
Kongres Bahasa Indonesia XI yang akan dihelat di Jakarta, 28-31 Oktober 2018, mengusung tema "Menjayakan Bahasa Indonesia". Segera setelah membaca tema itu, menyeruak pertanyaan: apakah bahasa Indonesia selama ini belum "berjaya" sehingga masih perlu "dijayakan"?
Memang jika dihitung sejak kelahirannya dalam Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928, bahasa Indonesia hingga kini telah berusia 90 tahun. Namun, benarkah pada usia itu bahasa Indonesia belum berjaya? Apa indikator "kebelumberjayaan" itu?
Perangkat bahasa modern
Secara umum sesungguhnya bahasa Indonesia kini telah tumbuh sebagai bahasa yang modern. Suatu bahasa dianggap sebagai bahasa yang modern jika telah sanggup mengemban fungsinya sebagai sarana komunikasi untuk berbagai keperluan dalam kehidupan modern, seperti bisnis, politik, ekonomi, hukum, ilmu pengetahuan, dan teknologi.
Dari sisi itu, tampaknya bolehlah bahasa Indonesia disebut sebagai bahasa yang modern. Indikatornya pun sudah terpenuhi, yakni adanya kamus, tata bahasa, dan alat uji yang standar. Untuk kamus, bahasa Indonesia sudah memiliki Kamus Besar Bahasa Indonesia meskipun belum memiliki Kamus Besar Bahasa Indonesia Baku. Untuk tata bahasa, bahasa Indonesia sudah memiliki Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Untuk alat uji standar, bahasa Indonesia sudah memiliki Uji Kemahiran Berbahasa Indonesia.
Seperangkat pedoman acuan yang lain pun telah tersedia, misalnya Pedoman Umum Pembentukan Istilah, Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia, serta Pedoman Pengindonesiaan Nama dan Istilah Asing. Glosarium Bahasa Indonesia pun sudah tersedia. Begitu pula dengan kamus istilah dalam berbagai bidang ilmu.
Dari sisi regulasi, selain ada UU Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan, juga tersedia Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2014 tentang Pengembangan, Pembinaan, dan Pelindungan Bahasa, serta Peningkatan Fungsi Bahasa Indonesia; dan Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2010 tentang Penggunaan Bahasa Indonesia dalam Pidato Resmi Presiden dan/atau Wakil Presiden, serta Pejabat Negara Lainnya. Bahkan, kini sudah disiapkan Peraturan Presiden tentang Penggunaan Bahasa Negara.
Sikap dan kesadaran berbahasa masih rendah
Bahasa Indonesia memang memiliki keunggulan di bidang penyediaan buku acuan dan regulasi. Namun, dari sisi penuturnya—terutama sikap dan kesadaran berbahasa masyarakat— masih rendah, bahkan masih memprihatinkan. Itu sebabnya, bahasa Indonesia belum berjaya.
Penutur bahasa Indonesia, terutama dari kalangan masyarakat yang patut menjadi panutan dalam penggunaan bahasa, ternyata belum memberikan keteladanan bagi masyarakat dalam berbahasa Indonesia. Sebut saja, misalnya, para pejabat negara, pejabat publik, tokoh politik, dan figur publik lainnya. Mereka masih cenderung abai dalam berbahasa dan tidak menyadari bahwa dirinya merupakan panutan masyarakat.
Motivasi ke arah itu sebenarnya sudah dilakukan, misalnya dengan diberikannya penghargaan kepada pejabat publik dan tokoh publik yang telah berbahasa Indonesia terbaik. Namun, rupanya itu belum mampu menggugah kesadaran para pejabat publik dan tokoh publik untuk memberikan keteladanan dalam berbahasa Indonesia.
Pengambil kebijakan di kalangan pemerintah juga belum secara konsisten menerapkan ketentuan dalam penggunaan bahasa Indonesia. Di satu sisi, UU telah mewajibkan penggunaan bahasa Indonesia dalam penamaan di ruang publik, baik pada nama gedung, bangunan, organisasi, dan sejenisnya maupun penamaan kegiatan, program, dan acara-acara resmi. Namun, di sisi lain, masih sering muncul penamaan dalam bahasa asing, misalnya cultural festival, soft launching, grand opening, dan ground breaking. Padahal, bahasa Indonesia telah memiliki padanan untuk istilah asing itu, yakni festival budaya, peluncuran awal, pembukaan resmi, dan peletakan batu pertama.
Sikap dan kesadaran berbahasa Indonesia para pelaku usaha juga masih rendah. Bahkan, bagi kalangan ini bahasa asing dianggap lebih memiliki nilai jual. Akibatnya, penamaan yang mereka lakukan lebih banyak menggunakan bahasa asing. Ironisnya, untuk penamaan gedung, properti, dan usaha yang besar-besar cenderung menggunakan bahasa asing, sedangkan yang kecil-kecil menggunakan bahasa Indonesia. Ini sungguh memprihatinkan karena ada semacam penghinaan terhadap bahasa sendiri.
Sementara itu, kalangan masyarakat umum pun tampaknya tidak jauh berbeda. Karena adanya kegandrungan yang berlebihan terhadap bahasa asing, kalangan ini pun cenderung mengabaikan ketertiban dalam penggunaan bahasa Indonesia. Penyebab utama dari kegandrungan itu adalah masyarakat tidak cukup percaya diri pada bahasa Indonesia. Bisa juga karena dalam benak sebagian di antara kita telah disusupi oleh mental inlander yang merasa inferior, rendah diri, sehingga tidak percaya diri dengan bahasa Indonesia.
Oleh karena itu, ketika globalisasi menawarkan diri dengan bahasa asing, yang dianggap lebih "wah", kita pun keder untuk menggunakan bahasa Indonesia. Apalagi, di dalam diri sebagian di antara kita telah tertanam persepsi bahwa bahasa asing itu lebih hebat, lebih bergengsi, dan lebih memiliki nilai ekonomi. Akibatnya, kita pun ikut larut dalam budaya global dengan mengabaikan—bahkan "menggadaikan"—bahasa sendiri.
Kontradiktif
Di satu sisi, kita telah gencar mempromosikan bahasa Indonesia menjadi bahasa internasional, bahkan sampai mengirimkan ratusan pengajar ke luar negeri. Namun, di sisi lain, di dalam negeri sendiri bahasa Indonesia belum dimartabatkan.
Apa yang harus kita lakukan? Inilah persoalan-persoalan yang perlu dicarikan solusi dalam kancah Kongres Bahasa Indonesia XI. Dengan solusi yang jitu melalui hajat akbar lima tahunan tersebut diharapkan ke depan bahasa Indonesia benar-benar berjaya, baik di dalam maupun di luar negeri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar