
Kebijakan normalisasi moneter Amerika Serikat tidak berpotensi besar mengakibatkan krisis keuangan dunia, terutama yang disebabkan oleh aliran modal keluar.
Namun, dengan likuiditas global yang berlebih, kenaikan suku bunga di Amerika Serikat (AS) dan perampingan neraca keuangan Bank Sentral AS (Federal Reserve/Fed) secara lebih progresif dapat memicu aliran modal keluar dari perekonomian-perekonomian yang tengah bertumbuh (emerging economies) secara mendadak dan berlebihan. Ke depan, nilai tukar dollar AS akan cenderung menguat hingga proses normalisasi tuntas pada tahun 2020.
Normalisasi moneter merupakan kebijakan yang harus dilakukan AS setelah langkah luar biasa—yang dilakukan AS khususnya dan G-20 umumnya—untuk memulihkan ekonomi dari krisis keuangan dunia dan resesi yang dalam pada tahun 2008/2009. Di samping melalui ekspansi fiskal yang kuat, yaitu dengan pelebaran defisit hingga 1,4 triliun dollar AS (10,1 persen dari produk domestik bruto) pada tahun 2009, kebijakan moneter dilonggarkan. Tidak hanya dengan menurunkan suku bunga mendekati nol persen, tetapi juga dengan kebijakan non-konvensional atau yang biasa disebut quantitive easing (QE).
Risiko dan manfaat
Pada bulan November 2008, Fed mengumumkan pembelian surat utang termasuk dalam bentuk efek beragun kredit kepemilikan rumah (mortgage-back securities/MBS) sebesar 800 miliar dollar AS. Kebijakan ini selanjutnya diperpanjang pada Maret 2009 hingga Juni 2010. Periode November 2008-Juni 2010 tersebut sering disebut sebagai putaran pertama QE dengan total pembelian surat utang sekitar 1,725 triliun dollar AS, termasuk sekitar 300 miliar dollar AS merupakan surat utang pemerintah.
Pada November 2010 dilakukan putaran kedua (QE2) dengan pembelian surat utang, terutama surat utang pemerintah, sebesar 600 miliar dollar AS. Pada September 2012, dilakukan QE putaran ketiga dengan pembelian sebesar 40 miliar dollar AS dalam bentuk MBS dan 45 miliar dollar AS dalam bentuk surat utang. Pada Januari 2014, pembelian dikurangi menjadi total 75 miliar dollar AS per bulan— menandai periode tapering (pengurangan stimulus)—yang selanjutnya dikurang lagi menjadi hanya 35 miliar dollar AS per bulan pada Juli 2014.
QE merupakan kebijakan kontroversial yang bukan tanpa risiko. Pertama, QE berpotensi meningkatkan inflasi apabila jumlah QE lebih banyak daripada yang diperlukan. Terlalu banyak uang yang diciptakan dalam bentuk pembelian aset.
Kedua, QE dapat gagal dalam mendorong permintaan agregat apabila sektor keuangan enggan mengucurkan uang kepada dunia usaha dan rumah tangga. Ketiga, QE melemahkan mata uang dollar AS. Penguatan mata uang terhadap dollar AS ini sempat memicu isu perang kurs (currency war) yang dicetuskan menteri keuangan Brasil, yang berpotensi meningkatkan proteksionisme dan devaluasi.
Keempat, QE mendorong aliran modal keluar AS untuk diinvestasikan pada emerging markets dan komoditas. Kelima, QE dikhawatirkan memperburuk kesenjangan pendapatan di AS dengan mendorong nilai saham yang praktis dimiliki golongan kaya. Keenam, QE memperburuk neraca keuangan Bank Sentral AS yang berpotensi mengakibatkan kebangkrutan. Neraca (balance sheet) Bank Sentral AS yang pada 2007 hanya sekitar 920 miliar dollar AS atau 6,6 persen dari produk domestik bruto (PDB) melonjak menjadi sekitar 4,56 triliun dollar AS pada 2014 atau 26,1 persen PDB. Meski berbeda dengan bank komersial, kebangkrutan Bank Sentral AS akan menjadi tanggung jawab sepenuhnya Pemerintah AS.
Walaupun kontroversial, QE terutama QE1 dianggap mampu menjaga ekonomi AS dari kemungkinan terjadinya depresi besar di AS. QE1 juga ikut membantu likuiditas dari kelangkaan pascakrisis keuangan Lehman Brothers dengan
mendorong kembali arus modal ke Asia. QE berikutnya lebih berpengaruh pada penguatan nilai tukar mata uang lain di luar dollar AS dan harga properti.
QE2 dan QE3 dipandang kurang efektif untuk mempercepat pemulihan ekonomi AS.
Sejalan dengan pemulihan ekonomi AS, kebijakan moneter diarahkan pada normalisasi suku bunga dan mengembalikan kebijakan nonkonvensional menjadi konvensional. Sinyal normalisasi kebijakan moneter AS diberikan pada bulan Mei 2013 bahwa QE akan dihentikan pada pertengahan tahun 2014. Sinyal tersebut telah menimbulkan gejolak yang cukup besar pada arus modal yang pada gilirannya pada nilai tukar mata uang, dan bursa saham terutama di emerging economies Asia. Pembelian surat utang oleh Bank Sentral AS yang dikurangi sejak awal tahun 2014 menandai awal titik balik kebijakan moneter AS.
Dengan makin membaiknya ekonomi AS, terutama berkurangnya tingkat pengangguran, suku bunga dinaikkan secara bertahap menjadi 0,50 persen pada Desember 2014 hingga menjadi 2,00 persen pada Juni 2018.
Risiko normalisasi kebijakan moneter AS
Normalisasi kebijakan moneter AS diarahkan pada dua sasaran, yaitu mengembalikan suku bunga pada tingkat yang normal dan menyehatkan neraca Bank Sentral AS dengan mengurangi aset bermasalah. Teka-teki terletak pada seberapa tinggi suku bunga acuan AS dinaikkan serta bagaimana Fed menyehatkan neracanya. Seberapa besar neraca Fed akan dirampingkan, bagaimana mekanisme yang akan dilakukan, dan kapan target yang diinginkan.
Dalam keadaan normal, kenaikan suku bunga AS tidak terlalu berpotensi mengakibatkan arus modal berbalik yang berlebihan. Kenaikan suku bunga AS akan dilakukan secara hati-hati dan terukur agar tidak mengganggu ekonomi AS yang sudah pulih. Meski membaik, ekonomi AS belum mengarah pada kondisi yang terlalu panas (overheating).
Pertumbuhan ekonomi AS tahun 2017 sebesar 2,6 persen dan triwulan II-2018 sebesar 2,8 persen (dibandingkan periode sama tahun sebelumnya atau year on year/y-o-y) meski secara triwulanan tumbuh tinggi 4,1 persen (q-t-q, annualized).
Ekonomi AS diperkirakan tumbuh 2,8 persen tahun 2018 dan melambat menjadi 2,4 persen pada tahun 2019. Inflasi bulan Juni 2018 mencapai 2,9 persen, melebihi normal, antara lain disumbang oleh kenaikan harga energi.
Situasi ini berbeda dengan kenaikan suku bunga AS yang dilakukan pada tahun 2004-2005. Dengan pertumbuhan ekonomi AS sekitar 3,8 persen pada tahun 2004 dan inflasi lebih dari 3 persen, Fed Funds Rate (FFR) dinaikkan secara progresif dan terukur dari 1,25 persen menjadi 5,25 persen.
Ringkasnya, kecuali terjadi dorongan pertumbuhan ekonomi yang mengakibatkan pemanasan ekonomi (overheating), FFR dinaikkan secara bertahap menjadi 2,50 persen atau maksimum 3,25 persen. Ini sejalan dengan rencana Fed.
Sementara itu, dalam menyehatkan neraca, Fed cukup berhati-hati dalam mengurangi aset bermasalah dalam neracanya. Penjualan surat utang yang jatuh tempo dinaikkan secara bertahap di mana sebagian dibelikan lagi untuk membeli surat utang.
Dengan penjualan neto yang dinaikkan dari 30 miliar dollar AS menjadi 50 miliar dollar AS per bulan, neraca Fed diperkirakan dapat diturunkan menjadi kurang dari 3 triliun dollar AS atau sekitar 2,5 triliun dollar AS pada akhir tahun 2020. Dengan cara demikian, dampak kontraksi terhadap ekonomi AS tidak terlalu besar. Selanjutnya, lebih dari separuh ekonom dalam poll di Wall Street Journal meyakini bahwa pengurangan balance sheet hanya meningkatkan imbal hasil (yield) surat utang AS sebesar 0,2 persen.
Di atas kertas, dampak normalisasi suku bunga dan neraca keuangan Fed diperkirakan tidak besar. Namun, di sisi lain, rencana normalisasi juga tidak akan terganggu atau tertunda.
Selama ekonomi AS tumbuh relatif tinggi, tingkat pengangguran yang cukup rendah (3,9 persen per Juli 2018), serta risiko yang dihadapi oleh AS tetap besar apabila kebijakan normalisasi tidak dilakukan, normalisasi kebijakan moneter AS tetap berjalan sesuai rencana.
Meski demikian, kehati-hatian tetap perlu dijaga. Pertama, jumlah modal di luar AS selama implementasi QE cukup besar.
Dana Moneter Internasional (IMF) memperkirakan antara tahun 2009 dan 2013, investasi portofolio di emerging economies meningkat kumulatif sebesar
1,1 triliun dollar AS atau sekitar 2 persen dari PDB negara penerima. Kedua, kenaikan suku bunga AS setelah melewati ambang tertentu dapat mempercepat aliran modal kembali ke AS dan sekaligus meningkatkan imbal hasil surat utang Pemerintah AS. Ketiga, kebijakan ekonomi AS yang tidak pasti dan lebih mengacu pada kepentingan AS bukan tidak mungkin lebih mendorong aliran modal dari emerging economies secara lebih progresif.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar