Duka pekat akibat musibah pesawat Lion Air PK-LQP tidak hanya membekap Karawang di Jawa Barat dan Tanjung Pinang. Tragedi pesawat dengan total penumpang dan awak 189 orang itu merupakan duka mendalam bagi bangsa Indonesia. Musibah itu menambah panjang catatan Indonesia sebagai negara dengan kecelakaan fatal penerbangan tertinggi di Asia.
Sebagaimana diberitakan Kompas pada Kamis (1/11/2018), pesawat dengan nomor penerbangan JT-610 rute Jakarta-Pangkal Pinang, yang terbang dari Cengkareng, Senin (29/10/2018), pukul 06.20, itu jatuh di perairan Karawang setelah 13 menit mengudara. Indonesia pun berkabung.
Aviation Safety Network mencatat, antara 1945 dan 2018 terjadi 99 kecelakaan fatal pesawat komersial di Indonesia. Total korban jiwa akibat kecelakaan fatal itu 2.224 orang. India di posisi kedua terbanyak dengan 93 kecelakaan fatal dan menelan 2.329 korban jiwa, menyusul China di posisi ketiga dengan 75 kecelakaan dan 1.774 orang tewas.
Harian ini juga mencatat, penyebab utama kecelakaan penerbangan di Indonesia adalah faktor kesalahan manusia. Data Komisi Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) tahun 2010-2016 menunjukkan, kecelakaan penerbangan akibat faktor manusia mencapai 67,1 persen. Selebihnya disebabkan faktor teknis, lingkungan, dan fasilitas penerbangan.
Adalah tidak adil jika kecelakaan penerbangan akibat faktor manusia itu sepenuhnya ditimpakan kepada awak pesawat, baik pilot, kopilot, maupun awak kabin, ataupun pihak terkait lainnya. Khusus untuk penerbangan di Indonesia, KNKT agaknya perlu memberikan perhatian serius dalam investigasi khusus menyusul musibah penerbangan berhubungan dengan perilaku penumpangnya. Jangan-jangan perilaku penumpang bangsa kita yang umumnya amat tidak disiplin, terutama terkait dengan penggunaan telepon seluler (ponsel), menjadi salah satu pemicu jatuhnya pesawat.
Agaknya belum ada gambaran rinci seberapa besar pengaruh sinyal ponsel aktif selama dalam penerbangan mengganggu peralatan navigasi pesawat. Meski begitu, kelompok penumpang disiplin tentu saja berkeyakinan bahwa ponsel aktif selama dalam penerbangan berpotensi serius memicu kecelakaan pesawat. Alasannya karena wanti-wantinya tidak hanya dari pengumuman kru pesawat.
Lebih dari itu, kita telah memiliki regulasi berkaitan dengan penerbangan, yakni Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009. UU itu antara lain secara tegas melarang penumpang menggunakan peralatan elektronik (termasuk ponsel) selama dalam penerbangan. Larangan itu sebenarnya merupakan penegasan bahwa mengaktifkan ponsel selama dalam penerbangan adalah tindakan fatal yang dapat membawa petaka.
Sejujurnya, kelompok penumpang tertib sering geram menyaksikan kelompok penumpang lain yang tidak memedulikan larangan itu. Namun, rasa geramnya hanya bisa dipendam begitu saja. Ada rasa enggan menegur penumpang lain yang ponselnya sedang aktif, semata-mata karena statusnya sesama penumpang, juga menjaga harmoni.
Di negeri ini, ketika bepergian melalui penerbangan, selalu saja menjadi pemandangan biasa karena terus berulang. Tidak sedikit penumpang yang masih saja mengaktifkan ponselnya saat sudah berada dalam pesawat. Padahal, kru pesawat sudah dan selalu mengingatkan untuk mematikan ponsel. Pemandangan yang sama juga bisa disaksikan saat pesawat menyentuh landasan. Sejak pesawat sedang meluncur kencang hingga apron, tidak sedikit penumpang sudah mengaktifkan ponsel untuk mengontak sanak keluarga atau pihak lainnya.
Bahkan, saat dalam penerbangan, tak jarang pula menyaksikan penumpang sibuk dengan ponselnya yang sedang on. Namun, ketika ditegur kru pesawat agar mematikan ponsel, sang penumpang itu spontan menjawab sudah mengaktifkan mode terbang. Respons sang penumpang itu tetap saja meninggalkan rasa cemas karena sebatas jawaban tanpa membuktikan kebenarannya.
Di luar negeri, Indonesia dikenal, antara lain, karena perilaku masyarakatnya yang umumnya tidak disiplin. Padahal, kedisiplinan adalah fondasi dasar langkah perjuangan menggapai perubahan. Wujudnya melalui serangkaian sikap yang menjunjung tinggi nilai-nilai kepatuhan, keteraturan, ketertiban, hingga kejujuran.
Kembali ke penerbangan. Rupanya belum cukup melarang penumpang mengaktifkan ponsel selama dalam penerbangan, hanya mengandalkan wanti-wanti dari kru pesawat. Bahkan, larangan dengan sanksi tak ringan pun, sebagaimana telah diatur dalam UU Penerbangan, tetap tidak dihiraukan. Menghadapi kelompok penumpang seperti ini, diperlukan solusi jitu sekalian membebaskan sistem navigasi pesawat dari gangguan sinyal ponsel. Jika dimungkinkan, tiap pesawat yang beroperasi di Indonesia dilengkapi dengan perangkat khusus mengacak bahkan memblokir sinyal ponsel selama dalam penerbangan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar