Bagai disambar petir ketika mencuat kasus dugaan suap atas izin proyek properti Meikarta yang melibatkan pejabat tinggi Pemerintah Kabupaten Bekasi dan petinggi Lippo Group. Mengapa? Lantaran Meikarta merupakan megaproyek properti dengan iklan raksasa nan cantik. Kini saatnya bagi pengembang dan pemerintah untuk meningkatkan asas kepatuhan ("compliance") dalam membangun properti.

Bagaimana perkembangan sektor properti sepanjang triwulan III-2018? Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia yang diterbitkan Bank Indonesia pada medio November 2018 menunjukkan bahwa kredit properti mampu tumbuh 14,82 persen dari Rp 774,99 triliun per September 2017 menjadi Rp 889,81 triliun per September 2018.

Itu pertumbuhan yang menipis dari bulan sebelumnya 15,51 persen. Total kredit properti yang mencapai Rp 889,81 triliun itu meliputi kredit konstruksi yang meningkat 18 persen dari Rp 246,13 triliun menjadi Rp 290,43 triliun yang memberikan kontribusi 32,64 persen dari total kredit properti. Coba lirik rincian berikut.

Kredit real estat naik 9,96 persen dari Rp 135,08 triliun menjadi Rp 148,54 triliun (16,69 persen), sedangkan kredit pemilikan rumah (KPR) dan kredit pemilikan apartemen (KPA) naik 14,48 persen dari Rp 393,79 triliun menjadi Rp 450,83 triliun pada periode yang sama. Sekalipun KPR dan KPA tumbuh lebih rendah daripada kredit konstruksi, kredit itu telah memberikan kontribusi paling tinggi, 50,67 persen, terhadap total kredit properti.

Apakah sebelumnya pernah terdapat pengembang nakal? Simak saja beberapa contoh nyata. PT Mitra Safir Sejahtera (MSS) selaku pengembang rusun Kemanggisan Residence tidak membagi harta pailit secara adil. Konsumen hanya mendapatkan 15 persen saja. Padahal, seluruh konsumen memberi kontribusi paling besar kepada MSS, yaitu Rp 102 miliar (Kompas.com, 21/2/2014). Bukan hanya itu. Menteri Perumahan Rakyat mendatangi Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia, Selasa 17 Juni 2014, untuk melaporkan 60 perusahaan properti yang melanggar aturan pembangunan hunian berimbang (Tempo.com, 20/6/2014). Sumber itu bahkan memuat 60 perusahaan properti yang antara lain memuat pengembang papan atas. Wah!

Tengok pula kasus lain di Yogyakarta. PT Majestic Land tersandung masalah dugaan penipuan terhadap konsumennya terkait investasi dan pembelian unit apartemen M-Icon di Sleman, Yogyakarta (Kompas.com, 5/2/2016).

Langkah strategis

Lantas, potensi risiko apa saja yang bakal muncul di permukaan, baik bagi sektor properti, pengembang, pemerintah, regulator, maupun konsumen (nasabah dan investor)? Langkah strategis apa saja yang patut diambil untuk menekan potensi risiko terjadinya kasus serupa?

Pertama, sesungguhnya dalam beberapa bulan sebelum kasus itu muncul sudah terdengar kabar burung yang kurang enak didengar di telinga siapa pun yang terlibat. Sektor properti yang sedang berjalan tertatih-tatih seolah makin berat untuk meniti laju pertumbuhan ke depan. Padahal, BI sudah melakukan relaksasi loan to value (LTV) pada 29 Juni 2018 yang berlaku efektif 1 Agustus 2018. Rasio LTV merupakan perbandingan kemampuan bank dalam menyalurkan kredit dengan kemampuan nasabah dalam memiliki rumah.

Sejatinya relaksasi LTV itu sangat diharapkan menjadi insentif, terutama bagi bank, pengembang, dan calon debitor. Sayangnya, relaksasi LTV itu kurang menendang dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. Mengapa? Karena harga rumah KPR terus melaju seiring dengan kenaikan suku bunga acuan sehingga mendahului laju daya beli calon nasabah. Meskipun uang muka sudah ditekan sedemikian rendah, hal itu justru mendorong kenaikan angsuran per bulan.

Kedua, sudah barang tentu kasus tersebut menjadi peringatan keras bagi pengembang untuk berbenah diri. Cepat atau lambat, kasus seperti itu dapat mengakibatkan potensi risiko reputasi bagi pengembang. Risiko reputasi merupakan risiko yang antara lain disebabkan oleh publikasi negatif terkait dengan kegiatan perusahaan atau persepsi negatif. Karena itu, pengembang hendaknya terus-menerus berupaya memperbaiki persepsi negatif. Mengapa? Karena persepsi negatif pemangku kepentingan, seperti pemegang saham, asosiasi, pemerintah, bank, konsumen, dan rekanan, dapat bergulir seperti bola salju yang kian membengkak. Itu jika tak segera ditangani dengan jitu.

Sekiranya pengembang sudah masuk bursa, saham pengembang pun akan terkoreksi lantaran nilai saham merupakan bentuk kepercayaan publik, terutama investor di lantai bursa. Sebaliknya, kenaikan nilai saham merupakan cermin kinerja perusahaan yang kinclong.

Demikian pula asosiasi pengembang, seperti Real Estat Indonesia (REI), Asosiasi Pengembangan Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi), Asosiasi Pengembang Perumahan Rakyat Indonesia (Asperi), Asosiasi Pengembang dan Pemasar Rumah Nasional (Asprumnas), dan Pengembang Indonesia, sudah semestinya dapat menjadi motor penggerak untuk mencetak pengembang yang bersih.

Pengembang suka dan tak suka wajib untuk meningkatkan asas kepatuhan. Kepatuhan adalah suatu kondisi yang tercipta dan berbentuk melalui proses dari serangkaian perilaku yang menunjukkan nilai-nilai ketaatan, kepatuhan, kesetiaan, keteraturan dan ketertiban (Prijadarminto, 2003). Dengan bahasa lebih bening, pengembang wajib patuh terhadap semua aturan perundang-undangan yang berlaku, seperti pengurusan izin pembangunan properti, seperti perumahan, apartemen, dan perkantoran.

Apakah kepatuhan termasuk dalam tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance/GCG)? Tentu saja. GCG meliputi prinsip-prinsip keterbukaan, akuntabilitas, pertanggungjawaban, independensi, dan kewajaran. Nah, kepatuhan itu termasuk dalam prinsip pertanggungjawaban. Inilah tantangan sejati bagi para pengembang untuk segera menerapkannya dengan saksama.

Ketiga, setali tiga uang, pemerintah baik pusat maupun daerah juga wajib menggeber asas kepatuhan. Di sinilah awalnya suatu kasus untuk dapat dicegah sedini mungkin. Kita ambil contoh sederhana berikut. Beberapa tahun lalu terdapat banyak penumpang naik bus cepat terbatas (patas) di Jalan Tol Jagorawi menuju Jakarta. Hal itu terang benderang melanggar aturan jalan tol sehingga mengganggu kendaraan lainnya. Lantas, bagaimana mencegahnya? Gampang. Pemerintah harus menegaskan kembali bahwa bus patas dilarang keras untuk mengambil penumpang di jalan tol. Ketika bus patas tidak berhenti di jalan tol, penumpang pun tidak akan naik bus tersebut di sana. Selesai sudah.

Sejalan dengan itu, kasus penyuapan tidak akan terjadi jika pemerintah sudah menerapkan asas kepatuhan dalam kegiatan sehari-hari dalam melayani masyarakat. Inilah tantangan serius bagi pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla yang tepat 20 Oktober 2018 memasuki tahun keempat untuk membawa Indonesia menjadi negara yang lebih baik, adil, dan makmur.

Unit kerja pemerintah paling kecil, yakni kelurahan, sudah seharusnya menjadi cermin besar dalam mewujudkan asas kepatuhan. Katakanlah setiap kelurahan harus mencantumkan berapa biaya dan berapa lama dalam mengurus KTP dan kartu keluarga, misalnya. Pembayaran pengurusan apa pun wajib melalui bank untuk menihilkan kasus penyuapan.

Etika bisnis

Keempat, selain itu, pengembang sudah sepatutnya juga menerapkan etika bisnis. Menurut William C Frederick, James E Post, dan Keith Davis (1992), etika bisnis merupakan aplikasi gagasan etis secara umum terhadap perilaku bisnis. Pertanyaannya, mengapa harus beretika bisnis? Alasan pertama, publik mengharapkan bisnis dapat memamerkan etika kinerja dan tanggung jawab sosial pada level yang tinggi. Perusahaan yang menentang sikap publik seperti itu dapat disoroti, dikritik, dikekang, dan dihukum.

Alasan kedua, mengapa bisnis dan pegawai mereka harus bertindak etis adalah untuk mencegah kerugian bagi publik dan pemangku kepentingan perusahaan. Alasan ketiga, meningkatkan perilaku etis adalah untuk melindungi bisnis perusahaan dari penyalahgunaan oleh pegawai dan pesaing yang tidak etis. Bisnis yang memperlakukan pegawai dengan martabat dan integritas layak memperoleh ganjaran dalam bentuk moral dan kenaikan produktivitas tinggi. Alasan terakhir, menggeber etika bisnis merupakan alasan personal. Kebanyakan orang ingin berlaku etis dalam beberapa cara yang konsisten dengan perasaan benar atau salah. Sungguh, semua alasan itu pas untuk diterapkan pengembang.

Kelima, hampir dalam setiap kasus properti, konsumen tidak berdaya, seperti tidak bisa menarik kembali uang muka dan atau angsuran. Asosiasi pengembang pun tak mampu melindungi kepentingan konsumen. Lalu, konsumen minta perlindungan kepada siapa? Pemerintahlah yang harus bertanggung jawab untuk melindungi konsumen mengingat semua izin diterbitkan pemerintah.

Bagaimana peran bank dalam mencegah pengembang nakal? Selain sebagai mitra usaha pengembang, bank dapat pula menjadi "pengawas" secara tak langsung karena industri perbankan sudah terbiasa dengan kondisi yang sangat diatur (highly regulated).

Untuk itu, sebelum mengucurkan kredit, bank sudah semestinya mempertimbangkan apakah pengembang sudah mengantongi analisis mengenai dampak lingkungan (amdal), IMB, izin prinsip ke pemerintah kota atau kabupaten, dan rencana tata ruang wilayah (RTRW). Alhasil, bank ikut menjadi anjing penjaga (watchdog) bagi pengembang. Lebih dari itu, bank hendaknya tidak tergoda nama besar pengembang dalam mengucurkan kredit properti.

Berbekal aneka langkah strategis demikian, sektor properti bakal kian tinggi dalam memberikan kontribusinya untuk menyuburkan pertumbuhan ekonomi dengan target sebesar 5,2 persen pada tahun 2018.