KOMPAS/WISNU WIDIANTORO

Presiden Joko Widodo dan Ketua Umum Partai Gerakan Indonesia Raya Prabowo Subianto (kanan) menyempatkan diri untuk berkuda bersama disela-sela pertemuan mereka di Padepokan Garuda Yaksa Bojong Koneng, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Senin (31/10/2016). Selain sebagai bentuk silaturahmi, pertemuan itu juga untuk mendiskusikan berbagai permasalahan di Indonesia. 

Publik Indonesia akan segera tahu kontestan Pilpres 2019. Sebelum sampai di situ, kita harus terus ingat bagaimana Pilpres 2014 mengobrak-abrik konstelasi politik sekaligus meremukkan hubungan sosial. Secara drastis, pertarungan politik empat tahun silam memunculkan garis permusuhan sosial. Kategorisasi sosial, yang merujuk pada pengelompokan pendukung dua gerbong besar kekuatan politik, membentuk zona-zona kebencian. Tragisnya, kita justru menghadapi Pilpres 2019 dengan asumsi pesimistik akan demokrasi di semua level.

Freedom House memperlihatkan pergeseran signifikan kualitas kebebasan sipil dan demokrasi di seluruh dunia. Ada suatu masa di mana jumlah negara yang tergolong bebas (free) meningkat pada periode 1970-an hingga awal 2000-an. Pasca-Perang Dingin, banyak negara Amerika Latin beralih dari pemerintahan militer ke demokrasi. Sebagian besar negara Eropa Timur juga mengikuti arus ini.

Sementara demokrasi liberal lama di Amerika Utara, Eropa Barat, dan Australia tampak lebih aman dari sebelumnya (Taub, 2016). Namun, sejak 2010, Freedom House memperlihatkan penurunan indeks kebebasan sipil dan mutu demokrasi global. Apakah gejala ini sekadar anomali statistik, atau sesungguhnya menunjukkan pola yang berarti? Jawabannya: demokrasi sedang terkurung dalam tegangan yang tak mudah terselesaikan.

Di satu sisi, kebebasan berbicara (free speech) dianggap sebagai salah satu prinsip utama demokrasi, sebuah prinsip yang dianggap mampu memekarkan nilai-nilai fundamental lainnya.  Di sisi lain, demokrasi menjadi satu ideologi, sistem, dan praktik politik yang belum mampu melawan arus ujaran kebencian (hate speech). Ada deviasi mencemaskan ketika segenap praktik demokrasi justru memperlakukan sentimen dan kebencian sosial sebagai basis legitimasi kekuasaan (Weinstein, 2017).

Kecemasan akan masa depan demokrasi juga mengganggu kesadaran global. Salah satu simpul perasaan ini bersinggungan dengan menurunnya persepsi positif terhadap validitas nilai-nilai demokrasi. Gelombang demokratisasi di kawasan Eropa dan Amerika dipengaruhi semacam nihilisme politik yang kian membesar di banyak kalangan.

Ada temuan mengejutkan tentang sikap generasi milenial dan generasi tua terhadap demokrasi di kawasan ini. Kelompok milenial tak merasa butuh hidup di ranah demokrasi yang aman. Ini diperparah dengan menguatnya pesimisme di kalangan generasi tua. Mereka tak menunjukkan kepedulian seandainya kekuatan militer mengambil alih pemerintahan demokratis dalam krisis politik. Dalam studi yang cukup baru (2017), Mounk dan Foa—peneliti dari Universitas Harvard, AS—menyebut tendensi ini sebagai dekonsolidasi demokrasi.

Rekonsolidasi

Di Indonesia, krisis pengetahuan nilai-nilai demokrasi adalah hal krusial. Barangkali, ini juga atmosfer yang mengurung Pilpres 2014 dan 2019. Praktik demokrasi dilumuri kebencian sosial (politik). Hilangnya kepercayaan akan efikasi prinsip demokrasi akan memuluskan jalan segenap kekuatan politik yang memolakan sentimen kebencian sosial dalam menggerakkan akumulasi dukungan politik.

Para pengkaji demokrasi dan ilmuwan politik sepakat negara-negara demokratis baru seperti Indonesia sudah melewati tahap konsolidasi demokrasi. Secara konseptual, ada kepercayaan bahwa masyarakat sipil yang kuat dan tingkat kemakmuran memadai akan membuat demokrasi aman. Selama beberapa dekade, perubahan politik di level nasional, regional, dan global tampaknya mendukung gagasan itu. Indonesia juga memiliki kepercayaan sama. Tetapi, tidak untuk seterusnya. Dengan keretakan sosial parah—yang membentang panjang pada zona-zona kebencian—hasil-hasil baik konsolidasi demokrasi tidak berjalan lama.

Di titik ini, demokrasi belum berhasil jadi panduan nilai dalam politik.  Rekonsolidasi jadi keniscayaan dalam konteks Pilpres 2019. Dua hal penting dilakukan. Pertama, penguatan terus-menerus reformasi politik demokratis. Kedua, memperbaiki patologi politik dengan meruntuhkan zona kebencian. Bilakovics (2012), yang percaya demokrasi adalah prinsip paling menentukan pada zaman kita, mengajak kita mengatasi prasangka anti-politik dan memikirkan kembali demokrasi yang kuat dan beradab.