Cari Blog Ini

Bidvertiser

Kamis, 25 Oktober 2018

Berpikir Suka-suka//Dampak Buruk Bakar Sampah//Wi-Fi Tak Berfungsi//Penulisan ”IMF-Bank Dunia” (Surat Pembaca Kompas)


Berpikir Suka-suka

Kebohongan yang disebarluaskan Ratna Sarumpaet—yang diakuinya sebagai hoaks terbaik di Indonesia—kemudian disebarkan beberapa tokoh memperlihatkan dengan sangat jelas bahwa ada sesuatu yang telah berlangsung tidak dengan semestinya dalam dunia pendidikan di negeri kita.

Apa yang sebenarnya selama ini diajarkan kepada generasi muda kita melalui pendidikan di sekolah? Kata Albert Einstein, education is not the learning of facts, but training the mind to think. Pendidikan adalah sarana untuk orang belajar berpikir, bukan sekadar tahu sesuatu.

Bukankah orang-orang bijak di masa lalu telah jelas-jelas menyatakan "pikir itu pelita hati" dan "pikir dulu pendapatan, sesal kemudian tak berguna"? Semua itu mengingatkan kita agar jangan gegabah menafsirkan suatu informasi. Cek-ricek secara kritis kebenaran dan ketepatannya!

Apakah kita mau mendewasakan diri kita dan menjadi warga negara yang kompeten dan bertanggung jawab atau akan kita biarkan saja diri kita tetap bodoh, tak berpikir panjang, tak merasa perlu berpikir kritis? Ayo, introspeksi!

Berpikir itu ada aturannya, ada proses, ada langkah-langkah yang harus ditempuh, dan ada tahapannya, bukan suka-suka. Seorang tokoh yang saya kagumi, dalam kesempatan jumpa selintas, menyatakan bahwa prinsip pribadinya sekarang ini adalah "berpikir dulu sebelum berpikir".

Zainoel B Biran
Perumahan Dosen UI Ciputat,
Tangerang Selatan, Banten

Dampak Buruk Bakar Sampah

Kompas edisi 16-17 Oktober 2018 menyoroti ihwal pembakaran aki bekas. Sorotannya baik sekali karena di sana ditunjukkan bahwa dampak buruk pembakaran amat berbahaya.

Sebenarnya hal yang mirip juga terjadi di banyak tempat di Jakarta, bahkan di kawasan lingkungan hunian, pembakaran sampah dilakukan secara rutin setiap hari oleh warga tanpa menyadari dampak buruk yang ditimbulkannya.

Pemerintah harus lebih menyosialisasikan dampak buruk pembakaran sampai ke tingkat kelurahan, RW, dan RT agar warga sadar akan bahaya pembakaran sampah itu.

FOEKY TJOEGITO
Kramat Pela, Kebayoran Baru,
Jakarta Selatan


Wi-Fi Tak Berfungsi

Saya memiliki Bolt portabel nomor 9992956995 atas nama Eko Ruky Hady yang sudah hampir tiga minggu ini tidak bisa digunakan di kawasan rumah saya. Katanya sedang dalam perbaikan jaringan.

Menurut saya, itu sudah terlalu lama karena janjinya perbaikan hanya 3 x 24 jam saja. Saya merasa sangat terganggu karena tidak bisa memanfaatkannya. Saya merasa rugi, tetap membayar kuota yang ternyata tidak dapat saya gunakan.

Ginna Margiana Dewi
Kompleks Menjangan Mas Residence, Pondok Ranji,
Ciputat, Tangerang Selatan 15412

Penulisan "IMF-Bank Dunia"

Pertemuan Tahunan Dana Moneter Internasional-Bank Dunia 2018 selesai. Namun, sangat banyak aspek pembahasan dalam pertemuan itu perlu ditindaklanjuti.

Salah satu aspek berkaitan dengan cara penulisan IMFBank Dunia yang dicetak merah sebagai kategori berita pada harian Kompas menjelang, selama, dan sesudah pertemuan tersebut.

Apakah cara penulisan itu dapat dibenarkan dari segi kaidah berbahasa Indonesia yang baik dan benar, khususnya dalam rangka Bulan Bahasa yang sedang berlangsung sekarang ini? IMF adalah singkatan dari bahasa Inggris, Bank Dunia terjemahan dari World Bank.

Mengapa judul kategori berita tidak ditulis IMF-WB, atau Dana Moneter InternasionalBank Dunia, atau DMI-BD?

Cara penulisan IMF-Bank Dunia sangat mengganggu keindahan berbahasa karena menunjukkan gado-gado dan inkonsistensi logika bahasa. Jika konsisten, penulisan sebaiknya dalam singkatan bahasa Indonesia seperti: DMI-BD.

Mungkinkah Redaksi Kompas merasa kurang keren dengan DMI-BD sehingga memilih cara penulisan IMF-Bank Dunia? Entahlah. Namun, masyarakat pembaca akan mencontoh cara penulisan IMF-Bank Dunia yang disosialisasikan Kompas.

Syukurlah jika cara penulisan itu dapat dibenarkan pakar bahasa Indonesia. Semoga cara penulisan itu memang sah sehingga para pencontoh tidak ikut disalahkan.

Hanya perlu diingat, kesalahan berulang-ulang akhirnya dianggap sebagai kebenaran, seperti halnya ulangan hoaks dapat melekat di hati masyarakat sehingga lama-lama dianggap kebenaran.

Apakah Kompas sengaja memilih "kesalahan" itu sehingga menyebar !kebenaran" cara berbahasa kepada masyarakat pembaca? Semoga tidak.

Wim K Liyono
Kebon Jeruk, Jakarta Barat

Catatan Redaksi:

Terima kasih atas masukan yang Anda sampaikan.

Kompas, 25 Oktober 2018

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger