Masa kampanye memasuki fase penting, seiring digelarnya debat calon presiden dan wakil presiden. Sejatinya, ada hak dan kebutuhan publik yang harus dipenuhi dari rangkaian lima kali debat yang diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum. Secara prinsip, debat bukan semata-mata panggung seremonial sandiwara. Debat adalah uji publik untuk meyakinkan hati dan menguatkan nalar dari para pemilih.
Tak cukup hanya orkestra kata-kata atau citra fatamorgana. Debat membutuhkan padunya argumentasi berbasis data dan jelasnya orientasi penyelesaian masalah bangsa.
Dalam kajian komunikasi politik, debat bisa menjadi cara komunikasi persuasif ke basis pemilih selain memiliki dimensi penting pendidikan politik.
Perspektif pasangan calon
Debat harus bisa dioptimalkan manfaatnya bukan hanya untuk para pasangan calon, melainkan juga untuk publik, terutama pemilih. Dalam perspektif kepentingan pasangan calon, minimal ada dua manfaat debat. Pertama, bermakna instrumental, yakni menjadi panggung manajemen kesan (impression management). Meminjam istilah Erving Goffman (1922-1982), seorang sosiolog interaksionis dalam bukunya, The Presentation of Self in Everyday Life (1990), debat menjadi bagian tak terhindarkan dari dramaturgi panggung depan (front stage) yang menjadi tempat para kandidat menampilkan peran dan karakter mereka untuk memersuasi khalayak yang menontonnya.
Pengondisian instrumental saat di panggung debat dilakukan lewat kekuatan retorika. Sebagai komunikator, tentu calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) harus piawai memadukan tiga aspek penting dalam retorika ala filsuf Yunani, Aristoteles. Aspek ethos, meliputi upaya membangun kepercayaan dari audiens melalui kredibilitas dirinya. Aspek pathos berkaitan dengan dimensi yang menyentuh emosi. Sementara aspek logos, dimensi yang berkaitan dengan penggunaan argumentasi yang masuk akal (logis) dan fakta-fakta yang bisa mendukungnya.
Setiap kandidat tentu memiliki gaya komunikasi yang berbeda-beda dan sudah terbangun sejak lama. Namun, gaya mereka harus cepat mengadaptasi situasi yang diatur sedemikian ketat oleh Komisi Pemilihan Umum dan stasiun televisi yang menyiarkan debat. Hal yang akan menjadi faktor pembeda mereka di panggung nanti adalah kedalaman riset data atas sejumlah materi yang diperdebatkan (aspek inventio). Misalnya, di debat perdana terkait tema hukum, hak asasi manusia, terorisme, dan korupsi.
Hal lain adalah cara penyusunan pesan (aspek dispositio). Gaya pembicara memilih kata-kata dan menggunakan bahasa yang tepat untuk mengemas pesannya (aspek elucatio). Kemampuan para kandidat mengingat hal-hal pokok yang menjadi pesan andalannya (aspek memoria). Teknik penyampaian (aspek pronuntiatio) seperti mimik muka, gestur, volume bicara, manajemen forum untuk menyampaikan pesan di durasi waktu yang terbatas, yakni 89 menit 55 detik, dan dibagi menjadi beberapa segmen. Retorika sebagai seni berbicara menjadi aspek instrumental penting yang harus dikuasai para kandidat di panggung perdebatan nanti.
Kedua, bermakna substansial. Manfaat panggung debat bagi para kandidat adalah ikrar komitmen calon pemimpin nasional kepada rakyat, melalui visi, misi, dan program yang dipaparkan secara lebih komprehensif. Komitmen ini, yang selama tiga bulan pertama tidak beresonansi secara baik, bahkan terdistorsi melalui perang diksi dan gimmick politik di kulit permukaan saja. Kedua pasangan dan tim sukses sejak 23 September 2018 hingga sekarang lebih dominan memproduksi, mereproduksi, dan mendistribusikan agresivitas verbal yang menyasar aspek emosionalitas pemilih.
Menurut Dominic Ifanta dalam tulisannya, Argumentativeness and Verbal Agressiveness (1996), argumentasi basisnya adalah logika berpikir, alasan dan pertimbangan akal sehat. Sementara agresivitas verbal dikemas dan dikelola melalui serangan yang menohok ide, gagasan, sekaligus kehormatan orang lain, seperti ramainya soal tampang Boyolali, genderuwo, sontoloyo, dan Indonesia akan punah.
Perspektif publik
Menarik menyimak hasil jajak pendapat Litbang Kompas yang dilaksanakan pada 3-4 Januari 2019. Data menunjukkan hanya 33,93 persen responden yang mengaku terpapar informasi tentang visi, misi, serta program capres dan cawapres. Sisanya menyatakan, mereka mendapat informasi mengenai aktivitas kampanye, keseharian calon, identitas calon, informasi hoaks, atau menyatakan tidak tahu dan tidak menjawab. Padahal, sekitar 90 persen responden menilai bahwa pengetahuan soal visi, misi, serta program capres dan cawapres penting dan sangat penting (Kompas, 7/1/2019). Ini artinya, ada kebutuhan publik terutama yang menjadi pemilih menunggu kampanye programatik dari para pasangan calon.
Debat bisa menjadi momentum tepat bagi para kandidat untuk mengulas lebih komprehensif apa dan bagaimana program yang akan mereka lakukan lima tahun ke depan. Para kandidat bisa memanfaatkan debat untuk membangun rasionalitas naratif di pengujung masa kampanye. Walter Fisher dalam bukunya, Human Communication as Narration: Toward a Philosophy of Reason, Value and Action (1987), mengingatkan, tak semua narasi memiliki power yang sama untuk bisa dipercayai. Dua prinsip yang harus ada dalam rasionalitas naratif, yakni koherensi (coherence) dan kebenaran (fidelity).
Koherensi muncul saat komunikator membangun dan mengembangkan narasi kampanye yang disajikannya dengan runtut dan konsisten membentuk benang merah. Narasi mereka konsisten antara suatu waktu dan waktu lainnya di masa lalu. Terakhir, padunya antara pesan dan karakter diri mereka. Sementara narasi dianggap benar ketika elemen-elemen dari narasi tersebut merepresentasikan pernyataan-pernyataan akurat mengenai realitas sosial yang terjadi atau dialami masyarakat.
Publik dapat menilai apakah narasi sebagai ikrar janji yang dibangun Jokowi-Ma'ruf Amin dan Prabowo-Sandi ini memiliki aspek koherensi dan kebenaran atau tidak? Jika penampilan mereka dipanggung debat nanti layak dipercayai, tentu saja akan turut menyumbang suara terutama dari mereka yang belum menentukan pilihan.
Meminjam pendekatan Social Judgement Theory yang dikembangkan Muzafer Sherif dan Carolyn Sherif sebagaimana dikutip Richard M Perloff di dalam bukunya, The Dynamics of Persuasion (2003), bagi setiap pemilih, saat ini sebenarnya sudah terbentuk polarisasi pendukung kuat (strong voters). Mereka menerima atau menolak salah satu pasangan calon, dan mereka yang belum berkomitmen memilih siapa pun.
Kelompok pendukung Jokowi-Ma'ruf Amin dan Prabowo-Sandi sedari awal sudah memiliki poin rujukan masing-masing. Karena itu, debat bisa jadi tidak memengaruhi perubahan perilaku memilih mereka. Akan tetapi, komunikasi persuasif lewat debat masih dimungkinkan menyasar kelompok yang menunggu dinamika isu dan kejutan tawaran program pasangan calon hingga menjelang pencoblosan.
Faktor penyebabnya adalah siapa yang bisa menyentuh keterlibatan ego (ego involvement) pemilih. Hal ini mengacu pada seberapa penting tawaran gagasan dan program pasangan calon terhadap perbaikan kualitas kehidupan pemilih yang masih gamang menentukan pilihan ini. Pada Pemilu 2019, jangan pernah abaikan jumlah pemilih yang masih gamang ini. Misalnya saja, ceruk pemilih muda yang masih mungkin dipengaruhi. Jika pendekatan para pasangan calon menyentuh karakteristik dan kebutuhan mereka, bisa saja turut mengubah peta suara.
Lima kali debat yang akan digelar sesungguhnya bisa membentuk tiga panggung komunikasi persuasif untuk menguatkan opini dan pilihan. Debat pertama (antara capres dan cawapres) yang digelar 17 Januari harus bisa membentuk panggung perbincangan (stage of brainstorming) yang menggeser hoaks dan gimmick ke substansi gagasan dan program, baik di media sosial maupun media massa. Debat kedua hingga keempat bisa menjadi panggung konsolidasi dukungan (stage of consolidation). Debat kelima, panggung yang membuat solid pilihan (solid stage). Debat harus menghadirkan dialektika secara terbuka bukan difasilitasi untuk pura-pura atau sekadar basa-basi dramaturgi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar