Cari Blog Ini

Bidvertiser

Sabtu, 21 Juli 2018

Tiket Asian Games Mahal//Quo Vadis Minyak Sawit Indonesia? (Surat Pembaca Kompas)

Tiket Asian Games Mahal

Terkait dengan perhelatan akbar Asian Games XVIII yang akan digelar mulai 18 Agustus 2018 di Jakarta dan Palembang, kita sebagai anak bangsa pasti bangga, senang, dan mendukung penuh agar pesta olahraga itu terlaksana dengan baik dan sukses.

Namun, setelah mendapatkan informasi tentang harga tiket sejumlah pertandingan, apalagi tiket upacara pembukaan dan penutupan, kami sungguh miris sebab harganya sangat mahal dan eksklusif. Kesannya pesta akbar Asian Games yang digelar pemerintah ini khusus bagi kelas menengah ke atas.

Mohon Kementerian Pemuda dan Olahraga meninjau ulang harga tiket itu agar lebih terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat demi sukses Asian Games XVIII.

Yosminaldi
Jatikramat Indah I, Jatiasih,
Bekasi, Jawa Barat

Quo Vadis Minyak Sawit Indonesia?

Ketika menerima undangan konferensi internasional Promoting Poverty Eradication, Peace and Humanity through Agriculture and Plantation Industry, seminggu sebelum 15 Mei 2018, dengan tuan rumah Universitas Pontifica Urbana Vatikan, hati saya berdebar-debar.

Apa yang terjadi dengan kelapa sawit di ASEAN, khususnya Indonesia dan Malaysia sebagai nomor 1 dan 2 eksportir terbesar minyak kelapa sawit? Kedutaan Besar Malaysia dan Indonesia untuk Vatikan menjadi organizer dan dibantu secara khusus oleh Koordinator IRRIKA, kelompok rohaniwan Indonesia di Vatikan.

Memasuki kompleks megah Universitas Kepausan di bidang Evangelisasi yang didirikan sekitar abad ke-16 itu membuat saya percaya keseriusan situasi minyak kelapa sawit Indonesia dan Malaysia.

Sejak 17 Januar1 2018, parlemen Eropa telah menandatangani pembatasan pemakaian minyak kelapa sawit sebagai bahan bakar hingga pelarangan pada 2030. Ini berakibat ekspor kedua negara turun drastis, padahal total nilai sekitar 50 miliar dollar AS dan separuhnya dipakai untuk biofuel.

Pikiran saya menjadi kenyataan saat registrasi, lebih banyak anggota asosiasi eksportir Indonesia dan Malaysia beserta mitra mereka dari pemerintah masing-masing, dalam hal ini delegasi tingkat tinggi setingkat duta besar: delapan duta besar Indonesia yang berkedudukan di Eropa dan Kementerian Koordinator Kemaritiman langsung dipimpin Menko.

Sayang, tak hadir secara signifikan pihak konsumen Eropa yang sangat memiliki kepentingan dalam hal ini.

Dalam pengamatan saya, yang pernah berkarya di Komisi Eropa, Brussels, selama dua tahun, ada empat hal yang luput dari perhatian forum diskusi mahapenting ini.

Pertama, peristiwa ini hanyalah peristiwa sejarah berulang, ketika kita ingat di era Orde Baru ada Badan Pengelola dan Penyangga Harga Cengkeh (BPPC) yang dilihat sebagai badan pemerintah yang memberikan subsidi kepada pelaku cengkeh. Begitu pula dengan rotan dan komoditas lain. Terakhir, pada 2015, untuk kelapa sawit, ada Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP), salah satu sponsor acara ini. Badan seperti ini bikin alergi pihak Eropa dari dulu, dan herannya, kita tak menyadarinya.

Kedua, riset mengenai adanya kanker jika mengonsumsi produk berbahan baku minyak sawit adalah hasil riset European Food Safety Agency (EFSA) beberapa tahun lalu. Sampai saat ini tak satu pun riset tandingan membuktikan sebaliknya. Yang ada hanya laporan myth vs fact yang sangat kurang nilai saintifiknya.

Ketiga, Malaysia telah melakukan smart moves dengan menandatangani perjanjian dengan negara di luar UE seperti Swiss untuk ekspor minyak sawit mereka. Pemerintah bisa berdiskusi dengan Dubes Indonesia untuk Swiss yang hadir.

Keempat, laporan Bank Dunia 2015 menyatakan bahwa investasi dunia di bidang teknologi bersih sampai 2030, biofuel hanya urutan terbawah sekitar 28 miliar dollar AS, kendaraan listrik sudah 280 miliar dollar AS, sedangkan bidang waste water sekitar 2.800 miliar dollar AS. Sayang, delegasi Bank Dunia hadir, tetapi tak berpresentasi.

Terakhir, pihak pemangku kepentingan tidak hadir, tetapi sering disebut di semua presentasi bahwa para pembicara adalah petani kelapa sawit itu sendiri.

Alexander Epifanijanto

Ekonom, Berdomisili di Italia

Kompas, 21 Juli 2018

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger