran dan terancam dicabut skema tarif preferensi atas 124 produk ekspor yang selama ini dinikmatinya.

AS memainkan manuver sangat berbahaya yang bisa membahayakan perekonomian global dan terkesan naif karena merasa dirinya akan steril dari dampak perang dagang yang dikobarkannya. Dalam faktanya, menurut kalkulasi sejumlah lembaga, justru AS yang akan paling parah terkena dampak karena lebih banyak mengimpor ketimbang mengekspor.

Perang dagang kian mempersuram prospek perekonomian global jangka pendek dan menengah. Peringatan dampak masif perang dagang dilontarkan para wakil G-20 dan IMF. Perang dagang membuat kerapuhan sektor finansial meningkat serta tensi perdagangan dan geopolitik memanas, dan goyahnya pertumbuhan ekonomi global, khususnya di negara-negara maju.

Sejumlah kalangan mengingatkan skenario terburuk perang dagang bisa menuntun ke krisis atau resesi global seperti tahun 1930-an. Ibarat gajah bertarung, pelanduk mati di tengah, negara-negara berkembang yang tak terlibat langsung dalam perang dagang dengan AS yang sebelum ini terimbas kebijakan suku bunga AS akan kian terpukul oleh perang dagang.

Globalisasi produksi membuat seluruh sekat wilayah negara runtuh, menyatukan perekonomian global dalam jaringan rantai besar produksi dan suplai global. Sekitar 30 persen produk ekspor dari China adalah dari negara ketiga. Pengenaan tarif tinggi pada produk ekspor suatu negara akan memukul seluruh entitas atau perekonomian yang terlibat dalam rantai produksi dan suplai, dengan efek domino yang juga akan sulit dibendung.


Kompas, 25 Juli 2018