Kita turut prihatin dengan jatuhnya korban, baik psikis, materi, maupun korban jiwa. Kita juga berharap kerugian akibat bencana bisa terus diminimalkan meskipun bencana sering datang dan manusia tidak siap menghadapinya.

KOMPAS/ISMAIL ZAKARIA

Alat berat bekerja membersihkan material longsor di kawasan Sitinjau Laut, Kecamatan Lubuk Kilangan, sekitar 18,5 kilometer timur pusat Kota Padang, Sumatera Barat, Rabu (12/12/2018) siang. Longsor yang terjadi pada Rabu sekitar pukul 03.00 dini hari tersebut mengakibatkan akses lalu lintas dari Padang ke Solok maupun sebaliknya terputus selama hampir enam jam. Jalur tersebut juga merupakan akses menuju Jalan Raya lintas tengah Sumatera yang menghubungkan Sumbar dengan Jambi, Sumatera Selatan, hingga Lampung.

Seiring dengan kemajuan pengetahuan, sebenarnya kita sudah bisa memprediksi fenomena alam dan memitigasi beberapa jenis bencana sehingga seharusnya kita bisa lebih siap saat bencana melanda. Apalagi, karena kondisi geografisnya, Indonesia memang merupakan negeri rawan bencana.

Sebagai negara yang berlokasi di kawasan cincin api, pertemuan lempeng bumi, dan kepulauan yang dilewati sabuk khatulistiwa, segala jenis bencana memang bisa terjadi di negeri ini. Gunung meletus, gempa bumi, tsunami, banjir, longsor, dan puting beliung adalah bagian dari keseharian masyarakat. Meski di sisi lain tanah Indonesia menjadi subur.

Kondisi ini masih ditambah dengan ancaman global berupa efek rumah kaca yang berdampak pada perubahan pola iklim dan memicu cuaca ekstrem sehingga kehadiran bencana seperti bertubi-tubi, suatu hal yang memicu pertanyaan bagaimana sebenarnya upaya mitigasi dilakukan selama ini.

Belajar dari banyaknya korban tsunami Aceh 2004, misalnya, Indonesia telah memasang sistem peringatan dini tsunami yang lebih akurat. Berdasarkan data Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika, selama 10 tahun beroperasi, sistem ini sudah mengeluarkan peringatan dini tsunami 20 kali.

Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral juga telah memetakan kawasan rawan longsor, lengkap dengan skala kerentanannya. Paduan peta ini dengan data prakiraan curah hujan dan bentang alam menghasilkan peta potensi gerakan tanah yang diperbarui setiap bulan. Peta dikirim ke seluruh provinsi terkait. Upaya mengukur kegiatan vulkanologi dan gempa juga sudah jauh berkembang meski sampai saat ini belum bisa memprediksi kapan persisnya gempa atau gunung meletus bakal terjadi.

Semua upaya tersebut memang harus dilengkapi upaya sosialisasi ke masyarakat diiringi dengan implementasi peraturan yang tegas. Pada 2017, ketika terjadi longsor di Desa Banaran, Ponorogo, Jawa Timur, pemerintah setempat sudah tahu wilayahnya termasuk tingkat bahaya tinggi longsor. Penduduk sudah diungsikan. Namun, korban jiwa tetap terjadi karena mereka menengok ladang jahe, sumber ekonomi penduduk di situ.

Demikian pula di Aceh, kawasan yang dilanda tsunami dan seharusnya tidak ditinggali kembali dipadati rumah dan penduduk lagi. Maka, kawasan yang dilanda likuefaksi di Palu wajib dibuatkan peraturan agar tidak dihuni lagi. Dalam hal tindakan preventif ini, ada banyak hal yang bisa dilakukan sepanjang pemerintah daerahnya waspada dan sosialisasi terus dijalankan.