Baiq Nuril adalah seorang guru di sebuah sekolah menengah di Mataram. Ia dipecat dari status sebagai tenaga honorer. Mahkamah Agung bahkan menghukum 6 bulan penjara dan harus membayar  denda Rp 500 juta subsider 3 bulan kurungan.

Jika denda tidak dibayar, Baiq Nuril harus menggantinya dengan mendekam 9 bulan di penjara untuk tuduhan pidana yang tak dia lakukan. Dari perspektif perempuan ini adalah sebuah konspirasi para penegak hukum dengan sistem hukum yang tidak adil jender serta Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang tidak demokratis.

Masyarakat terkesima atas putusan ini, rasa keadilan terusik. Apalagi jika dibandingkan dengan hukuman yang dijatuhkan kepada para koruptor kakap ataupun teri, yang derajat kejahatannya luar biasa.

Yang juga mengusik nurani, Baiq Nuril adalah korban pelecehan seksual. Untuk itulah pada 2012 dia merekam percakapan dengan atasannya. Sebagai cara membela diri dan jaga-jaga jika ada gosip tentangnya karena ia kerap ditelepon oleh atasannya.

Dia sadar betul, suara korban sering diabaikan  dalam sistem sosial dan hukum yang maskulin sehingga akhirnya korban dikorbankan kembali (victimize the victims). Tujuannya menjaga dan menegakkan kepentingan masyarakat patriarki, di mana dominasi laki-laki atas hidup perempuan begitu kuat. Tak dinyana, rekaman tersebut disebarkan rekannya, yang kebetulan memperbaiki HP-nya dan menemukan rekaman tersebut.

Bulan Maret 2017, Baiq Nuril resmi menjadi tersangka. Ia dituduh melakukan perbuatan pidana mentransmisikan rekaman elektronik yang bermuatan kesusilaan. Hal itu diatur dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) Pasal 27 Ayat (1) juncto Pasal 45 Ayat (1) dengan ancaman pidana penjara paling lama 6 tahun dan denda paling banyak Rp 1 miliar.

Sejak saat itu Baiq Nuril ditahan. PN Mataram mengatakan, Baiq Nuril tidak bersalah. Maka,   PN Mataram membebaskan Baiq Nuril dari segala tuduhan. Bukan dia yang menyebarkan rekaman itu, melainkan rekannya.

Atas putusan itu, jaksa mengajukan kasasi.  Akhirnya, MA mengabulkan kasasi jaksa  dan menghukum Baiq Nuril sesuai dengan surat tuntutannya. Sementara penyebar rekaman itu tak pernah dituntut dan kepala sekolah yang diduga melakukan pelecehan seksual terhadapnya malah memperoleh promosi jabatan.

Tindakan polisi, jaksa, hakim, dan atasan kepala sekolah jelas merupakan bentuk konspirasi maskulinitas: menunjukkan kejagoan para penegak hukum yang diterapkan kepada Baiq Nuril.

Hingga saat ini, UU ITE telah memakan korban kurang lebih 381 orang, yang menurut beberapa ahli dan aktivis sering juga atas peradilan yang sesat.

Dalam kasus Baiq Nuril, tampaklah bagaimana mereka saling melindungi kepentingan dan maskulinitasnya dengan menindas kedirian dan eksistensi perempuan. Sesungguhnya penghukuman terhadap Baiq Nuril adalah upaya pembungkaman dan penghinaan terhadap semua perempuan yang mencoba melawan segala bentuk diskriminasi dan  kekerasan yang selama ini mencengkeram perempuan.

Relasi yang timpang

Masalahnya juga, dalam KUHP yang kita warisi dari pemerintah kolonial Belanda, tidak ditemukan istilah pelecehan seksual. Yang digunakan adalah istilah perbuatan cabul, tetapi KUHP juga tidak memberikan definisi tentang makna kata itu.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), perbuatan cabul diartikan sebagai  perbuatan keji dan kotor, tidak senonoh (melanggar kesusilaan dan kesopanan). Jauh sebelumnya, para ahli hukum memaknainya sebagai  perbuatan keji dan tak senonoh dalam hubungan perkelaminan.

Jika mengacu pada istilah sexual harassment, yang pada hakikatnya melarang pemberian perhatian yang tidak diinginkan (unwanted attention) kepada orang-orang yang mempunyai relasi kuasa timpang dengan pelaku, perbuatan pelecehan seksual  dapat dicari padanannya dalam Pasal 294 KUHP. Pasal ini mengancam hukuman 7 tahun penjara bagi para orangtua yang melakukan perbuatan cabul kepada anaknya, anak tirinya, anak angkatnya, atau anak-anak dalam pengawasannya. Selain itu, Pasal 294 Ayat 2 juga menghukum pengurus, dokter, guru, pegawai, pengawas atau pesuruh dalam penjara, tempat bekerja milik negara, tempat pendidikan, rumah piatu, rumah sakit gila, dan lembaga sosial yang melakukan perbuatan cabul terhadap orang yang dimasukkan ke dalamnya. Dari ketentuan  Pasal 294 KUHP, unsur utama kejahatannya adalah karena adanya relasi kuasa yang timpang itu.

Istilah pelecehan seksual dipopulerkan dalam seminar  yang diselenggarakan LBH Jakarta dan Kalyanamitra pada 1992.  Sebagai penyelenggara, saya dan Dr Syarifah Sabaroedin, dosen kriminologi FISIP UI, mencari padanan yang tepat untuk istilah sexual harassment yang sedang heboh di media massa pada waktu itu terkait pencalonan Clarence Thomas sebagai Hakim Agung Amerika Serikat.

Beberapa media  menggunakan istilah perundungan seksual, tetapi memperhatikan  unsur perbuatan yang  menghinakan perempuan dengan cara-cara tidak senonoh dan keinginan pelaku mendapat perhatian atau layanan seksual dari korban, ditemukanlah kata pelecehan seksual, sebagai padanan dari sexual harassment.

Pencalonan Clarence Thomas sebagai Hakim Agung telah ditentang Anita Hill, seorang pengacara dan profesor hukum di Brandeis University. Anita  mengaku di muka publik  bahwa dirinya pernah dilecehkan Clarence Thomas, yang saat itu merupakan atasan Anita dalam  Komisi Kesempatan Bekerja yang Sama (Equal Employment Opportunity Commission). Padahal, karakter seorang calon adalah uji publik pertama dan utama agar dapat menjalani tes pada tahap selanjutnya.

Hal yang sama terjadi juga saat pencalonan Brett Kavanaugh  sebagai Hakim Agung oleh Presiden Donald Trump. Pencalonan ditentang Christine Blasey Ford,  yang mengaku mengalami kekerasan  seksual (perkosaan) oleh Brett Kavanaugh.

Mengenai hal itu, Anita juga menulis opini di New York Times. Iintinya menyatakan bahwa kasus Brett Kavanaugh paralel dengan kasus Clarence Thomas dan masyarakat AS tidak belajar dari kesalahan hampir 30 tahun lalu itu. Promosi oleh Presiden George Bush dan Trump tetap dilakukan. Keduanya kini dalam satu kelompok sebagai Hakim Agung.

Ada pelajaran baik

Bagi kita, sesungguhnya ada pelajaran yang baik yang pernah dilakukan oleh Majelis Kode Etik DPR periode 2004-2009. Seorang anggota DPR  yang melakukan pelecehan seksual, bahkan perkosaan terhadap sekretarisnya, di ruang kerjanya telah dipecat.  Sayang kasus pidana dan perdatanya tidak berlanjut juga karena polisi kesulitan menghadirkan alat bukti yang diperlukan.

Perjuangan melawan kekerasan seksual adalah perjuangan global. Gerakan MeToo juga berhasil membongkar beberapa kasus yang lama terpendam karena kuatnya tembok patriarki dan budaya maskulin serta pembisuan yang menyertainya. Akibatnya, para lelaki seperti merasa punya hak untuk melakukan kekerasan dan pelecehan seksual terhadap perempuan karena secara kultural perempuan ditempatkan sebagai obyek seksual.

Bahkan, kekerasan simbolik seakan berada di urat nadi perempuan sendiri sehingga tidak menyadari adanya kekerasan yang melingkari hidupnya. Patut diduga bahwa publik Indonesia tidak memahami apa yang dimaksud dengan perhatian yang tidak diinginkan itu.

Pengakuan perempuan korban sering kali tidak dipercaya, bahkan dianggap mengada-ada. Hal ini terbukti dari pengalaman banyak perempuan yang menolak perhatian yang tak diinginkan, tetapi malah digunjingkan sebagai sombong, tak tahu diri, sok cantik. Kalau perempuan itu berstatus tidak kawin atau janda, hinaan terhadapnya semakin menjadi-jadi.

Padahal, penolakan semacam itu adalah hak perempuan. Dalam kondisi apa pun, integritas tubuh, jiwa, dan seksualitas perempuan haruslah dihormati dan haram hukumnya apabila menyentuh atau mengomentarinya.

Alat bukti

Dalam proses hukum,  situasinya lebih rumit lagi. Polisi atau jaksa harus menyediakan dua alat bukti jika menuduh seseorang dengan pasal pelecehan seksual. Hal yang sangat mustahil dimiliki korban mengingat segala bentuk kekerasan seksual sering dilakukan di tempat sunyi dan tersembunyi. Apalagi dalam kasus-kasus di atas, pelaku melakukan lewat telepon.

Beruntung saat ini telepon genggam sudah begitu canggih sehingga percakapan bisa langsung terekam. Namun, UU ITE dapat menjerat kaum perempuan jika sampai bercerita kepada teman atau melaporkan kasusnya ke penegak hukum.

Oleh karena itu, beberapa waktu lalu Mahkamah Agung mengeluarkan Perma Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perempuan yang Berhadapan dengan Hukum, termasuk jika perempuan melakukan perbuatan pidana. Perma ini adalah hasil perjuangan para akademisi dan kelompok perempuan karena sikap dan pertimbangan-pertimbangan hukum pengadilan  yang sering mengabaikan kepentingan perempuan.

Secara eksplisit, Pasal 3 Perma juga menyatakan bahwa hakim wajib mengidentifikasi situasi perlakuan tidak setara yang diterima perempuan yang berhadapan dengan hukum. Namun, tampaknya hal tersebut tidak dilakukan dan atau para hakim agung yang memeriksa perkara Baiq Nuril   tidak memiliki kepekaan dan perspektif jender.

Sudah saatnya Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak menyusun rencana aksi nasional untuk meningkatkan perspektif jender para penegak hukum dan pekerja sosial, termasuk para ahli jiwa  yang memberikan layanan pemulihan  kepada korban.

Sudah saatnya pula pemerintah melaksanakan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 7/1984 tentang Ratifikasi Konvensi PBB tentang Penghapusan Diskriminasi Perempuan, yakni untuk menghapus segala bentuk pembakuan peran yang berasal dari budaya  dan tafsir agama yang mendiskriminasikan perempuan. DPR juga dituntut segera membahas dan mengesahkan  RUU Penghapusan  Kekerasan Seksual yang sudah lama diusulkan.

Sebuah konspirasi maskulinitas, baik dari para penegak hukum maupun  dalam keseluruhan sistem hukum dan sosial harus segera diakhiri agar peradaban yang menghormati perempuan tak berhenti sebagai matra.