Konklusi di atas mungkin terlalu jauh, tetapi bukan tidak mungkin terjadi mengingat gerakan Pangeran Mohammed bin Salman alias MBS dinilai cukup radikal. Dialah yang berada di balik penangkapan puluhan pangeran pada November 2017 dan beberapa ulama yang tidak mendukung upaya pembaruannya, serta terakhir dikaitkan dengan tewasnya wartawan Jamal Khashoggi di Konsulat Arab Saudi di Istanbul, 2 Oktober lalu.

Pada November 2017, Pangeran Waleed bin Talal adalah salah seorang yang ikut dipenjara MBS. Namun, sekarang MBS menjadikan Pangeran Waleed sebagai andalan untuk memperbaiki reputasi Arab Saudi, khususnya terkait Visi Arab Saudi 2030.

Pascakasus terbunuhnya Khashoggi, kepercayaan pebisnis dan investor asing untuk berbisnis ataupun berinvestasi di negeri itu menurun. Ketidakhadiran sejumlah tokoh penting pebisnis, pejabat, dan eksekutif, termasuk Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional Christine Lagarde, pada konferensi investasi di Riyadh, 23-24 Oktober lalu, menjadi salah satu indikasi rendahnya kepercayaan itu. Padahal, konferensi itu adalah bagian tak terpisahkan dari implementasi Visi 2030 itu.

Bagi MBS, Visi Arab Saudi 2030 ibarat magnum opus baginya, sekaligus penentu masa depan Arab Saudi. Visi itu diyakini akan mengantarkan transformasi Saudi untuk tak lagi mengandalkan minyak sebagai sumber pendapatan negara, tetapi tetap menjadi negara berpengaruh kuat, terutama di kawasan. Jika visi tersebut gagal, terlalu besar harga yang harus dibayar Arab Saudi.

Dugaan keterlibatan MBS pada pembunuhan Khashoggi membuat semua upayanya mereformasi Arab Saudi menghadapi hambatan besar. Badan Pusat Intelijen AS (CIA) menduga MBS berada di balik pembunuhan Khashoggi, tetapi Presiden AS Donald Trump mengeluarkan dukungan terhadap MBS. Trump mengulangi klaim Saudi bahwa jurnalis yang terbunuh adalah "musuh negara". Ia juga menyatakan, "tidak ada yang pasti" yang menghubungkan MBS dengan pembunuhan Khashoggi.

Di tengah dukungan Trump, muncul desas-desus bahwa sebagian elite keluarga Al-Saud berusaha mencegah MBS naik takhta menggantikan Raja Salman bin Abdulaziz al-Saud kelak. Kompas edisi Rabu (21/11/2018) menulis, sejumlah pangeran mendiskusikan kemungkinan Pangeran Ahmed bin Abdulaziz (76), adik Raja Salman, bisa naik takhta. Sejumlah pangeran itu mengklaim telah mendapat dukungan anggota keluarga besar Al-Saud lainnya, lembaga keamanan, dan Barat. Pangeran Ahmed baru kembali ke Riyadh, 30 Oktober 2018, setelah beberapa bulan mengasingkan diri ke London.