Jemaah mengisi wukuf dengan berdoa di bawah tenda-tenda Padang Arafah, Senin (20/8/2018).

Rangkaian ibadah haji mencapai puncaknya dengan wukuf di Arafah, Senin (20/8/2018). Dalam kesetaraan, sekitar 3 juta anggota jemaah haji berzikir dan berdoa.

Dengan berwukuf, jemaah diminta banyak merenung mengenang kehidupan yang telah mereka jalani, berdoa dan memohon ampunan Allah atas kesalahan dan dosa yang telah mereka perbuat, dengan harapan besar Allah SWT mengampuni.

Di negara masing-masing, umat yang saleh tentu taat menjalankan ibadah dan mohon ampunan. Namun, pengalaman di Arafah menjadi momen amat khusus yang dilatarbelakangi suasana dan lingkungan yang demikian khusyuk.

Ibadah haji juga ditandai dengan pelaksanaan kurban, yang diturunkan dari riwayat Nabi Ibrahim yang diperintahkan Allah untuk mengurbankan putra yang amat dicintainya. Allah yang menerima ketakwaan Ibrahim mengganti sang putra, Ismail, dengan hewan kurban.

Mengenang dan merenungkan riwayat agung tersebut telah kita lakukan tahun demi tahun, dengan harapan semakin teballah keimanan kita kepada Allah. Seperti juga ibadah puasa Ramadhan yang berkahnya diuji setelah Ramadhan berakhir, ibadah haji pun kemabrurannya akan terlihat seusai berhaji.

Selain keimanan dan ketakwaan bertambah, ibadah ini juga ditujukan untuk mengasah kepekaan setiap insan yang menjalankannya. Hari Raya Kurban mengajarkan insan untuk bisa berempati, ikut merasakan penderitaan sesama yang kurang mampu dan hidup berkekurangan, serta mau mengorbankan sesuatu yang dicintainya dalam melaksanakan ketakwaan.

Selain merupakan ibadah tahunan, empati ini sebenarnya juga dapat diperluas untuk lingkup dan konteks kekinian. Pertama, meski telah coba diatasi dengan berbagai program dan upaya, faktanya kemiskinan dan kesenjangan tetap ada di tengah-tengah masyarakat.

Kedua, yang tidak kalah aktual, sering kali—dalam kesenjangan yang masih ada—terjadi pula musibah, seperti bencana gempa yang dialami saudara-saudara kita di Lombok. Terhadap korban bencana alam ini kita juga wajib mengulurkan tangan menolong dan meringankan beban penderitaan. Ini kiranya juga ekspresi merayakan kurban di tahun ini.

Dengan meluaskan empati dan solidaritas sosial, kita merasakan perayaan Idul Adha kini kian penuh makna. Dengan ekspresi seperti itu kita juga secara tidak langsung memupuk rasa kebersamaan dan persatuan sebagai bangsa, yang tahun depan akan melaksanakan pemilu yang keberhasilannya juga membutuhkan rasa kebangsaan yang kuat.

Kita meyakini, meski ada dimensi individual yang amat kuat pada setiap ibadah, tetap ada juga dimensi keumatan, dan lebih luas lagi dimensi kemanusiaan di dalamnya. Ibadah haji dan pelaksanaan kurban kita yakini mengandung sifat itu, bahwa keberhasilannya tidak terlepas dari seberapa tekun dan luas kita menjalankan amanah yang ada sesudah ibadah dilaksanakan.