Sunjaya terpilih sebagai bupati untuk periode kedua dalam Pilkada 2018. Ia ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena dituduh melakukan jual beli jabatan dan juga menerima setoran dari pengusaha. Sunjaya adalah bupati ke-100 yang diproses KPK sejak komisi itu berdiri. Sungguh sangat memalukan dan memprihatinkan.

Wakil Ketua KPK Alexander Marwata (kanan) bersama penyidik menunjukkan barang bukti hasil OTT Bupati Cirebon di kantor KPK, Jakarta, Kamis (25/10/2018). KPK menetapkan Bupati Cirebon Sunjaya Purwadi Sastra dan Sekretaris Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Kabupaten Cirebon Gatot Rachmanto sebagai tersangka suap jual beli jabatan serta terkait proyek dan perizinan di Kabupaten Cirebon dengan mengamankan barang bukti uang senilai Rp385 juta dan bukti transaksi perbankan berupa slip setoran serta transfer senilai Rp6,4 miliar
Rentetan penangkapan oleh KPK terhadap sejumlah kepala daerah tak bisa lagi dipandang sebagai peristiwa biasa. Situasi ini darurat! Korupsi itu memiskinkan. Korupsi itu menghina kemanusiaan. Perlu langkah radikal untuk mengamputasi kepala daerah yang mempunyai kebiasaan menyalahgunakan jabatan untuk meraih keuntungan pribadi. Perlu ada pembenahan sistem pemilu yang memang sangat mahal.
Sistem pemilu membutuhkan kapital untuk menggapai kekuasaan. Setelah kekuasaan diperoleh, kekuasaan itu dimanfaatkan untuk memupuk kembali kapital. Lingkaran itu harus dipotong. Kita mendorong Presiden Joko Widodo mengambil langkah radikal untuk memberantas korupsi di negeri ini. Bahkan, jika perlu, Presiden Jokowi memimpin sendiri pemberantasan korupsi di negeri ini dan menghentikan lingkaran sejarah korupsi di Indonesia. Jejak korupsi Indonesia tertanam dalam sejak zaman kolonial Belanda. Asosiasi dagang Verenigde Oostindische Compagnie (VOC) ambruk karena korupsi.
Dukut Imam Widodo, penulis Soerabaia Tempo Doeloe, menulis, Nicolas Engelhard, Gubernur Pantai Timur Jawa, dalam memorinya pada 15 April 1805 mengakui dirinya menjadi kaya raya karena menerima upeti orang-orang pribumi yang menginginkan jabatan. (Korupsi Mengorupsi Indonesia, 2009). Apa bedanya dengan yang dilakukan Sunjaya?
Penelitian Rimawan Pradiptyo berdasarkan putusan Mahkamah Agung yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap pada kurun waktu 2001-2008 menunjukkan, kerugian negara akibat korupsi mencapai Rp 67,5 triliun. Namun, nilai hukum finansial yang diperintahkan pengadilan hanya Rp 4,76 triliun. Artinya, Rp 62,79 triliun harus ditanggung oleh pajak rakyat. Angka itu hampir sama dengan anggaran untuk desa.
Berdasarkan data dari KPK, dari 781 kasus korupsi yang ditangani, mayoritas (474 kasus) adalah penyuapan. Jadi, fokuslah pada penyuapan dengan memperbaiki sistemnya dan menghukum berat penyuap dan orang yang menerima suap.
Harian ini berulang kali menyuarakan kegemasan pada korupsi. Kita kutip kembali Tajuk Rencana Kompas, 14 September 1965, 53 tahun lalu. "Soal pentjoleng ekonomi sekarang, ramai dibitjarakan lagi. Dibitjarakan lagi, sebab sudah pernah bahkan sering hal itu didjadikan bahan pembitjaraan. Jang ditunggu oleh rakjat sekarang bukanlah 'pembitjaraan lagi' tapi tindakan kongkrit: tangkap mereka, periksa, adili, hukum, gantung, tembak!"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar