"Menggigil. Dingin yang menggigit di tengah salju yang mengeras, angin yang menusuk; berembus kian kemari, menancapkan kaki yang beku, gigi-gigi beradu di dalam kedinginan yang pahit". Begitu bunyi satu soneta yang mengiringi musik karya Antonio Vivaldi yang berjudul "Winter".

Tak jelas benar siapa yang menulis soneta itu. Mungkin Vivaldi sendiri. Dalam karya musik yang luar biasa ini, kita bisa merasakan bagaimana Vivaldi mengekspresikan suasana musim dingin yang beku. Musim dingin, memang, memiliki kesan yang tak bersahabat. Kesan yang muram.

Tak heran jika Presiden Joko Widodo (Jokowi) pun menggunakan metafora ini dalam pidatonya pada pertemuan tahunan Dana Moneter Internasional dan Bank Dunia di Bali, dua minggu lalu. Ia mengingatkan musim dingin akan datang. Dan ia benar. Ungkapan itu begitu relevan ketika kita membaca pidato Wakil Presiden Amerika Serikat (AS) Mark Pence awal Oktober lalu. Pidato Pence tidak hanya menyiratkan datangnya musim dingin, tetapi ia bahkan mengisyaratkan kemungkinan badai salju.

Harian The New York Times menurunkan tulisan dengan judul mencemaskan, "Pence's China Speech Seen as Potent of 'New Cold War'". Pidato itu menyiratkan: masalah China dengan AS lebih luas dari sekadar perang dagang. Ini adalah soal rivalitas kedua negara. Jika ini akar soalnya, perang dagang AS dan China tampaknya berlanjut. Ini akan berpengaruh kepada perekonomian dunia, termasuk Indonesia.

Dampak perang dagang

Padahal, di sisi lain, seperti yang saya tulis di harian ini (15/8/2018), proses normalisasi kebijakan moneter di AS akan berlanjut. Tekanan kepada rupiah masih terus terjadi. Tahun ini The Fed mungkin akan menaikkan bunga satu kali lagi dan tahun depan dua atau tiga kali lagi. Akhir tahun 2019 bunga The Fed mungkin akan mencapai 3,25 persen atau bahkan mencapai 3,5 persen, tergantung tingkat inflasi dan defisit anggaran di AS. Saya menduga, Bank Indonesia juga akan menaikkan bunganya untuk menjaga paritas nilai tukar.

Artinya, kita harus bersiap akan tiga hal: nilai tukar rupiah yang melemah, tingkat bunga yang tinggi, dan tingkat inflasi yang merangkak naik. Dunia usaha ada dalam tekanan. Di satu sisi, biaya produksi meningkat akibat pelemahan rupiah. Di sisi lain, daya beli juga akan tertekan karena dampak kenaikan harga. Pertumbuhan ekonomi akan melambat pada 2019 dan 2020. Sesuatu yang tak mudah.

Bagaimana Indonesia? Pertama, kita perlu melihat dampak perang dagang ini terhadap perekonomian dunia. Bank OCBC, misalnya, membuat simulasi dengan model kuantitatif. Jika AS menerapkan bea masuk terhadap 250 miliar dollar AS impor dari China, pertumbuhan ekonomi China akan turun 0,5 persen (misalnya dari 6,5 persen menjadi 6 persen). Warwick McKibbin dan Andy Stoeckel dari Australian National University dengan model kuantitatifnya menunjukkan: jika AS menaikkan bea masuk sampai 40 persen, ada risiko resesi global akan terjadi. McKibbin dan Stoeckel menunjukkan bahwa dampak negatif terhadap China akan lebih besar dibandingkan AS, dan kita mulai melihat gejala ini: ekonomi China sudah mulai melambat dan tumbuh 6,5 persen pada triwulan III-2018.

Akuratkah angka-angka tersebut? Saya tak pandai benar meramalkan. Satu hal yang bisa kita simpulkan: perang dagang ini membawa dampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi dunia. Bagaimana Indonesia? Di sini saya ingin melihatnya dengan hati-hati. Dampak dari perang dagang terhadap perekonomian sebuah negara akan terjadi melalui jalur perdagangan. Negara yang memiliki keterkaitan perdagangan yang tinggi dengan perekonomian AS, China, atau perekonomian dunia, akan terdampak secara signifikan.

Di sini kita bisa menduga: dampak perang dagang terhadap Indonesia akan lebih kecil dibandingkan Singapura, Malaysia, Vietnam, atau Thailand. Alasannya? Porsi dari perdagangan Indonesia terhadap produk domestik bruto (PDB) hanya 30 persen. Bandingkan dengan Singapura yang di atas 200 persen, atau Vietnam, Malaysia, dan Thailand yang rasio perdagangannya terhadap PDB lebih dari 100 persen. Namun, itu bukan berarti tak ada dampak bagi ekonomi kita. Mengapa?

Kedua, dampak dari perang dagang pada perekonomian Indonesia akan terjadi melalui keterkaitan perdagangan Indonesia dengan China. Bersama dengan Filipina, Indonesia adalah pemasok penting untuk bahan mentah dan produk antara untuk China. Pengenaan bea masuk terhadap produk China akan membuat permintaan terhadap ekspor produk antara Indonesia ke China juga berkurang. Selain itu, lebih dari 40 persen ekspor Indonesia ke China adalah produk barang tambang, minyak goreng, dan kelapa sawit. Kita tahu, perbaikan ekspor, perbaikan penerimaan pajak dan juga mulai membaiknya konsumsi rumah tangga—dalam triwulan kedua tahun ini—disebabkan membaiknya harga batubara dan kelapa sawit. Pelemahan permintaan terhadap produk-produk di atas akan berpengaruh terhadap ekonomi kita. Selain itu, pelambatan ekonomi China juga memiliki dampak terhadap pelambatan ekonomi Jepang yang pada gilirannya akan berpengaruh terhadap ekspor Indonesia ke Jepang. Pendeknya, ekspor kita juga terkena dampak.

Ketiga, awal bulan ini, AS, Meksiko, dan Kanada membuat perjanjian perdagangan yang dikenal dengan USMCA (United States, Mexico, Canada Agreement). Yang menarik, di dalam perjanjian itu ada klausul 32.10 yang isinya "menghukum" anggota USMCA yang melakukan perjanjian perdagangan dengan negara yang dianggap "non-market economy". Walau tak disebut secara eksplisit, kita bisa menduga, yang dimaksud non-market economy adalah China. Dengan kata lain, ini adalah sebuah usaha AS untuk membuat negara anggota USMCA menghindari perjanjian dagang dengan China. Kalau klausul ini diterapkan oleh AS dalam perjanjian dagang lainnya, saya bisa membayangkan betapa ruwetnya persoalan. Perjanjian RCEP (Regional Comprehensive Economic Partnership) yang digagas Indonesia, misalnya, akan sulit direalisasikan karena mengikutsertakan China.

Keempat, empat tahun terakhir, ekonomi Indonesia tumbuh sekitar 5 persen. Sesuatu yang harus diapresiasi di tengah tantangan ekonomi global. Fokus kebijakan pemerintah pada infrastruktur juga sudah tepat. Namun, kita harus jujur: pertumbuhan ekonomi 5 persen jauh dari cukup. Kita butuh pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat. Kita akan memasuki era "penduduk tua" tahun 2060. Tanpa pertumbuhan tinggi, ada risiko kita menjadi tua, sebelum kaya. Sayangnya, perang dagang akan mengganggu ekspor kita. Di sisi lain, kenaikan bunga, pelemahan rupiah, dan risiko inflasi yang meningkat akan membuat ekonomi domestik tertekan.

Persiapan menghadapi badai

Apa yang bisa dilakukan? Apakah Indonesia tak dapat menarik manfaat dari situasi perang dagang ini? Bukankah ada kemungkinan investor akan meninggalkan China dan masuk ke negara lain, termasuk Indonesia, untuk dapat mengakses pasar AS? Potensi ini ada jika kita melakukan beberapa hal, seperti memperbaiki iklim investasi, terutama di daerah. Selain itu, kita perlu merevisi Undang-Undang (UU) Ketenagakerjaan. Undang-undang yang kaku, dengan sistem pesangon yang relatif tinggi dibandingkan dengan negara-negara lain, membuat investor menghindari sektor padat karya, dan lebih memilih sektor sumber daya alam dan padat modal.

Akibatnya, balas jasa buruh relatif terhadap pemilik modal menurun. Sedikit banyak ini menjelaskan mengapa ketimpangan terjadi. Ini juga salah satu faktor yang menjelaskan mengapa pangsa sektor manufaktur, khususnya padat karya, terhadap PDB terus menurun. Sebaliknya, Vietnam menjadi lebih menarik untuk industri padat karya. Pengusaha kita juga lebih memilih pekerja kontrak dan informal. Siapa mereka? Buruh tak terampil perempuan dan anak-anak. Lalu haruskah buruh dikorbankan? Jawabnya jelas tidak.

Buruh bisa ditolong dengan memperhatikan tingkat upah riil, misalnya dengan membuat biaya hidup mereka menjadi lebih murah. Penyediaan rumah susun dengan harga terjangkau untuk buruh di sekitar pabrik dapat menekan pengeluaran mereka untuk rumah. Persoalannya, beranikah pemerintah merevisi UU ini? Secara politik tidak mudah, apalagi tahun depan kita menghadapi pemilu. Kita masih ingat bagaimana kebijakan kenaikan harga BBM bersubsidi hanya berumur beberapa jam. Revisi UU Ketenagakerjaan sama sensitifnya. Padahal, tanpa perbaikan UU ini, investor mungkin akan memilih Vietnam daripada Indonesia. Alasannya: Vietnam sudah mempersiapkan diri ikut Kemitraan Trans-Pasifik (TPP), yang tentunya sudah memenuhi standar AS—yang awalnya ikut di dalam TPP. Atau mungkin investasi dari China beralih ke Thailand, khususnya industri manufaktur.

Musim dingin, seperti kata Presiden Jokowi, akan datang, bahkan mungkin badai salju. Mungkin akan panjang. Kita harus punya baju hangat, persediaan yang baik dan cukup. Kita harus menjaga ritme, harus irit, agar tak kehabisan stamina. Kita perlu bijak, dan berani memilih di antara pilihan yang sulit. Tak bisa terus datang dengan kebijakan populis. Saya jadi teringat Nigel Lawson, mantan Menteri Keuangan Inggris, yang mengatakan, "To govern is to choose. To appear to be unable to choose is to appear to be unable to govern." Dan Lawson benar.