AFP/MARK DUFFY/UK PARLIAMENT

Suasana persidangan di Majelis Rendah Parlemen Inggris pada sesi tanya jawab dengan perdana menteri, Prime Minister's Questions (PMQs), yang dihadiri Perdana Menteri Theresa May, di London, Inggris, Rabu (12/12/2018), dalam foto yang dirilis Parlemen Inggris.

Krisis politik di Inggris akibat Brexit terus berlanjut. Perdana Menteri Theresa May kini menghadapi ancaman dilengserkan.

Ancaman itu muncul setelah sejumlah anggota parlemen dari kubu Konservatif menyatakan mengajukan mosi tidak percaya atas kepemimpinan May di partai tersebut. Proses pemungutan suara untuk menentukan nasib kepemimpinan May di tubuh Konservatif berlangsung pada Rabu (12/12/2018) malam waktu London atau Kamis dini hari WIB. Di halaman kediamannya, Rabu, PM May menyatakan akan menghadapi voting yang akan diikuti 315 anggota parlemen dari kubu Konservatif itu.

Di dalam Partai Konservatif terdapat kelompok yang mendukung Kesepakatan Brexit yang diusung May dan kelompok yang menentang kesepakatan itu. Dengan tetap menjadikan perbatasan wilayah Irlandia Utara bebas terbuka dengan Republik Irlandia, kesepakatan Brexit dinilai oleh para penentangnya telah mengkhianati semangat referendum Brexit pada 2016, yakni Inggris berpisah sepenuhnya dari Uni Eropa.

Poin khusus tentang perbatasan Irlandia Utara dan Republik Irlandia dibuat agar sementara waktu tak ada penjagaan perbatasan di area itu sebagaimana diamanatkan perjanjian damai guna mengakhiri konflik di Irlandia Utara dulu. Dengan poin ini, arus barang antara Eropa dan Inggris tetap mengalir tanpa hambatan, serta Inggris masih terikat bea cukai Uni Eropa.

Ancaman terhadap kepemimpinan May muncul setelah pada Senin lalu ia menunda pemungutan suara di parlemen atas kesepakatan Brexit, yang dihasilkan lewat negosiasi rumit berbulan-bulan antara Inggris dan Uni Eropa. Kubu May mengingatkan, jika dirinya tergusur, bukan tak mungkin kendali negosiasi Brexit jatuh pada oposisi. Proses dan hasilnya bisa kian tak sesuai harapan pendukung garis keras Brexit.

Perkembangan terakhir di Inggris ini membuat tingkat kerumitan politik akibat Brexit semakin tinggi. Kurang dari empat bulan menjelang Inggris harus keluar dari Uni Eropa, 29 Maret 2019, isu Brexit tenggelam dalam kekacauan dengan opsi ekstrem: mulai perceraian tanpa kesepakatan hingga referendum ulang.

Krisis politik di Inggris terjadi berbarengan dengan tekanan politik terhadap Pemerintah Perancis terkait isu ekonomi. Pada saat yang sama, Jerman menghadapi kondisi tak menentu menjelang mundurnya Kanselir Angela Merkel. Italia pun mengalami situasi politik yang panas. Ditulis The Wall Street Journal, dua kekuatan utama di pemerintahan Italia—Liga dan Lima Bintang—bersitegang mengenai cara menekan pengeluaran pemerintah. Adapun di Spanyol, pemerintahan sosialis yang tak memiliki mayoritas di parlemen berpeluang jatuh awal 2019.