Mengupayakan percepatan untuk mengatasi ketertinggalan pembangunan di Provinsi Papua dan Papua Barat telah menjadi agenda prioritas pembangunan nasional sejak Orde Baru, yang dilanjutkan pada orde Reformasi, dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua.

Tidak berhenti di situ. Pemerintah merasa perlu untuk memperkuat implementasi dari otonomi khusus sekaligus untuk mempercepat pembangunan di Tanah Papua, melalui penerbitan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 5 Tahun 2007 tentang Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat.

Langkah ini dilanjutkan lagi dengan penerbitan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 65 Tahun 2011 tentang Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat, yang dilengkapi dengan pembentukan Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat (UP4B) melalui Perpres Nomor 66 Tahun 2011, dan terakhir dilanjutkan dengan Inpres Nomor 9 Tahun 2017 tentang Percepatan Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat di Papua dan Papua Barat.

Pertanyaannya adalah apakah penerbitan berbagai instrumen kebijakan dan regulasi itu benar-benar dapat memberikan hasil yang positif dalam mengupayakan percepatan pembangunan di Papua dan Papua Barat? Atau malah lebih dipandang sebagai salah satu kegagalan pemerintah di dalam membangun wilayah dan masyarakat di Tanah Papua dalam kerangka otonomi khusus Papua, mengingat bahwa pelaksanaan otonomi khusus Papua akan segera berakhir pada tiga tahun mendatang di 2021.

Cukup afirmatif kah?

Kerangka kebijakan afirmatif untuk memperkuat implementasi otonomi khusus di Papua, yang dimulai dengan penerbitan Inpres Nomor 5 Tahun 2007 tentang Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat, yang sudah dengan mempertimbangkan belum efektifnya pelaksanaan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua, sebenarnya telah dimulai dengan melakukan evaluasi yang komprehensif dan holistik terhadap berbagai permasalahan dan kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan otonomi khusus selama lima tahun.

Hal itu selanjutnya diupayakan untuk dikompensasikan dalam instruksi presiden untuk percepatan pembangunan Papua dan Papua Barat melalui Inpres Nomor 5 Tahun 2007.

Namun, di dalam implementasinya, Inpres Nomor 5 Tahun 2007 disalahartikan oleh pemerintah daerah dan masyarakat di Papua dan Papua Barat sebagai tambahan dana, di luar alokasi pendanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang diharapkan dapat dikucurkan ke wilayah dan masyarakat di Papua dan Papua Barat. Padahal, sebenarnya alokasi dana otonomi khusus dan dana sektoral serta alokasi dana transfer APBN ke kedua provinsi itu sudah sangat besar dan memadai untuk mengupayakan percepatan pembangunan di Papua dan Papua Barat.

Persepsi dan ekspektasi yang salah dari pemda dan masyarakat di Papua dan Papua Barat inilah yang menyebabkan instrumen kebijakan dan regulasi yang afirmatif melalui Inpres Nomor 5 Tahun 2007 ini menjadi tidak efektif dan kurang berhasil dalam mempercepat pembangunan wilayah dan masyarakat di tanah Papua.

Belajar dari Papua

Belajar dari pengalaman ketidakberhasilan Inpres Nomor 5 Tahun 2007, selanjutnya pemerintah melalui penugasan kepada Bappenas dan Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) pada 2011 mencoba memperbaiki instrumen kebijakan dan regulasi lanjutan untuk mempercepat pembangunan di Tanah Papua. Ini dilakukan melalui penerbitan Perpres Nomor 65 Tahun 2011 tentang Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat, termasuk instrumen kelembagaan pelaksananya dengan membentuk Unit Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat (UP4B) melalui Perpres Nomor 66 Tahun 2011.

UP4B ditugasi untuk mengawal langsung proses percepatan pembangunan di Tanah Papua secara koordinatif, non-eksekutif, belajar dari pengalaman Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) saat membangun kembali Aceh-Nias pasca-bencana gempa dan tsunami 2004. Meski demikian, keberadaan UP4B yang tak memiliki fungsi eksekutor dan hanya menjalankan fungsi koordinasi sekali lagi menghadapi hambatan dan kendala, khususnya dari pihak Pemda Papua dan Papua Barat, yang relatif resisten terhadap adanya UP4B yang dianggap mengganggu eksistensi kewenangan dari Pemda Papua dan Papua Barat.

Akhirnya, belajar dari pengalaman ketidakberhasilan UP4B dan rencana aksi percepatan pembangunan Papua dan Papua Barat yang ditetapkan melalui Perpres Nomor 65 dan Nomor 66 Tahun 2011, selanjutnya pemerintah sekali lagi menerbitkan Inpres Nomor 9 Tahun 2017 tentang Percepatan Pembangunan Kesejahteraan Masyarakat di Papua dan Papua Barat, yang lebih difokuskan pada pendekatan kewilayahan adat dalam membangun masyarakat di Papua dan Papua Barat, melalui tujuh wilayah adat yang tersebar di Provinsi Papua (lima wilayah adat) dan di Provinsi Papua Barat (dua wilayah adat).

Walaupun tanpa didukung kelembagaan semacam UP4B, diharapkan pelaksanaan instrumen kebijakan yang afirmatif untuk percepatan pembangunan kesejahteraan masyarakat di Papua dan Papua Barat dapat lebih efektif dan berhasil guna dalam kerangka Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019.

Problem koordinasi

Dalam penyusunan Inpres Nomor 5 Tahun 2007 tentang Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat, selain Bappenas yang mengoordinasikan penyusunan rencana aksinya, juga penting fungsi koordinasi dari Kemenko Perekonomian, yang lebih berperan dalam mengoordinasikan kementerian/lembaga di dalam penyusunan rencana aksi percepatan pembangunan Papua dan Papua Barat, khususnya dalam bidang ekonomi dan infrastruktur wilayah.

Inpres Nomor 5 Tahun 2007 menegaskan instruksi kepada lebih dari 15 menteri dan kepala lembaga pemerintah non-kementerian (LPNK) serta gubernur Papua dan Papua Barat dalam melaksanakan berbagai program prioritas yang berorientasi pada percepatan pembangunan ekonomi di Papua dan Papua Barat. Sementara, dalam penyusunan Perpres Nomor 65 Tahun 2011 tentang Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat (P4B) dan Perpres Nomor 66 Tahun 2011 tentang UP4B, Bappenas berkolaborasi dengan UKP4 dalam koordinasi penyusunannya, yang lebih berorientasi pada pendekatan politis dan kelembagaan pelaksanaannya, di mana Bappenas berperan mengoordinasikan penyusunan Rencana Aksi P4B 2011-2014.

Akhirnya dalam penyusunan Inpres Nomor 9 Tahun 2017 tentang Percepatan Pembangunan Kesejahteraan Masyarakat di Papua dan Papua Barat 2017-2019, Bappenas bekerja sama dengan Kemenko Polhukam dalam menyusun rencana aksi Inpres Nomor 9 Tahun 2017 dengan fokus pada pendekatan wilayah adat dalam membangun masyarakat Papua dalam kerangka RPJMN 2015-2019.

Implementasi optimal

Memperhatikan Rencana Aksi Inpres Nomor 5 Tahun 2007 dan Rencana Aksi P4B dalam Perpres Nomor 65 Tahun 2011, menunjukkan bahwa Bappenas diberi mandat untuk mengoordinasikan penyusunan rencana aksi percepatan pembangunan Papua dan Papua Barat secara teknokratik, dengan pendekatan kewilayahan, lintas sektoral, dan terpadu, atau telah menerapkan prinsip HITS (holistik, integratif, tematik, dan spasial) secara konsisten.

Namun, memang dalam praktiknya, mengingat bahwa masih ada tim pengarah yang dikoordinasikan Kementerian Koordinator Perekonomian saat penyusunan rancangan Inpres Nomor 5 Tahun 2007 dan UKP4 saat penyusunan rancangan Perpres Nomor 65 Tahun 2011, serta adanya mispersepsi dan miskomunikasi dengan pihak Pemerintah Daerah Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat, maka rencana aksi yang dihasilkan tidak dapat diimplementasikan secara optimal, baik tanpa maupun dengan lembaga pengawal seperti UP4B.

Walaupun sudah didesain dengan menerapkan prinsip HITS, bukan berarti rencana aksi yang disusun dapat diimplementasikan dengan mudah dan lancar. Adanya mispersepsi dan misintrepretasi dari pemda dan masyarakat di Papua dan Papua Barat yang memandang instrumen kebijakan dan regulasi yang afirmatif ini sebagai tambahan alokasi pendanaan dari APBN untuk masyarakat di Tanah Papua, adanya mismanajemen dari UP4B yang lebih berfungsi sebagai super body tanpa fungsi eksekusi dalam mempercepat pembangunan di Papua, juga menyebabkan tidak benar-benar diacunya rencana aksi P4B sebagai pedoman percepatan pembangunan di Papua dan Papua Barat secara lebih terencana dan terpadu.