Rancangan Undang- Undang Pertanahan inisiatif DPR yang mulai dibahas pada 24 September 2018 masuk (lagi) dalam Program Legislasi Nasional 2019. Pemerintah mengusulkan beberapa norma baru dengan mencabut secara tegas 23 pasal dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria.

Pemerintah, diwakili Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), mengajukan daftar isian masalah (DIM) versi November 2017 sebagai bahan pembahasan. Tiga hal dapat dicatat dari usulan pemerintah, yakni (1) penegasan pengaturan untuk menjawab keraguan atau hambatan yang ada, (2) introduksi norma baru, dan (3) pengaturan yang memerlukan koordinasi dengan kementerian/lembaga di luar ATR/BPN.

Beberapa usulan yang termasuk kelompok pertama, misalnya terkait dengan kedudukan hak, hapusnya hak atas tanah, sistem pendaftaran tanah, dan pengadilan pertanahan. Ketentuan yang menyebutkan bahwa hak milik (HM) yang diberikan di atas tanah hak pengelolaan (HPL) untuk perumahan dan transmigrasi berakibat bahwa bagian tanah HPL yang bersangkutan menjadi hapus itu merupakan hal yang positif karena kedudukan HM adalah yang paling "kuat" dan "penuh" jika dibandingkan dengan hak atas tanah lainnya. Lagi pula, HM dan HPL itu tidak dibatasi jangka waktunya.

Penghapusan hak sewa untuk bangunan (HSUB) dapat dipahami karena akan rancu dengan peraturan bahwa hak guna bangunan (HGB) dan hak pakai (HP) dapat diberikan di atas tanah HM. Namun, menggantikan HSUB dengan hak sewa tanah (HST) sebagai salah satu jenis hak atas tanah yang dapat dicatat dalam data pendaftaran tanah justru menimbulkan pertanyaan, yakni (1) apakah perjanjian sewa-menyewa tanah itu menimbulkan suatu hak atas tanah; (2) apa pertimbangan hukumnya bahwa HST perlu dicatat; dan (3) apa akibat hukumnya jika HST tidak dicatat.

Perumusan tentang pencabutan hak atas tanah sebagai salah satu sebab hapusnya hak atas tanah tetapi dengan frasa "dilepas dan dicabut" untuk kepentingan umum menunjukkan adanya kerancuan karena ada perbedaan prinsip antara konsepsi tentang "pelepasan hak" dan "pencabutan hak" dalam konteks perolehan tanah untuk kepentingan umum.

Untuk menjamin kepastian hukum perlu didukung penerapan sistem pendaftaran tanah positif di samping pemberlakuan lembaga rechtsverwerking terkait hilangnya hak untuk menuntut pembatalan sertifikat. Kehati-hatian dalam penentuan jangka waktu mulai berlakunya ketentuan tersebut dan keberadaan lembaga penjamin sertifikat merupakan keniscayaan.

Gagasan pembentukan pengadilan pertanahan perlu mempertimbangkan kompetensi absolut peradilan khusus itu dan dukungan sumber daya manusia yang menguasai hukum pertanahan yang multiaspek. Namun, pengaturan tentang pengadilan pertanahan dalam RUUP itu tidak tepat karena pembentukan badan peradilan khusus itu harus diatur dengan undang-undang tersendiri seperti halnya UU tentang Pengadilan HAM, Pajak, Tipikor, Niaga, dan Agama.

Norma baru RUUP

Sebagai dampak perubahan rencana tata ruang, diperkenalkan lembaga insentif dan disinsentif yang berbeda dengan konsepsi yang dirumuskan dalam UU No 26 Tahun 2007 tentang Penataaan Ruang (UUPR). Pada prinsipnya, insentif diberikan untuk kegiatan yang sejalan dengan rencana tata ruang, sedangkan disinsentif diberikan untuk mengurangi kegiatan yang tidak sejalan dengan rencana tata ruang.

Usulan pemerintah jika terjadi perubahan rencana tata ruang, maka (1) diberikan insentif berupa ganti kerugian jika perubahan itu berdampak terhadap pemanfaatan tanah dari yang bersifat produktif menjadi non-budidaya, misalnya dari areal penggunaan lain menjadi kawasan lindung; (2) diberikan disinsentif jika berdampak terhadap perubahan pemanfaatan tanah yang justru memberikan nilai tambah, misalnya dari perdesaan menjadi perkotaan, yakni 50 persen dari luasan yang berubah pemanfaatannya itu wajib diserahkan kepada pemerintah dengan diberikan ganti kerugian.

Di samping perhitungan ganti kerugian yang adil, pemanfaatan tanah yang diserahkan kepada pemerintah itu harus ditegaskan penggunaannya, terutama diperuntukkan bagi program Reforma Agraria (RA).

Usulan norma baru yang berpotensi terhadap ketidakpastian hukum, yang pertama terkait dengan pengaturan HPL. Dalam rumusannya, di satu bagian HPL diindikasikan sebagai "fungsi" publik, tetapi di bagian lain lebih dikesankan sebagai hak atas tanah. Subyek HPL dikelompokkan menjadi dua, yakni (1) pemerintah dan pemda serta (2) Bank Tanah, Badan Layanan Umum (BLU), BUMN/ BUMD, dan BHMN/BHMND.

Secara eksplisit, tanah HPL kelompok subyek yang kedua dapat dikerjasamakan dengan pihak ketiga. Hak atas tanah yang diberikan di atas tanah HPL itu dapat dialihkan, dibebani dengan hak tanggungan, dan dapat diperpanjang atau diperbarui dengan persetujuan tertulis pemegang HPL. Bagi kelompok subyek HPL yang pertama, hanya disebutkan bahwa pemberian HPL itu adalah untuk pelaksanaan tugas dan fungsi.

Dalam kenyataannya, bagian tanah HPL pemerintah/pemda juga dapat dimanfaatkan pihak ketiga sesuai dengan UU No 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan Peraturan Pemerintah (PP) No 27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah (BMN/BMND). Lebih lanjut disebutkan bahwa HPL dapat dilepaskan atau dialihkan dengan cara tukar bangun. Di sini tampak kerancuan pengaturan HPL. Jika beraspek publik, HPL harus dilepaskan agar tanahnya dapat diberikan dengan sesuatu hak kepada pihak lain. Jika HPL dialihkan secara langsung, terkesan bahwa HPL dianggap sebagai hak atas tanah.

Seyogianya prosedur yang dirumuskan sebagai "peralihan" itu dapat ditempuh melalui pelepasan HPL dengan tujuan tertentu, yakni untuk diberikan kepada pihak yang telah bersedia menukar bagian tanah HPL itu dengan bangunan. Untuk pertama kali, HGU dapat diberikan di atas tanah HPL. Ketentuan ini perlu disinkronkan dengan peraturan terkait pencatatan aset untuk mencegah kerancuan jika di atas bidang tanah HPL diberikan HGU yang masing-masing merupakan aset dari pemegang hak yang sama.

Kedua, pengaturan tentang hak ulayat. Pengukuhan hak ulayat dalam perda dilakukan setelah ditetapkan batas wilayah dan dipetakan secara kadastral (sesuai dengan batas-batas tanah yang ditentukan oleh badan pencatat tanah milik). Untuk mencegah kesalahpahaman, seyogianya ditegaskan bahwa yang memerlukan pengukuhan itu adalah hak ulayat yang beraspek publik dan privat, dan bahwa pada intinya setiap perda harus dilampiri dengan peta wilayah. Dalam kenyataannya, hampir semua perda belum dilengkapi dengan pemetaan wilayahnya sehingga terhadap perda yang sudah ada itu perlu diprioritaskan pemetaan wilayahnya.

Jika dalam RUUP dirumuskan bahwa pengukuhan dilakukan dalam perda, bagaimana dengan pengukuhan hak ulayat yang telah banyak dilakukan melalui keputusan gubernur atau bupati? Lebih lanjut, perumusan bahwa di atas tanah ulayat dapat diberikan HM dan HPL itu perlu dicermati. Di atas tanah ulayat yang beraspek privat belaka itu dapat diterbitkan sertifikat atas hak kepemilikan bersama.

Namun, menjadi janggal jika kepada masyarakat hukum adat (MHA) diberikan HPL. Di satu pihak, sesuai dengan Pasal 2 UUPA dan Penjelasan Umum II.2, tanah ulayat itu merupakan entitas tersendiri, di samping tanah negara dan tanah hak. Di lain pihak, HPL itu terjadi karena konversi atau pemberian di atas tanah negara.

MHA itu bukan subyek HPL dan dalam Pasal 8 Ayat (1) juncto Pasal 10 RUUP disebutkan bahwa HM, HGU, HGB, dan HP dapat diberikan di atas tanah ulayat secara langsung dengan kesepakatan antara MHA dan pihak ketiga melalui perjanjian tertulis. Bahkan, lebih lanjut dalam Pasal 41 Ayat (5)c ditegaskan bahwa PNBP menjadi hak MHA jika di atas tanah ulayatnya diberikan suatu hak atas tanah. Inkonsistensi terjadi lagi ketika dalam Pasal 24 Ayat (4) disebutkan bahwa jika HGU akan diberikan di atas tanah ulayat, maka tanah ulayat harus berstatus HPL terlebih dahulu, sedangkan dalam Pasal 10 disebutkan bahwa HGU dapat diberikan di atas tanah ulayat secara langsung.

Ketiga, pengaturan tentang HGU, HGB dan HP. HGU diberikan untuk jangka 35 tahun, dapat diperpanjang untuk 25 tahun dan diperbarui selama 35 tahun. Klausul bahwa untuk kebutuhan tertentu menteri dapat menambah jangka waktu HGU itu perlu dipertimbangkan kembali untuk menjamin kepastian hukum. Dengan alasan untuk menarik investor dan meningkatkan ekonomi sektor pertanahan dan perumahan, untuk pertama kali, warga negara asing (WNA) dapat menjadi subyek HGB untuk pemilikan rumah tempat tinggal/hunian berupa apartemen. Usulan ini tampaknya diambil sebagai jalan keluar dari hambatan pemilikan tanah-bersama dalam konsepsi tentang rumah susun (rusun) yang tidak membuka kemungkinan bagi WNA untuk memiliki apartemen jika rumah susun berdiri di atas tanah HGB.

Hal ini sekaligus merupakan upaya untuk membatalkan berlakunya Peraturan Menteri ATR/Kepala BPN (Permen ATR/ Kepala BPN) No 29 Tahun 2016 yang salah kaprah. Secara a contrario, jika penggunaannya di luar hunian berupa satuan rumah susun (sarusun), maka WNA bukanlah subyek HGB. Tampaknya pemilikan sarusun bagi WNA itu memperoleh perlakuan khusus. Disebutkan bahwa jangka waktu HGB adalah 25 tahun, dapat diperpanjang selama 20 tahun dan diperbarui untuk 25 tahun.

Ketentuan ini juga berlaku terhadap HGB yang diberikan di atas tanah HM. Akan tetapi, untuk rusun jangka waktu diberikan untuk 30 tahun, dapat diperpanjang selama 20 tahun dan diperbarui selama 40 tahun {Pasal 30 Ayat (3) dan (5)}. Hak pakai diberikan untuk jangka 30 tahun, dapat diperpanjang selama 20 tahun dan diperbarui untuk 30 tahun. Perumusan Pasal 34 Ayat (2) bahwa WNA dapat diberikan HP untuk rumah tempat tinggal/hunian, baik berupa rumah tunggal maupun rusun itu membingungkan, karena bagi WNA terbuka kemungkinan untuk memilih berlakunya Pasal 29 Ayat (2) juncto Pasal 30 Ayat (3) dan (5) yang jelas lebih "menguntungkan" ketika berniat memiliki apartemen. Di samping itu, apa pertimbangan hukumnya bahwa untuk pemilikan rumah tunggal kepada WNA diberikan HP?

Di luar inkonsistensi terhadap tiga hal tersebut, terdapat rumusan tentang batas maksimum penguasaan dan pemilikan tanah {Pasal 13 Ayat (1)}. Namun, dalam Pasal 13 Ayat (2) dibuka kemungkinan untuk membuat pengecualian dari ketentuan batas maksimum tersebut. Pengecualian itu harus dirinci lebih lanjut sedemikian rupa sehingga tidak membuka ruang tafsir yang lebih luas.

Kesan "maju-mundur" juga tampak dalam Pasal 13 Ayat (4) yang menyebutkan bahwa jika pemilikan dan penguasaan tanah melampaui batas, terbuka alternatif untuk melepaskan kelebihan tanahnya atau membayar pajak progresif. Pertanyaannya adalah apa yang menjadi landasan filosofis pembatasan pemilikan dan penguasaan tanah itu? Apakah alternatif itu berlaku untuk semua jenis penguasaan dan pemilikan tanah? Bagaimana menerapkan asas "ekonomi yang berkeadilan" dalam ketentuan yang membuka alternatif ini?

Terhadap jenis penguasaan dan pemilikan tanah yang rentan terhadap ketimpangan akses dalam perolehan dan pemanfaatan tanah yang sering kali berujung pada konflik/sengketa, khususnya berkenaan dengan tanah HGU, seyogianya diterapkan ketentuan untuk melepaskan kelebihan maksimum tanahnya. Rasanya tidak adil jika pemegang hak diperbolehkan membayar pajak progresif, sedangkan untuk pemilikan dan penguasaan tanah pertanian yang melampaui batas maksimum dikenai ketentuan untuk melepaskan tanah kelebihan maksimumnya sesuai dengan ketentuan tentang landreform. Perlu juga diingat bahwa Peraturan Presiden (Perpres) No 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria menyebutkan bahwa tanah kelebihan maksimum itu merupakan salah satu obyek RA yang dapat diredistribusikan kepada penerima yang memenuhi syarat.

Reaktif vs proaktif

Dua hal perlu dicatat terkait kewenangan antarsektor. Pertama, Pasal 51 menyebutkan bahwa obyek pendaftaran tanah meliputi semua bidang tanah dan kawasan. Berdasarkan statusnya, yang didaftar itu adalah tanah negara, tanah hak, dan tanah ulayat yang beraspek publik sekaligus privat sesuai dengan Permenag/KaBPN No 5 Tahun 1999. Pengertian "didaftarkan" itu merupakan suatu proses yang tidak selalu berujung pada terbitnya sertifikat hak atas tanah. Pendaftaran tanah negara, yakni tanah yang tidak dilekati dengan suatu hak atas tanah, dilakukan dengan cara membubuhkan bidang tanah tersebut dalam daftar tanah.

Terhadap tanah negara tidak disediakan buku tanah dan oleh karena itu tidak diterbitkan sertifikatnya. Dengan demikian, jika suatu kawasan didaftarkan, itu didaftar sebagai tanah negara. Oleh karena itu, terhadap tanah yang berada dalam kawasan, tidak perlu diberikan HP atau HPL. Pendaftaran bidang tanah dan kawasan dilakukan untuk memberikan kepastian hukum. Kedua, ketika Pasal 3 menyebutkan bahwa Presiden merupakan pelaksana kewenangan hak menguasai negara atas tanah dan kawasan di seluruh wilayah RI dan bahwa kewenangan tersebut dapat didelegasikan kepada menteri yang menyelenggarakan urusan di bidang agraria/pertanahan dan tata ruang, hal ini seyogianya dimaknai sebagai norma umum sesuai dengan Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945.

Dalam kenyataannya, kewenangan menteri terbatas pada tujuh bidang sesuai peraturan perundangan yang berlaku. Dengan demikian, kewenangan pengelolaan, penataan, pengendalian, termasuk pemberian izin di atas tanah negara pada kawasan tersebut, ada pada menteri sektor terkait. Perubahan UUPA dapat dilakukan sepanjang politik hukum pertanahannya tetap ditujukan pada terwujudnya amanat Pasal 33 Ayat (3) UU 1945, terutama terkait dengan frasa "sebesar-besar kemakmuran rakyat", yakni bahwa kemakmuran masyarakat yang diutamakan dan bukan kemakmuran orang seorang. Mengingat bahwa hukum itu merupakan suatu sistem, usulan norma baru seyogianya didukung dengan naskah kebijakan yang komprehensif sehingga distorsi, kontestasi, dan reduksi norma dapat dihindari.