Kiranya ada dua akibat yang paling penting meski bertentangan satu sama lain yang perlu diikuti dengan saksama sampai Pilpres 2020.  Pada waktu itu, Trump hampir pasti akan dicalonkan kembali untuk masa jabatan kedua.

Hal pertama ialah kemenangan Partai Demokrat di House of Representatives, Dewan Perwakilan.  Sejak Januari 2017, selain jabatan presiden, dua badan legislatif nasional, Senat dan Dewan Perwakilan, juga dikuasai Partai Republik.

Dalam sistem demokrasi AS, dampak positif kekuasaan mutlak seperti itu adalah bahwa partai yang berkuasa lebih mampu memenuhi janji-janji kampanyenya.  Ketentuan itu amat mendasar dalam setiap negara demokratis. Contohnya tatkala Partai Demokrat berkuasa penuh pada 2009-2011, Presiden Barack Obama bersama mayoritas Demokrat di Senat dan Dewan Perwakilan sempat meloloskan "Obamacare" atau Affordable Care Act, Undang-Undang Layanan Kesehatan Terjangkau yang sudah berpuluh tahun dijanjikan partainya.

Namun, ada juga segi negatifnya, terlebih-lebih dalam sis- tem presidensial dengan dua partai besar seperti AS.  Legislative oversight, pengawasan legislatif, lebih sulit dilakukan karena setiap partai yang berkuasa penuh enggan mengawasi atau menyalahkan pemerintahannya sendiri.  Untuk itu, diperlukan partai oposisi yang menguasai setidaknya satu badan legislatif.

Mendesak sekali

Dari awal pemerintahan Trump, kebutuhan untuk pengawasan terasa mendesak sekali, tentu oleh Demokrat yang kalah, juga para "Never Trumpers," tokoh Republik yang mengaku akan menolak Trump untuk selama-lamanya.

Mereka meragukan beberapa janji kampanyenya tentang kebijakan yang bertentangan dengan prinsip-prinsip partainya sendiri, terutama mengenai imigrasi, perdagangan, dan kerja sama dengan sekutu di Eropa dan Asia.  Yang lebih mencurigakan: kapabilitas administratifnya, kesetiaannya kepada Konstitusi, serta kejujuran dan kewarasannya.

Apa yang bisa diharapkan dari Dewan Perwakilan setelah pemilu paruh waktu?  Dugaan saya, para ketua panitia yang bersangkutan, seperti Intelijen, Keuangan, Luar Negeri, dan Keadilan, kini semua Demokrat, akan berfokus pada kegiatan Trump memperkaya dirinya sendiri dan keluarganya.

Trump adalah presiden pertama sejak Richard Nixon pada 1970-an yang tak mengumumkan rekor pembayaran pajak pendapatannya. Seandainya rekor itu terungkap, kemungkinan besar masyarakat akan mengetahui banyak perihal hubungan Trump dengan Rusia.  Hubungan itu selama ini jadi misteri paling besar dalam pemerintahannya dan mencemaskan semua patriot.

Lagi pula, mungkin sekali hubungan Trump dengan Indonesia, melalui Pemerintah China, tak akan terluput dari investigasi ini.  Pada 15 Mei 2018, The New York Times melaporkan bahwa Organisasi Trump telah menandatangani persetujuan dengan suatu perusahaan negara China untuk membangun sebuah theme park, taman hiburan bertema, di Lido, Jawa Barat.  Persetujuan itu ditengarai melanggar Emoluments Clause, Klausa Pembayaran, dalam Konstitusi AS yang "melarang para pejabat negara menerima pembayaran dari pemerintah asing".

Hal kedua perihal pemilu paruh waktu yang akan berdampak besar pada dua tahun ke depan adalah keberhasilan Trump memobilisasi basisnya.  Blue wave, gelombang biru, yang digerakkan kaum Demokrat betul-betul mengalir, seperti kita lihat dengan kemenangan di Dewan Perwakilan. Namun, derasnya dibatasi oleh red wall, tembok merah, yang didirikan Trump beserta sejumlah pemimpin Partai Republik-nya.

Apakah tembok merah itu masih bisa bertahan sampai Pilpres 2020?  Tentu banyak faktor yang akan memainkan peran, termasuk tingkat kekuatan ekonomi nasional dan kampanye calon presiden Partai Demokrat kelak.  Juga laporan dari special counsel, Jaksa Khusus Robert Mueller, yang diangkat tahun lalu oleh Departemen Keadilan untuk menyelidiki hubungan antara capres Trump dan pemerintahan Rusia pada 2016.  Laporan itu bisa diserahkan setiap waktu.

Masih disokong

Akan tetapi, pelajaran utama dari pemilu paruh waktu bagi saya adalah bahwa Trump masih disokong terus secara antusias oleh sejumlah besar pemilihnya.  Tentu sebagian dari orang itu adalah partisan Republik biasa, yang selalu memilih siapa pun yang dicalonkan partainya.  Namun, kelompok yang bergairah adalah laki-laki putih dari perdesaan yang selama ini merasa dipinggirkan secara kultural dan politik oleh elite perkotaan, baik Republik maupun Demokrat.

Mereka mulai tertarik kepada Trump pada 2011, jauh sebelum kampanye presidensialnya ketika dia menyebarkan fitnah "birther" bahwa Barack Obama lahir di Kenya, bukan Amerika, jadi tidak sah selaku presiden.  Mereka masih bersorak pada akhir kampanye tahun ini karena Trump mengirim 5.000 prajurit ke perbatasan Meksiko untuk melawan suatu "invasi" yang terdiri atas imigran yang melarikan diri dari kemiskinan dan kekerasan di Honduras.

Saking pintarnya sebagai demagog, pada 2020 pasti akan ada isu palsu baru yang dinyalakannya.  Terus terang, saya belum yakin bahwa masyarakat pemilih waktu itu sudah cukup sadar untuk mengalahkannya.