Namun, yang ada "permintaan khusus" dari surat tertanggal 20 Juli 2018 tersebut bahwa MA meminta agar 7 dari 8 hakim agung direkrut dari hakim karier (hanya hakim TUN khusus pajak yang berasal dari hakim karier/umum).

Dalam surat itu MA mencantumkan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 53/PUU-XIV/2016 sebagai rujukan permintaan. Putusan a quo menguji Pasal 6B Ayat (2), Pasal 7 huruf a butir 4 dan butir 6 serta Pasal 7 huruf b butir 1 angka 4, butir 2 dan butir 3 UU No 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua UU Mahkamah Agung dan Pasal 4 Ayat (3) dan Pasal 22 UU No 8 Tahun 2011 tentang Perubahan UU Mahkamah Konstitusi.

Reformasi MA

Proses pengisian jabatan hakim agung ini harus dilihat dari beragam aspek, baik dari segi kebutuhan/kapasitas/keilmuan maupun dalam konteks memperkuat reformasi di internal MA. Dalam pertimbangannya MK juga sudah mengingatkan pengisian jabatan hakim agung yang bukan dari hakim karier merupakan bagian dan sekaligus kelanjutan dari desain besar reformasi mendasar pemegang kekuasaan kehakiman, khususnya MA.

Pengisian jabatan hakim dari jalur di luar karier sesungguhnya juga sudah dilakukan di lingkungan peradilan di bawah MA. Sebut saja perekrutan hakim pengadilan tindak pidana korupsi/tipikor (UU No 46/2009) yang membuka peluang munculnya hakim ad hoc. Memang jika dicermati, hakim dari jalur nonkarier dan ad hoc merupakan dua hal yang berbeda, tetapi keduanya memiliki kesamaan, yaitu sama-sama berasal dari luar jalur karier (hakim di bawah MA).

Terlebih lagi putusan MK mensyaratkan sifat kekhususan berupa keahlian di bidang hukum tertentu untuk dapat melamar menjadi hakim agung dari jalur nonkarier. Hal ini sejalan dengan definisi hakim ad hoc dalam UU Kekuasaan Kehakiman (UU KK), pada Pasal 1 angka 9 UU KK, yaitu hakim yang memiliki keahlian dan pengalaman di bidang tertentu untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang pengangkatannya berdasarkan UU.

Oleh karena itu, relasi antara hakim karier dan nonkarier harus ditujukan untuk memperkuat institusi peradilan dalam melahirkan putusan-putusan yang memenuhi rasa keadilan masyarakat, bukan justru memperdalam jurang pemisah hanya karena perbedaan jenjang karier.

Di dalam putusan yang sama, MK dalam pertimbangannya juga menyatakan tentang penyebutan karier dan/atau nonkarier hanya untuk pintu masuk pada proses pencalonan sehingga pengelompokan yang didasarkan pada penyebutan tersebut hilang atau tidak lagi digunakan setelah calon terpilih dan diambil sumpah sebagai hakim agung. Menghilangkan penyebutan itu penting untuk menghindari kemungkinan dikotomi hakim agung berdasarkan pintu masuk yang disediakan UU setelah calon terpilih dan diambil sumpahnya sebagai hakim agung.

Posisi KY

Perekrutan hakim agung perlu diletakkan dalam langgam kekuasaan kehakiman yang merdeka. MA memiliki kebutuhan hakim agung sesuai dengan kriteria substantif tertentu, dan KY sebagai lembaga yang mandiri dan berwenang dalam mengusulkan pengangkatan hakim agung, sehingga irisan kepentingan ini jangan sampai menimbulkan interpretasi bahwa MA seolah-olah ingin "mendikte" KY untuk merekrut calon hakim agung dari jalur karier saja (tanpa nonkarier).

Perihal penilaian calon hakim dari jalur nonkarier memiliki keahlian bidang hukum tertentu, hal itu mutlak menjadi kewenangan KY dalam proses seleksi. Ini diperkuat dengan putusan MK dalam amarnya menyatakan Pasal 7 huruf b butir 3 UU MA inkonstitusional bersyarat, "tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai berijazah doktor dan magister di bidang hukum dengan keahlian di bidang hukum tertentu dengan dasar sarjana hukum atau sarjana lain yang mempunyai keahlian di bidang hukum". MK sama sekali tidak membatasi asal calon hakim agung hanya dari jalur karier sehingga nonkarier juga mempunyai porsi yang sama dengan karier.

Lagi pula faktanya sejak pertama kali dilaksanakan penerimaan calon hakim agung pada 2006, KY telah menggelar 16 kali seleksi calon hakim agung. Dari keseluruhan seleksi itu telah dihasilkan total 58 hakim agung, 44 hakim dari jalur karier dan 14 hakim dari jalur nonkarier. Jika dilihat dari rasio asal calon hakim agung ini, 75 persen ternyata masih didominasi hakim karier. Dengan demikian, secara sederhana dapat dikatakan intensi dari MA yang lebih menghendaki hakim karier pada dasarnya telah lebih banyak dipenuhi.

Sebagai lembaga yang mandiri, keputusan KY untuk tetap menerima calon hakim agung dari jalur nonkarier layak dinilai sebagai pengejawantahan dari kewenangan konstitusionalitas KY sekaligus kelanjutan semangat reformasi peradilan. Keberadaan hakim nonkarier tidak semata-mata pelengkap, tetapi juga organ utama yang sangat vital sebagai unsur penggerak reformasi peradilan.

Penulis meyakini proses seleksi akan dilakukan dengan mempertimbangkan, mengutamakan, dan memilih individu tertentu yang memiliki kriteria yang dibutuhkan MA, bukan sekadar soal hakim karier dan nonkarier semata.