
Tahun 2019 di depan mata, tahun yang ditunggu dengan harap-harap cemas oleh bangsa ini.
Pemilihan anggota legislatif dan pemilihan presiden menanti di sana.
Perhelatan akbar itu kembali memberi kita kesempatan untuk menemukan pemimpin-pemimpin terbaik. Dan, titik krusial pemilu jarang disadari oleh rakyat, bahwa pada momen itu rakyat hendak menitipkan kuasanya. Namun, pengalaman sejak era Reformasi sampai hari ini, kita semua lebih sering meleset dalam menitipkan kuasa pada dimensi kepemimpinan lembaga tertentu.
Ada dua prinsip utama kepemimpinan dalam kaitannya dengan perhelatan akbar tahun 2019. Pertama, leadership is not dealership (kepemimpinan bukanlah keagenan).
Dealership secara konstekstual ternyata memang berhubungan dengan leadership. Namun, ini bukan cuma soal otak-atik kata leader menjadi dealer. Secara substansial memang bisa dianalisis. Pemimpin yang tak mau dan tak mampu menunjukkan tipikal (dan kualitas) leadership-nya hanya akan menjadi pemimpin dengan tipikal (dan kualitas) dealership.
Menjual-belikan kekuasaan
Berikut akan diuraikan tentang dealership terkait kepemimpinan sehingga kita bisa melihat dengan jelas bahwa selama ini kita hanya dipimpin oleh sebagian pemimpin tipikal dealership (keagenan) yang menyedihkan.
Arti harfiah menurut kamus, dealership is an authorized seller ialah seseorang atau badan yang mendapatkan otorisasi untuk mendistribusikan atau menjual barang/jasa di daerah tertentu.
Jika kita perhatikan, pengertian "dagang atau bisnis" itulah yang terjadi pada para pemimpin bangsa selama ini. Mereka menerima otorisasi kekuasaan dari rakyat pemilihnya dan mereka menjual-belikan kekuasaan itu seenaknya.
Keagenan para pemimpin itu mengejawantah dalam beberapa gejala kekuasan berikut. Pertama-tama mereka bekerja dengan prinsip transaksional! Semua dijalankan berdasarkan transaksitertentu yang tujuannya jelas: taking advantage, mencari keuntungan bagi diri sendiri; bukan giving advantage sebagai prinsip dasar kepemimpinan.
Prinsip kerja ini bahkan memelesetkan makna hidup: bahwa kehidupan, pekerjaan, dan mandat justru harus bisa memberikan "makna" (manfaat) bagi dirinya selaku pemimpin, padahal seharusnya merekalah yang memberikan makna pada kehidupan. Itu sebabnya, para pemimpin tipe keagenan ini tak lebih dari parasit kehidupan. Berbagai kasus korupsi, penyelewengan kekuasaan, ketakmampuan dalam memimpin adalah refleksi dari para pemimpin tipe keagenan.
Selain itu, pemimpin tipe keagenan tak punya keikhlasan.
Mereka penuh kepalsuan! Mengadaptasi pemikiran Prof Imam Suprayogo, mantan Rektor UIN Maulana Malik Ibrahim, Malang, dalam pemaparannya ("Beberapa Prinsip Dasar Kepemimpinan"), bahwa pemimpin yang menjalankan peran sebagai broker (baca: dealer) hanya dipenuhi oleh kepalsuan.
Dan, dengan gamblang kita bisa menatap sekaligus merasakan demikian banyak pemimpin berhati palsu yang hanya bisa berkoar-koar, cari muka, penuh janji tak berdasar, omong doang, pencitraan, populis, provokatif lewat berbagai pemberitaan, baik media cetak, televisi, maupun media sosial.
Kedua, leader is not cheerleader (pemimpin bukanlah pemandu sorak). Pemimpin tipe ini tak menjalankan tugas-tugas pokok kepemimpinan, seperti memberi arah, menggerakkan, mengawasi, memotivasi demi mencapai tujuan bersama (esensial), tetapi fokus pada menciptakan suasana ramai dan ingar-bingar dalam organisasi yang dipimpinnya (sensasional).
Ada dua ciri menonjol pemimpin tipe pemandu sorak. Mengadaptasi pakar kepemimpinan Harvey Schachter, seorang pemimpin terutama harus memberikan hasil, tapi pemimpin tipe pemandu sorak lebih menjaga ego (status, jabatan) dalam prioritas kepemimpinan mereka. Pemimpin pemandu sorak akan cenderung mendukung siapa pun yang bisa ikut melindungi ego (status, jabatan) mereka daripada mendukung orang-orang yang punya kontribusi terhadap hasil.
Maka, jangan heran dengan oknum anggota Dewan, misalnya yang suka berteriak kencang dan miring membela sekelompok orang yang dianggap bisa melindungi ego mereka secara massal. Ini bukan soal esensial, melainkan sensasional.
Mereka tak peduli jika tak menghasilkan apa pun selama jadi pemimpin.
Selain itu, pemimpin tipe pemandu sorak lebih suka mengambil keputusan yang mengedepankan harmoni, meski tak esensial, karena mereka cenderung menghindari konflik dan ketidaksetujuan. Mereka tidak peduli jika keputusan tak esensial itu sama sekali tidak produktif selama harmoni bisa dijaga. Itu sebabnya, keberanian pemimpin tertinggi bangsa ini untuk mengambil beberapa keputusan tak populis dan berisiko tinggi, tetapi produktif perlu mendapatkan apresiasi dan dukungan dari rakyat. Di zaman ini, di negeri ini, lebih banyak pemimpin tipe pemandu sorak berkeliaran di segenap dimensi organisasi bangsa.
Bekal memilih pemimpin
Menjelang tahun 2019, betapa perlunya kita sebagai rakyat pemilih bekerja ekstra keras untuk menyeleksi para calon pemimpin (baik legislatif maupun eksekutif) yang setidaknya memiliki rekam jejak sebagai berikut.
Pertama, pemimpin dengan kepemimpinan berlandaskan giving principle: mereka yang bersedia memberi lebih dulu, bukan mengambil lebih dulu. Ini tak melulu berkaitan materi, uang, juga etos kerja. Carilah pemimpin yang mendahulukan pekerjaan mereka daripada status dan imbalan, yang punya rekam jejak mau bekerja ikhlas, bekerja keras meski tak diawasi, atau tak terlalu berhitung dalam bekerja.
Kedua, pemimpin yang tak punya jiwa "agen" sehingga mereka bersedia memaknai kekuasaan yang dipercayakan sebagai amanah. Mereka bukan memimpin "hanya" untuk kemaslahatan bangsa, rakyat, dan negara, melainkan demi memuliakan Tuhan. Jika mereka mau memuliakan Tuhan, akan lebih mudah mereka memuliakan rakyatnya.
Ketiga, carilah pemimpin yang siap dihujat demi kebenaran. Bukan pemimpin yang mencari harmoni dan popularitas demi melindungi kursi jabatan, status, atau harta yang mereka kumpulkan. Dalam kriteria ini sudah terkandung prinsip integritas yang sangat diperlukan dalam sebuah kepemimpinan. Tanpa integritas, seorang pemimpin tak akan mau mengejar kebenaran dalam memimpin. Integritas adalah satunya kata dan laku.
Perhelatan akbar itu sudah di depan mata, tentu tak mudah mendeteksi dan memilih para pemimpin sesuai uraian ini. Namun, setidaknya uraian ini diharapkan bisa memberi bekal agar kita tidak memilih seadanya atau sekadar memenuhi hak konstitusional. Pada jari kita ada kewajiban konstitusional: untuk memilih dengan penuh tanggung jawab dan mengedepankan kepentingan bangsa ini secara utuh. Tentu saja dengan mencari para pemimpin bangsa yang bukan agen dan pemandu sorak.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar