PYEONGYANG PRESS CORPS/POOL VIA REUTERS

Presiden Korea Selatan Moon Jae-in mengisi botol plastik dengan air dari Danau Surgawi di Gunung Paektu, Korea Utara.

Situasi sulit dan rumit tengah dihadapi Presiden Korea Selatan Moon Jae-in. Inisiatifnya untuk melakukan kerja sama lebih luas dengan Korea Utara ditentang.

Sebagaimana diberitakan harian ini pada Kamis (11/10/2018), Menteri Luar Negeri Korsel Kang Kyung-wha, Rabu silam, menyatakan kepada parlemen, pemerintah mempertimbangkan pencabutan sanksi atas Korut. Rencana pencabutan diarahkan pada sanksi yang diterapkan oleh Korsel sendiri (bukan sanksi internasional), yakni sanksi terkait serangan terhadap kapal militer Korsel yang menyebabkan 46 pelaut tewas, tahun 2010.

Lewat sanksi ini, kapal Korut dilarang masuk pelabuhan Korsel. Sebagian besar pertukaran antara Korsel dan Korut—meliputi pariwisata, perdagangan, dan bantuan kemanusiaan—juga dilarang hingga Pyongyang minta maaf atas insiden tersebut.

Sehari setelah Kang mengeluarkan pernyataan di parlemen, "koreksi" diberikan Menteri Unifikasi Korsel Cho Myoung-gyon. Menurut dia, pemerintah tak pernah mempertimbangkan pencabutan sanksi atas Korut.

Pernyataan Menlu Kang membuat pula Presiden Amerika Serikat Donald Trump angkat bicara. Menurut dia, Korsel memerlukan persetujuan AS untuk mencabut sanksi atas Korut. Ia lantas mengingatkan, sanksi apa pun baru akan dicabut jika Korut mewujudkan denuklirisasi atau Pyongyang mematikan untuk selama-lamanya kemampuan persenjataan nuklirnya.

Rangkaian peristiwa ini menegaskan kembali betapa pelik situasi yang dihadapi Presiden Moon. Di satu sisi, ia tampak sangat erat dengan Pemimpin Korut Kim Jong Un. Sinyal kuat diberikan olehnya kepada Pyongyang bahwa Seoul siap menjalin kerja sama lebih luas. Dalam pertemuan ketiga Moon-Kim bulan lalu, kesepakatan detail dicapai, meliputi kemungkinan perluasan kerja sama ekonomi. Dalam bidang militer, kedua pihak sepakat mengurangi ketegangan di perbatasan. Ranjau dibersihkan dan pengeras suara sebagai alat propaganda dicopot.

Di sisi lain, meski merupakan aktor penting bagi terwujudnya pertemuan bersejarah Trump dan Kim di Singapura pada Juni lalu, Moon tak bisa melepaskan diri dari kerangka besar denuklirisasi yang dibuat AS. Bagi Washington, Korut harus melakukan denuklirisasi terlebih dahulu sebelum sanksi dicabut dan pakta perdamaian yang mengakhiri Perang Korea secara permanen diwujudkan. Menlu AS Mike Pompeo telah menyampaikan keberatan atas kesepakatan Korut-Korsel bulan lalu untuk mengurangi ancaman militer konvensional di antara mereka.

Tekanan terhadap Moon datang pula dari dalam negeri. Kelompok konservatif sangat tidak suka dengan langkah Moon yang dinilai terlalu membuka diri terhadap Kim sehingga membuat Korsel tampak tunduk terhadap Korut.