Ada salah kaprah penggunaan akreditasi perguruan tinggi dalam seleksi calon pegawai negeri sipil terkini.

Untuk calon formasi cum laude, misalnya, hanya diakui jika kelulusan dengan predikat pujian itu berasal dari program studi dan perguruan tinggi (PT) dengan akreditasi A. Penggunaan akreditasi sebagai bagian dan mekanisme seleksi itu sendiri perlu dipertanyakan. Apakah akreditasi sama sebangun dengan mutu? Lebih khusus lagi, apakah mutu yang dicari dari seorang calon pegawai negeri sipil/aparatur sipil negara (CPNS) dapat diprediksi dari akreditasi lembaga asal si calon?

Memelihara ketimpangan

Setidaknya ada tiga alasan mengapa ini bisa disebut salah kaprah. Pertama, penggunaan akreditasi program studi dan PT sebagai alat seleksi pegawai negeri "yang harus bersedia di tempatkan di mana saja di seluruh wilayah Indonesia" sangat tidak sensitif terhadap ketimpangan pembangunan yang masih cukup besar di negeri kita. Sekilas memeriksa direktori hasil akreditasi program studi Badan Akreditasi Nasional PT (BAN-PT) akan terlihat program studi dan PT berakreditasi A masih menumpuk di Jawa dan pusat-pusat pertumbuhan lain.

Dengan seleksi berbasis akreditasi, sejumlah formasi praktis hanya bisa diisi lulusan dari Pulau Jawa. Namun, itu pun untuk wilayah tertentu. Untuk wilayah yang dianggap "tidak menarik", mungkin karena terlalu jauh, perkiraan kualitas hidup relatif yang buruk, atau perbedaan budaya yang dianggap cukup besar, formasi yang ada banyak yang tak terisi.

Jika formasi cum laude di Aceh atau Papua tidak bisa diisi lulusan PT setempat dengan alasan PT atau program studinya tidak berakreditasi A, seberapa besarkah keinginan lulusan dengan predikat kelulusan terpuji dari Jawa bersedia melamar dan ditempatkan di sana? Jangan-jangan nanti setelah lulus justru akan segera mengurus mutasi untuk pindah wilayah kerja, seperti yang banyak terjadi di dunia  aparatur negara selama ini. Dan, sudah menjadi rahasia umum, dari sana biasanya korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) dimulai dan berkembang.

Guna mengatasi ketimpangan ini, harus ada afirmasi untuk memastikan basis yang sama buat semua lulusan PT dari seluruh Indonesia. Akreditasi sebagai penilaian terhadap sistem tentu saja lebih menguntungkan PT yang sudah lebih tua dan berpengalaman, yang umumnya di Jawa atau sejumlah kecil kota besar di Indonesia. Karena garis start-nya tidak sama, seharusnya lulusan PT di luar Jawa mendapat perlakuan sama lewat afirmasi. Jika tidak, inilah model pembangunan Jawa-sentris yang akan terus memelihara ketimpangan.

Kedua, mutu dan kompetensi tidak selalu sama sejajar dengan kualifikasi, apalagi akreditasi. Penggunaan akreditasi, bahkan kualifikasi, mengandung risiko tersingkirnya calon-calon PNS/ASN yang bermutu dan memiliki kompetensi yang diharapkan. Seharusnya basis meritokrasi seperti dalam lelang jabatan eselon I dan II juga perlu dipakai dalam seleksi CPNS. Bahkan, bisa jadi dengan risiko akibat kesalahan yang lebih kecil ketimbang salah pilih pejabat eselon II dengan lingkaran pengaruhnya yang jauh lebih luas, misalnya.

Mengapa Susi Pudjiastuti bisa menjadi menteri tanpa kualifikasi dan akreditasi? Karena kompetensinya. Jadi, bagaimana pemerintah memastikan mendapatkan CPNS dengan kompetensi terbaik jika sebagian besar sangat mungkin telah tersingkir karena alasan kualifikasi dan kini akreditasi?

Sistem ujian berbasis komputer (computer aided test/CAT) untuk tes kemampuan dasar (TKD) yang sudah dijalankan selama ini seharusnya menjadi basis seleksi awal. Sistem ini dianggap cukup berhasil menekan permainan pada berbagai penerimaan pegawai akhir-akhir ini, termasuk penerimaan CPNS.

Jadi, seharusnya, TKD dengan CAT dilakukan untuk semua calon yang melamar tanpa melihat kualifikasi si calon dan akreditasi lembaga tempat si calon pernah belajar. Jika proses ini dilakukan dengan benar, jujur, dan transparan, diharapkan yang terseleksi di proses awal ini adalah yang terbaik. Berdasarkan uji kompetensi ini, kualifikasi dan akreditasi dapat disesuaikan. Mereka yang hasil uji komptensinya tinggi, syarat kualifikasi dan akreditasinya jika perlu dilonggarkan.

Salah kaprah

Ketiga, akreditasi program studi dan perguruan tinggi adalah penilaian terhadap sistem (mutu), bukan  kompetensi mahasiswa dan lulusan. Jadi, akreditasi seharusnya tidak bisa jadi instrumen penilaian kelulusan pribadi. Apakah kelebihan pada sistem sama dengan kelebihan pada individu? Demikian juga, apakah kekurangan pada sistem identik dengan kekurangan pada individu lulusan? Tentu tidak. Buktinya, tidak ada guru besar, dosen, atau staf PT yang mau tunjangan guru besar, sertifikasi dosen, dan tunjangan kinerjanya ditentukan oleh akreditasi PT tempat ia bekerja.

Ini adalah salah kaprah yang sangat besar dalam manajemen mutu terpadu di dunia pendidikan tinggi kita. Akreditasi telah dijadikan alat birokrasi, bahkan alat kekuasaan. Kemristek dan Dikti menggunakannya bukan sebagai basis pembinaan, melainkan cenderung sebagai basis "penghukuman". PT yang akreditasinya rendah tidak mendapat alokasi sebesar PT yang akreditasinya lebih tinggi. Demikian juga rektor sebuah PT kini bisa lebih arogan karena bisa menekan fakultas, pusat studi, dan ketua program studi di lingkungannya lewat diferensiasi anggaran dengan alasan akreditasi.

Mutu yang diharapkan jadi gerakan perubahan dari dalam (internally driven), bahkan menjadi gerakan kebudayaan, kini telah menjadi bagian dari alat birokrasi pendidikan lewat birokratisasi akreditasi. Akibatnya, mutu akan selalu harus dipaksakan dari luar (externally driven) dan karena itu dia hanya menjadi rutinitas kegalauan saat visitasi akreditasi oleh perwakilan otoritas negara.