KOMPAS/BUDIMAN TANUREDJO

Anak-anak di Kampung As, Distrik Pulau Tiga, Kabupaten Asmat, Papua, ceria menyambut tamu yang datang ke kampung tersebut, akhir November 2018. Akhir tahun 2017, terjadi kejadian luar biasa busung lapar dan campak di kampung tersebut.

Kabar duka kembali terdengar dari ujung timur. Belasan pekerja PT Istaka Karya yang sedang mengerjakan proyek jembatan Yigi di Kabupaten Nduga, Papua, menjadi korban peembantaian Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB), 2 Desember 2018, sehari setelah tanggal yang diperingati sebagai hari kemerdekaan Papua oleh kalangan tertentu.

Meskipun disebut kelompok kriminal tetapi mereka tak bisa dilepaskan sebagai kelompok yang mengangkat senjata menuntut kemerdekaan Papua. Buktinya pelaku penembakan adalah kelompok Egianus Kogoya, sempalan kelompok Kelly Kwalik–komandan sayap militer Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang tewas pada 2009.

OPM adalah cerita lama. Timbul tenggelam. Beroperasi di hutan-hutan, terutama di sepanjang Pegunungan Tengah. Markas mereka kerap disebut Victoria di perbatasan dengan Papua Niugini (PNG). Berkali-kali melakukan penyerangan dan kontak senjata dengan TNI. Tetapi suaranya nyaring di luar, dari Auckland hingga London dan New York.

KOMPAS/HANDINING

M Subhan SD, Wartawan Senior Kompas.

Isu Papua memang "seksi". Ada semacam "solidaritas tetangga" sesama orang Melanesia. Pengelana Perancis Jules Dumont d'Urville (1832) menyebut Melanesia (Pulau Hitam) untuk kawasan Samudera Pasifik bagian selatan yang penduduknya berkulit hitam dan rambut keriting di Papua, PNG, Kepulauan Solomon, Vanuatu, Fiji.

Negara-negara Melanesia ramai-ramai mendukung Papua, seperti Vanuatu, Palau, Kepulauan Solomon, bahkan kawasan Mikronesia-Polinesia seperti Kepulauan Marshall, Tonga, Tuvalu, Nauru. Solidaritas tetangga itu pun menjadi batu sandungan.

Tak heran, Indonesia cepat-cepat menoleh ke tetangga di timur itu: membangun kerjasama ekonomi, bahkan aktif memberi bantuan kemanusiaan. Pada Februari 2018 sepulang dari lawatan ke beberapa negara itu, Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Wiranto menyatakan mereka takkan mencampuri urusan dalam negeri Indonesia. Untuk itu, penting pula membangun kekuatan tetangga di timur (Indonesia-Melanesia), tak hanya dengan tetangga sebelah barat (ASEAN).

Penting pula membangun kekuatan tetangga di timur (Indonesia-Melanesia), tak hanya dengan tetangga sebelah barat (ASEAN).

Kepercayaan "Cargo-Cult"

Gerakan bersenjata di Papua mungkin akan terus beregenerasi. Dalam sejarahnya, gerakan perlawanan di Papua tak bisa dilepaskan dari akar gerakan yang marak terjadi di kawasan Melanesia. Namanya kultus kargo (cargo-cult).

Sejak abad ke-19, kapal-kapal bangsa-bangsa Barat (kolonial) berdatangan ke pulau-pulau Melanesia membawa kargo. Selama Perang Dunia II (1939-1945) pengiriman kargo meningkat drastis, terutama kapal Amerika Serikat dan Jepang. Kargo berisi barang berlimpah. Namun, sejak berakhirnya Perang Dunia II, kargo pun berkurang.

AUSTRALIAN WAR MEMORIAL/P02874.291/WILLIAM H ROBINSON.

Pesawat-pesawat Lockheed P-38 Lightning dari 433 Squadron, 475th Fighter Group, 5th US Army Air Force tengah bersiap tinggal landas di lapangan terbang Momote, Los Negros, Kepulauan Admiralty, dekat Papua Niugini, September 1944. Pesawat-pesawat tersebut berpangkalan di lapangan terbang Sorido di Pulau Biak setelah Biak berhasil direbut dari tentara Jepang dalam pertempuran panjang Mei-Agustus 1944.

Cargo-cult adalah kepercayaan penduduk setempat bahwa suatu saat akan datang kapal yang ditumpangi nenek moyang yang membawa kekayaan milik orang Barat untuk mereka. Cargo-cult adalah praktik religius suatu masyarakat pra-industri setelah berinteraksi dengan peradaban masyarakat industri.

Penduduk Melanesia percaya bahwa barang-barang dalam kargo itu akan datang dibawa nenek moyang mereka. Caranya lewat praktik ritual. Inilah gerakan milenarianisme yakni kepercayaan akan perubahan besar dalam siklus seribu tahun. Boleh dikata semacam gerakan "Ratu Adil".

Worsley (1974) mendata beberapa gerakan cargo-cult antara lain Gerakan Tuka di Fiji (1877) dan marak di Papua Niugini (PNG), seperti Gerakan Tokerna (1893), Gerakan Baigowa (1912), Gerakan Taro (1919), Gerakan Vailala dan Mambu (1937). Di Papua muncul Gerakan Koreri di Kepulauan Biak-Numfoor pada 1938-1942.

KOMPAS/DOM RINETYA

Masyarakat Papua menyambut Presiden Soeharto saat datang meresmikan lapangan minyak Salawati di Kepala Burung (Kabupaten Sorong), Irian Jaya, pada Kamis, 8 Desember 1977. Lapangan minyak Salawati, yang menghasilkan 53.000 barel minyak mentah sehari, merupakan yang kedua di Irian, setelah lapangan minyak Kasim yang diresmikan tahun 1973.

Gerakan Koreri yang awalnya merupakan gerakan pembebasan orang-orang Biak dan Papua dari pengaruh kebudayaan asing, pada tahap berikutnya menjadi gerakan politik-religius karena menentang Belanda, Jepang, dan agama Kristen yang dianggap sebagai pembawa penderitaan masyarakat (Mansoben, 1980).

Gerakan Koreri yang tipikal cargo-cultmenjadi pintu masuk dalam konteks etno-nasionalisme orang Papua. Pada peristiwa Koreri melawan Jepang tahun 1942, bahkan sudah dilakukan proklamasi dan pengibaran bendera. Tumbuhnya nasionalisme Papua tak lepas dari didikan Residen JP van Eechoud yang dikenal sebagai "Bapak Orang Papua" agar orang Papua setia kepada Belanda (Djopari, 1993). Melalui sekolah polisi dan sekolah pamongpraja di Hollandia (Jayapura), lahirlah kelompok elite terpelajar Papua.

Inilah gerakan milenarianisme yakni kepercayaan akan perubahan besar dalam siklus seribu tahun. Boleh dikata semacam gerakan "Ratu Adil".

Pro Kemerdekaan Indonesia

Pada 1946, Silas Papare bersama kawan-kawan mendirikan Partai Kemerdekaan Indonesia Irian (PKII). Ini juga tak lepas dari binaan Dr Sam Ratulangi selama pengasingan di Serui.

Pada 17 Agustus 1947, Silas memimpin upacara bendera Merah-Putih di Manokwari, dihadiri Johans Ariks, Albert Karubuy, Lodewijk dan Barent Mandacan, Samuel Damianus Kawab, serta Franz Joseph Djopari. Akibatnya mereka semua dikurung Belanda selama tiga bulan.

Bergabung pula Frans Kaisiepo yang pada Juli 1946 di Konferensi Malino memperkenalkan nama "Irian" bagi Papua Barat. Johans Ariks lalu anti-Indonesia saat tahu Papua hendak diintegrasikan ke pangkuan RI.

KOMPAS/ICHWAN SUSANTO

Pimpinan Tentara Pembebasan Nasional Organisasi Papua Merdeka Wilayah Pebatasan Keerom Papua, Lambert Peukikir (bercelana merah), Sabtu (25/7/2009), memimpin pengibaran bendera Bintang Kejora di pinggir Sungai Muru Kampung Wembi Keerom. TPN OPM mengancam akan terus melakukan aksi jika Pemerintah Indonesia tidak menyerahkan kembali Papua ke PBB untuk dilakukan referendum. Mereka mau menurunkan bendera setelah dimediasi tokoh agama setempat Pastor John Djonga.

Gerakan pro-Indonesia juga dilakukan Soegoro Admoprasodjo, direktur sekolah pamong praja. Begitu ketahuan Belanda, Soegoro dipecat dan diikirim balik ke Jakarta.

Masih ada Komite Indonesia Merdeka (KIM) yang diinisiasi Ratulangi dengan para pimpinannya orang-orang Papua seperti Marten Indey, Nicolaas Jouwe, dan Korinus Krey. Jouwe kemudian menjadi pentolan anti-Indonesia dan tinggal di Belanda selama 46 tahun sebelum kembali ke Papua pada 2009.

Meskipun ia pernah bersumpah untuk tak kembali kampung halamann selama Papua di bawah Indonesia, ia akhirnya kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi pada 2010 setelah menyaksikan kondisi terkini negeri ini.

KOMPAS/RIZA FATHONI

Nicholas Jouwe, mantan pimpinan OPM yang kembali ke NKRI, menerima bintang penghargaan Bintang Jasa Nararya dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Istana Negara, Jakarta, Rabu (13/8/2014).

Sejak awal Belanda memantik kekisruhan. Dalam proses dekolonisasi, Papua ingin dijadikan seperti Suriname. Ada juga upaya membentuk Persatuan Melanesia (Melanesische Unie) meliputi wilayah Nieuw Guinea (seluruh Papua), Bismarck, dan Kepulauan Solomon.

Gagasan itu dibahas dalam konferensi pejabat Belanda dan Australia pada Oktober 1958. Bahkan ada gagasan satu negara Nieuw Guinea (wilayah Belanda dan wilayah Australia) pada 1959.

Namun, sebaliknya Indonesia terus menuntut pengembalian wilayah Papua ke pangkuan Ibu Pertiwi. Operasi Tri Komando Rakyat (Trikora) yang dicetuskan Presiden Soekarno pada 19 Desember 1961 tegas-tegas "gagalkan pembentukan negara Papua bentukan kolonial Belanda".

Dalam proses dekolonisasi, Papua ingin dijadikan seperti Suriname.

Pepera dan OPM

Lewat forum PBB, Belanda akhirnya menandatangani Perjanjian New York pada 15 Agustus 1962 yang mendorong diserahkannya Papua ke badan PBB United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA) pada 1 Mei 1963. Penentuan nasib sendiri (act of free choice) masyarakat Papua lewat musyawarah dilakukan pada 1969, disaksikan utusan PBB Dr Fernando Ortiz-Sanz (Duta Besar Bolivia di PBB), juga Dubes Thailand, Belanda, Australia, Jerman, Selandia Baru, dan Myanmar.

Walaupun sempat diwarnai protes, tetapi penentuan pendapat rakyat (Pepera) itu memutuskan secara aklamasi Papua berintegrasi ke pangkuan Ibu Pertiwi. Jadilah Indonesia benar-benar yang terbentang dari Sabang sampai Merauke.

KOMPAS/RUDY BADIL

Penduduk Kampung Workwana di Kecamatan Arso, sekitar 70 km barat Jayapura lari karena hasutan gerakan pengacau keamanan OPM, entah ke hutan atau ke Papua Niugini. Namun kampung terbengkalai dengan bangunan rusak itu pada Oktober 1984 telah disulap menjadi daerah permukiman baru. Di sini sudah ada sekitar 70-an rumah papan dari rencana 100 unit rumah tinggal baru, di sela-sela bangunan asli yang rusak. Tim Pengembalian Pelintas Batas Irja dalam rencana kerjanya sudah siap menerima dan membantu mereka yang akan kembali dalam waktu dekat.

Namun, ketidakpuasan sebagian masyarakat Papua ditunjukkan dengan gerakan  bawah tanah. Inilah yang menjadi cikal bakal gerakan Papua merdeka. Ada dua faksi.

Pertama, Aser Demotekay, mantan Kepala Distrik Demta Kabupaten Jayapura membentuk Gerakan Menuju Kemerdekaan Papua Barat tahun 1963. Faksi ini muncul pada dekade 1970-an pasca Pepera. Faksi ini moderat. Lebih merupakan gerakan agama/spiritual. Inilah gerakan cargo-cult.

Faksi lain adalah Organisasi dan Perjuangan Menuju Kemerdekaan Papua Barat yang terbongkar setelah para pentolannya di bawah  Terianus Aronggear ditangkap di Manokwari pada 1964. Setelah itu, Ferry Awom  melancarkan serangan di sejumlah tempat di Manokwari pada 1965.

Pada 1971, basis OPM di Markas Victoria, perbatasan dengan PNG memproklamasikan kemerdekaan Papua Barat dipimpin Seth Rumkorem, mantan tentara di Kodam Diponegoro.

KOMPAS/ARYO WISANGGENI GENTHONG

Sebanyak 36 anggota Tentara Pembebasan Nasional/Organisasi Papua Merdeka (TPN/OPM) menyerahkan diri kepada Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat, Aburizal Bakrie, di Wamena, ibukota Kabupaten Jayawijaya, Papua, Kamis (6/3/2008). Selebaran yang yang mengatasnamakan Komando Operasi Pegunungan Tengah, Markas Besar Pertahanan Pusat TPN/OPMmenyatakan TPN/OPM tidak memiliki hubungan dengan Telenggen dan 35 orang yang menyerahkan diri.

Faksi inilah yang kemudian dilabelkan sebagai Organisasi Papua Merdeka (OPM). Di zaman Orde Baru, mereka disebut Gerakan Pengacau Keamanan (GPK) atau Gerakan Pengacau Liar (GPL) karena sering menimbulkan gangguan keamanan.

Papua menjadi semacam "daerah operasi militer". Pihak militer terus melakukan operasi pembersihan. Tak heran "kisah Indonesia" di Papua adalah kisah kekerasan, kekejaman dan pelanggaran HAM. Inilah yang terus dipersoalkan hingga sekarang.

Akan tetapi, pendekatan keamanan (security approach) yang menonjol di era Orde Baru sudah makin berubah dengan strategi pendekatan kesejahteraan (prosperity approach). Presiden Joko Widodo terus fokus untuk pembangunan terutama infrastruktur, termasuk tentunya proyek jembatan di Yigi, lokasi korban penembakan KKB pekan lalu.

Meskipun aksi-aksi "pemberontakan" mungkin tidak mudah sirna, tetapi setidaknya pendekatan kemanusiaan dan memajukan orang Papua dapat mengurangi suara-suara ketidakpuasan masyarakat yang bisa "bertemu" dengan kepentingan KKB. Dan, aksi-aksi bersenjata yang mernimbulkan korban jiwa seperti kasus di Nduga mesti ditangani sesuai hukum.

Pendekatan keamanan (security approach) yang menonjol di era Orde Baru sudah makin berubah dengan strategi pendekatan kesejahteraan (prosperity approach).

Negeri kita bersama

Apalagi, sejak era pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid pada 2000, identitas orang Papua sudah kembali berkibar. Dan sejak 2001 telah mendapat privilese dan perhatian lebih banyak sebagai daerah otonom khusus.

Sayangnya uang triliunan rupiah itu belum mampu menyejahterakan orang Papua dan memajukan daerah Papua. Di masa otonomi daerah, orang Papua juga sudah menjadi pemimpin di daerah masing-masing seperti daerah lain di negeri ini. Namun, isu Papua selalu panas. Mungkin mirip bisul. Bisa membuat demam republik ini ketika ia membesar.

Anehnya orang Papua dan Indonesia selalu dipertentangkan secara fisik. Misal, orang Papua itu ras Melanesia (berkulit hitam, berambut keriting) sedangkan Indonesia ras Mongoloid (berkulit kuning atau coklat, berambut lurus).

KOMPAS/FABIO M LOPES COSTA

Panglima Kodam XVII/Cenderawasih Mayjen TNI Christian Zebua bersama sejumlah tokoh Organisasi Papua Merdeka dii Kampung Susmorof, Kabupaten Manokwari Selatan, Provinsi Papua Barat, pada Sabtu (16/8/2014). Sebanyak 700 anggota OPM yang menyatakan diri kembali ke pangkuan NKRI. Deklarasi ini untuk memperingati Ulang Tahun Indonesia yang ke 69.

Padahal, menurut filsuf Ernest Renan (1882) sebuah bangsa (nation) itu terbentuk karena kesamaan sejarah, nasib, untuk hidup bersama (le desir de vivre ensemble). Sama-sama menderita dijajah Belanda. Bangsa itu kesadaran moral (conscience morale), sebuah  kondisi subyektif. Bagi Renan, kondisi obyektif seperti ras, budaya, bahasa, agama, bukan faktor pembentuk bangsa, tetapi cuma faktor pendorong kemunculan bangsa.

Dan, kalau membaca sejarah, sejak lama Papua dalam lintasan imperium Nusantara sejak Sriwijaya (abad VII-XII). Kemudian Mpu Prapanca dalamNagarakretagama (1365) mencatat wilayah Kerajaan Majapahit sampai semenanjung Wanin (Fakfak dan sekitar Kepala Burung).

Artinya jalinan hubungan dan kebersamaan itu sudah merupakan sejarah Indonesia. Kini, mungkin saatnya orang Papua lebih intens memikirkan juga Indonesia seperti pendahulunya dulu, bukan cuma Papua. Sebab, Indonesia adalah negeri kita bersama.

Palmerah, 12 Desember 2018